Rabu, 29 April 2015

Intropeksi Pikiran

Hari memang selalu bergerak maju, tiada cerita akan mundur kebelakang. Begitu pun umur kita ini. Sudah sepantasnya memang selalu akan bertambah.
Wajah yang dulunya mulus. Bersih. Tiada lekukkan sana sini. Perlahan namun pasti, satu demi satu lekukan itu akan muncul seiringan dengan bertambahnya usia.
Mungkin, yang pasti, setiap lekukkan yang muncul itu adalah sebuah torehan pengalaman yang berharga. Yang memberi pengetahuan, ilmu dan juga rasa dalam menjalani kehidupan ini. Yang membentuk diri kita saat ini.

----------------------
Saat ini, umurku telah menginjak pada angka 22 tahun. Yang seharusnya sejak umur 20 tahun lalu lah aku membuat list tentang segala rencana-rencana. Membidik sebuah tujuan. Lalu merealisasikannya.
Namun, apa daya, saat usia 20 tahun. Aku masih kalut dengan segala hingar bingar hatamorgana dunia. Telah lalai diriku bahwa ada tanggungjawab besar menanti di depan.
Memang, itu tidaklah semuanya salah. Itu sah-sah saja dilakukan. Selama norma-norma agama tetap dipegang teguh. Tetapi, keseringan menuruti hawa nafsu seorang anak muda menyebabkan adanya sebuah keterlambatan kematangan dalam menuju kedewasaan.
Kita tahu bahwa sifat anak muda akan lebih sering menuruti keinginannya sendiri. Egois. Ingin menang sendiri. Gengsinan. Grusa-grusu. Dan pokoknya pengen yang serba instan.
Tuhan mengajarkan segera, bukan grusa-grusu atau terburu-buru. Kita pastilah mahfum bawasannya grusa-grusu atau terbutu-buru itu sifatnya setan. Dan perlu dicatat disini, munculnya sifat grusa-grusu adalah karena minimnya pengetahuan. Atau kebeballan seseorang itu sendiri yang tidak mau tahu akan hal-hal yang baru dan lebih luas.
Wittgenstein memberikan ilustrasi menarik di sini, yaitu, “Jangan menjadi lalat dalam toples kaca.
Edi Akhiles, rektor kampus fiksi yang juga sebagai kandidat Doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menjelaskan perumpaan itu dengan sangat gamblang dalam salah satu postingan blognya.
Seekor lalat yang terkurung di dalam sebuah toples kaca tentu tetap bisa melihat obyek-obyek di sekitarnya. Umpama toples kaca itu ada di kamar @AvifahVe, niscaya lalat malang itu akan melihat: stiker Real Madrid di sekujur tembok, sebuah lemari setengah kayu setengah triplek, seonggok tivi yang hidup segan mati tak mau, sebuah kasur berseprei Real Madrid (tentu beserta jejak-jejak kentut di atasnya), sebuah ember yang layu dimakan usia, sebuah sajadah yang lebih banyak dilipat daripada digelar, dan seutas tali rafia yang membentang di sisi dinding utara, yang menanggung pilu karena dipenuhi oleh jejeran onderdil dalemannya.
Lalat malang itu menyaksikan “dunia kamar” itu dari balik kaca bening toples yang mengurungnya. Tanpa ampun, ia berpikir dan berpesepsi bahwa, “Oh, ternyata dunia ini adalah Real Madrid, tivi yang kecapekan, ember yang uzur, serta kasur yang penuh nestapa itu.”
Ia menjadi lalat yang benar-benar summun bukmun umyun fahum la ya’qilun. Ia tak pernah menginsafi bahwa ia semata terjebak di sebuah “dunia kamar” belaka, yang cuma merupakan serpihan imut dari dunia luas yang sesungguhnya, yang di luar sana menyuguhkan jutaan obyek beserta warna-warninya yang sangat amazing.
Ia tak tahu bahwa di luar sana ada MU yang merah itu keren euy, Amplaz yang riuh dengan gadis-gadis pirang bercelana dangkal, jalanan yang dijejali anak-anak muda yang saling memasang celurit di pinggang pasangannya di atas motor, hujan yang tak pernah alpa menciumi tanah setiap senja mengerjap, kopi kental yang melesatkan imajinasi, sejoli yang berantem di tepi jalan raya gara-gara belum tuntasnya hitung-hitungan bayaran ngafe tadi, sampai sepasang young adult yang memutuskan untuk LDR gara-gara si cewek illfeel sama lelakinya yang mencukur klimis jenggotnya. “Kau bukan lagi lelaki berkalung jenggot, Mas, padahal satu-satunya hal yang kusuka darimu hanyalah jenggotmu itu!” pekiknya sambil mengibaskan poninya yang curly dan membanting HP (kemudian bagian ini disesalinya dengan sangat). *sodorin jenggot kambing*

Dari penjelasan di atas sudah sangat jelas, bahwa kita sebagai orang yang masih hidup di dunia ini haruslah terus mencari ilmu. Di luar kamar. Di manapun. Dari siapapun. Asal itu baik kita harus menerimanya. Toh, kita sedang mencari kebenaran bukan siapa yang benar.
Sebisa mungkin harus menjadi generasi yang selow, buakan jadi generasi yang bebal, ngototan, ataupun ngamukan. Pokonya kalau tidak pendapatku, tidak! Alahhh ngopo to drun, sudrun.
Jadi berapapun otak kita menampung banyak ilmu, janganlah pernah merasa puas. Apalagi merasa paling pintar atau merasa paling benar, itu memuakkan dan njelehi.
Adziz, selama nafas masih berhembus. Tuntutlah ilmu terus menerus.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar