Eyang R.M Panji Sosrokartono |
kalangan intelektual dan bangsawan di sana. Mahasiswa Universitas Leiden itu kemudian
menjadi wartawan perang Indonesia pertama pada Perang Dunia I.
Di Indonesia, Sosrokartono mendirikan sekolah dan
perpustakaan. Ia juga membuka rumah pengobatan Darussalam di Bandung.
Tempo menelusuri jejak sang intelektual dan spiritualis ini dari
orang-orang yang pernah bersinggungan dengan Sosrokartono, juga dari
berbagai bukunya, termasuk surat- surat Kartini dan adik-adiknya, dan dari
naskah pidatonya yang masih tersimpan di Leiden.
Selama 29 tahun ia hidup melanglang Eropa. Di Bandung ia
mendirikan perpustakaan, rumah pengobatan, dan dicap komunis. FOTO hitam putih seukuran kartu pos itu masih ia simpan
rapi. Saat itu
Kartini Pudjiarto masih delapan tahun. Ia bersama
ibunya RA Siti Hadiwati dan kakeknya PAA Sosro Boesono berfoto bersama RM
Panji Sosrokartono di rumah pengobatan Darussalam di Jalan Pungkur 7,
Bandung, milik Sosrokartono.
Sosrokartono (1877-1952) adalah adik kandung Boesono.
Keduanya adalah kakak RA Kartini, pahlawan emansipasi wanita yang setiap
tanggal 21 April selalu dirayakan di seluruh pelosok Indonesia. Mereka adalah
anak Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Samingoen
Sosroningrat untuk periode
1880-1905 dari perkawinannya dengan Ngasirah.
Pasangan ini memiliki delapan anak.
Foto yang menjadi koleksi tak ternilai Kartini Pudjiarto
itu dipotret pada 1950, dua tahun menjelang Sosrokartono wafat. Eyang
Sosro, begitu Kartini memanggil, duduk di sebuah kursi. “Eyang Sosro
lebih sering duduk di kursi, karena separuh tubuhnya sudah lumpuh,”
ucapnya kepada Tempo pekan lalu.
Ia masih ingat, setiap kali berkunjung ke rumah panggung
yang dindingnya terbuat dari bambu itu, ia
selalu dicium dan diusap kepalanya. Eyang Sosro sering berpuasa. Jika tak
berpuasa, ia jarang makan. “Eyang sering hanya
minum air kelapa,” tutur Kartini.
Meski separuh lumpuh, Kartono–begitu RA Kartini dan
adik-adiknya memanggil–masih menerima ratusan tamu yang datang
dengan berbagai kepentingan, mulai dari sekadar meminta nasihat,
belajar bahasa asing, hingga mengobati berbagai macam penyakit.
Pada setiap pengobatan, Kartono biasanya memberikan air
putih dan secarik kertas bertulisan huruf
Alif (singkatan dari Allah) kepada pasien. Kartini Pudjiarto masih menyimpan lukisan sederhana
berbingkai kayu yang berisi goresan Alif di kertas putih pemberian Eyang Sosro.
“Katanya buat jaga-jaga,” ujar Kartini.
Ada pula secarik kertas putih yang berisi nasihat Eyang
Sosro bertulisan “Sugih tanpa banda / Digdaya tanpa aji / Nglurug
tanpa bala / Menang tanpa ngasorake” (Kaya tanpa harta/ Sakti tanpa azimat/
Menyerbu tanpa pasukan/ Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan) yang
ditempel dengan selotip di dinding. Ia juga menyimpan tongkat Kartono, yang
merupakan jatah warisan keluarga yang dibagi-bagi setelah sang eyang
meninggal.
Air putih, huruf Alif, nasihat-nasihat hidup yang ia
tulis dalam bahasa Jawa, dan laku berpuasa berhari-hari, adalah bagian
dari “wajah mistik” Sosrokartono, orang Indonesia pertama yang terjun
ke medan peperangan di Perang Dunia I di Eropa sebagai wartawan. Selama 29
tahun, Sosrokartono lebih dikenal sebagai seorang intelektual yang
disegani di Eropa. Ia kerap dipanggil dengan sebutan De Javanese Prins
(Pangeran dari Tanah Jawa) atau De Mooie Sos (Sos yang Tampan).
Ia mengembara ke beberapa negara. Mula-mula ia belajar di
Delft, Belanda, lalu pindah ke Universitas Leiden, bergaul dengan kalangan
bangsawan Eropa, kemudian menjadi wartawan perang. Ia juga
pernah menjadi staf Kedutaan Besar Prancis di Den Haag, bahkan sempat
menjadi penerjemah untuk Liga Bangsa-Bangsa. Kartono pada akhirnya memutuskan
pulang ke Indonesia mendirikan perpustakaan dan
sekolah. Seperempat abad sisa umurnya
kemudian ditambatkan sebagai seorang spiritualis.
Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja
(Hasta Mitra, Jakarta, 1997) menggambarkan kelebihan Kartono
sebagai spritualis itu. Pram mengutip kesaksian seorang dokter Belanda di
CBZ (kini RS Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta) pada 1930-an. Ia menyaksikan
Kartono menyembuhkan wanita melahirkan yang menurut para dokter tak
tertolong lagi, tapi sembuh setelah minum air putih yang diberikan Kartono.
Suryatini Ganie, cucu RA Sulastri Tjokrohadi Sosro, kakak
seayah Sosrokartono, menggambarkan kelebihan Kartono yang
juga kakeknya itu sebagai orang yang mudah sekali menebak pikiran
orang. Menurut pengarang buku Resep-resep Kartini ini, Eyang Sosro cenderung
menyendiri, jauh di
Bandung, dibanding berkumpul dengan keluarga yang
tersebar di Jawa Tengah.
Rumah pengobatan Pondok Darussalam milik Sosrokartono
merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan dinding bambu. Rumah itu
dibangun memanjang membentuk huruf L sepanjang Jalan Pungkur. Bangunan itu
tepat berada di depan terminal angkutan kota Kebun Kelapa sekarang.
Kini bangunan itu sudah tidak ada lagi. Penghuninya sudah
berganti, begitu juga nomor rumahnya, yang sudah memakai nomor baru yang
dipakai sejak 1960-an. Pemilik ruko yang menempati Jalan Pungkur 3, 5, 7, 9
ketika ditanya tidak tahu bahwa di jalan itu pernah ada
pondok pengobatan milik Sosrokartono.
Mendengar cerita Kayanto, pondok pengobatan
milik Kartono diperkirakan menempati deretan bangunan yang kini sudah berubah menjadi toko listrik, swalayan di Gedung
Mansion, serta sebuah apotek yang terletak
di sudut Jalan Pungkur dan Jalan Dewi Sartika.
Kayanto Soepardi, 63 tahun, putra seorang asisten
Sosrokartono, masih ingat: Darussalam tak pernah sepi. Tamunya mulai
dari orang Belanda, pribumi, hingga Cina peranakan. Ia pernah melihat
Bung Karno datang menemui Kartono. Saat itu Kartono menggoreskan
huruf Alif di atas kertas
putih seukuran prangko dan menyelipkannya ke dalam
peci Bung Karno, entah untuk apa. Bung Karno pula, menurut penuturan
ayahandanya, kerap datang untuk belajar bahasa kepada Sosrokartono.
Kartono, menurut Kayanto, tidak pernah lepas dari sebuah
tongkat, beskap berwarna putih lengan panjang, sebuah topi (mirip
mahkota) warna hitam, dan mengalungkan tasbih yang menggantung hingga
dadanya. Janggutnya sebagian sudah memutih, sorot matanya tajam, dan
lebih banyak diam.
Darussalam, selain menjadi rumah pengobatan, juga sebuah
perpustakaan. Kartono dalam suratnya kepada Abendanon pada 19
Juli 1926 (Surat- surat Adik R.A. Kartini terbitan PT Djambatan 2005)
menceritakan selain mendirikan perpustakaan Panti Sastra di Tegal
bersama adiknya, RA Kardinah, ia juga mendirikan perpustakaan di
Bandung. “Perpustakaan ini tidak disebut dengan nama yang lazim melainkan
merupakan lambang dari suatu pengertian baru, suatu cita-cita baru.
Namanya Darussalam, yang berarti rumah kedamaian,” tulis Kartono.
Buku-buku perpustakaan itu disumbang oleh dua orang
insinyur perusahaan kereta api Staats Spoorwegen, tiga orang partikelir bangsa
Belanda, dua orang wanita Belanda, tiga orang Jawa, dan seorang Tionghoa.
“Semboyannya tanpo rupo tanpo sworo, yang
berarti tidak berwarna, tiada perbedaan, tiada perselisihan,” ucap Kartono.
Budya Pradipta, Ketua Paguyuban Sosrokartanan Jakarta dan
dosen tetap bahasa, sastra, dan budaya Jawa Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, mengatakan Darussalam
adalah bekas gedung Taman Siswa Bandung. Kartono diminta menempati gedung itu oleh RM Soerjodipoetro, adik
Ki Hajar Dewantara. “Eyang Sosro di sana
karena diminta menjadi pimpinan Nationale Middelbare
School (Sekolah Menengah Nasional) milik Taman Siswa,” ujar Budya.
Di perpustakaan inilah tokoh pergerakan Indonesia sering
berkumpul, termasuk Ir Soekarno. Bung Karno
juga diminta mengajar di sekolah itu bersama
Dr Samsi dan Soenarjo SH. Gedung ini juga dipakai oleh Partai Nasional Indonesia dan Indonesisch Nationale Padvinders
Organisastie pimpinan Abdoel Rachim, mertua
Bung Hatta.
Kepeloporan Kartono sebagai tokoh pendidikan inilah yang
hendak dikenang Sukadiah Pringgohardjoso, mantan Duta Besar RI untuk Denmark
(1981-1984). Sukadiah kini aktif sebagai pembina Yayasan Pendidikan Anak Sehat Sosrokartono
di Cengkareng Barat, Jakarta. Yayasan ini didirikan oleh
Sosrohadikusumo, anak dari Soematri Sosrohadikusumo–adik Kartono. “Kami lebih mementingkan hal-hal konkret: mendidik anak sesuai dengan keinginan beliau dan mengentaskan kemiskinan,” ujar Sukadiah.
Sosrohadikusumo, anak dari Soematri Sosrohadikusumo–adik Kartono. “Kami lebih mementingkan hal-hal konkret: mendidik anak sesuai dengan keinginan beliau dan mengentaskan kemiskinan,” ujar Sukadiah.
Kartono tak pernah beku. Di Belanda, selain kuliah, ia
menjadi koresponden liputan Perang Dunia I untuk koran The New York Herald,
cikal bakal The New York Herald Tribune. Agar bisa lebih masuk ke kancah
perang, ia
menerima pangkat mayor dari tentara Sekutu, tapi menolak dipersenjatai. Salah satu keberhasilan Kartono sebagai wartawan adalah ketika berhasil memuat hasil perjanjian rahasia antara tentara Jerman yang menyerah dan tentara Prancis yang menang perang (Baca: Wartawan Mooie dari Hindia Belanda).
menerima pangkat mayor dari tentara Sekutu, tapi menolak dipersenjatai. Salah satu keberhasilan Kartono sebagai wartawan adalah ketika berhasil memuat hasil perjanjian rahasia antara tentara Jerman yang menyerah dan tentara Prancis yang menang perang (Baca: Wartawan Mooie dari Hindia Belanda).
Sebagai koresponden perang, tulis Mohammad Hatta dalam
Memoir, Kartono bergaji US$ 1.250 sebulan. “Dengan gaji sebanyak itu, ia dapat
hidup sebagai seorang miliuner di Wina. Menurut cerita ia bergaul dalam lingkungan
bangsawan,” tulis Hatta.
Kartono, intelektual yang menguasai 17 bahasa asing itu,
mudah diterima kalangan elite di Belanda, Belgia, Austria, dan bahkan Prancis.
Ia berbicara dalam bahasa Inggris, Belanda, India, Cina, Jepang, Arab, Sanskerta,
Rusia, Yunani, Latin. Bahkan, “Ia juga pandai berbahasa Basken (Basque), suatu
suku bangsa Spanyol,” kata Hatta.
Dengan pengetahuan dan kecakapan berbahasa itu, Kartono
memberanikan diri menemui Gubernur Jenderal W. Rooseboom pada 14 Agustus 1899, sebelum
berangkat ke Batavia untuk memangku jabatannya yang baru. Solichin Salam dalam
Drs. RMP Sosrokartono, Sebuah Biografi (terbitan Yayasan Pendidikan Sosrokartono,
1979) menyebutkan, dalam pertemuan tersebut Kartono meminta kepada Rooseboom
untuk benar-benar memperhatikan pendidikan dan pengajaran kaum pribumi di
Hindia Belanda. Profesor Dr J.H.C. Kern, dosen pembimbingnya di Universitas
Leiden, kemudian mengundang Kartono untuk menjadi pembicara dalam Kongres
Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia, pada September 1899. Dalam kongres
yang membicarakan masalah bahasa dan sastra Belanda di pelbagai negara itu,
Sosrokartono mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia Belanda yang tak
dipenuhi pemerintah jajahan.
Dalam pidato berjudul Het Nederlandsch in Indie (Bahasa
Belanda di
Indonesia), Kartono antara lain mengungkapkan:
“Dengan tegas saya
menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun
yang akan membikin kita
(Hindia Belanda) menjadi bangsa Eropa atau setengah
Eropa dan akan
menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita
yang luhur lagi suci.
Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan
saya tantang!”
Keluhuran tradisi itulah yang menurut Kartono mesti
dipertahankan
orang-orang pribumi di mana saja berada. Dengan
cakrawala pengetahuan yang
terbuka–Kartono meminta pemerintah jajahan agar
bahasa Belanda dan bahasa
internasional lain diajarkan di Hindia Belanda–kaum
pribumi bisa
mempertahankan kemuliaan tradisi dan harga diri
mereka.
Setelah 29 tahun melanglang Eropa sejak 1897, pangeran
tampan dari tanah Jawa itu pun pulang. Ia ingin mendirikan sekolah sebagaimana
dicita citakan mendiang adiknya, Kartini. Ia juga ingin mendirikan
perpustakaan.
Untuk menghimpun modal, pada mulanya ia melamar menjadi koresponden The New York Herald untuk Hindia Belanda, tapi koran itu sudah berganti pemilik dan merger dengan koran lain.Namun, dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, Kartono menyatakan kekecewaannya. Sesampai di Jawa, ia telah dicap sebagai komunis oleh pemerintah jajahan. “Itu merupakan bentuk fitnah yang sangat keji yang saya rasakan, namun tidak berdaya terhadapnya,” tulis Kartono.
Untuk menghimpun modal, pada mulanya ia melamar menjadi koresponden The New York Herald untuk Hindia Belanda, tapi koran itu sudah berganti pemilik dan merger dengan koran lain.Namun, dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, Kartono menyatakan kekecewaannya. Sesampai di Jawa, ia telah dicap sebagai komunis oleh pemerintah jajahan. “Itu merupakan bentuk fitnah yang sangat keji yang saya rasakan, namun tidak berdaya terhadapnya,” tulis Kartono.
“Tapi kepada Anda, Nyonya yang mulia, saya bersumpah atas
kubur ayah saya dan Kartini, bahwa saya sama sekali tak pernah menganut paham
komunis,
dulu tidak, sekarang pun tidak. Tidak ada yang
lebih saya inginkan
daripada bekerja untuk pendidikan mental sesama
bangsa saya, dalam artian
yang telah dimaksudkan oleh Kartini,” ucap Kartono.
Kartono kemudian menggalang dukungan dari kelompok
pergerakan di
Indonesia. Ia menemui Ki Hajar Dewantara. Bapak
pendidikan itu lalu
mempersilakan Kartono membangun perpustakaan di
gedung Taman Siswa
Bandung. Ia pun diangkat menjadi kepala Sekolah
Menengah Nasional di kota
ini.
Pada saat yang bersamaan, ia menyaksikan orang-orang
kelaparan dan
diserang berbagai macam penyakit. Kartono pun
kemudian menjalankan laku
puasa bertahun-tahun untuk merasakan apa yang juga
diderita
saudara-saudaranya. Ia juga menjadikan Darussalam
sebagai rumah
pengobatan.
Cerita air putih, Alif, dan wejangan-wejangan hidup dalam
bahasa Jawa,
kemudian mengalir dari sini dan menjelmakan Kartono
sebagai seorang penyembuh. Walaupun tak memiliki murid, di kemudian hari
Kartono memiliki “pengikut”. Paguyuban Sosrokartanan, komunitas pencinta Sosrokartono,
kini telah ada di empat kota: Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya. Di
Yogyakarta, paguyuban ini juga membuka rumah pengobatan.
Separuh badan Kartono lumpuh sejak 1942. Kartono mangkat
pada 1952, tanpa meninggalkan istri dan anak. Ia dimakamkan di Sedo Mukti, Desa
Kaliputu,
Kudus, Jawa Tengah. Di sebelah kiri makam Kartono
terdapat makam ibunyaNyai Ngasirah dan bapaknya RMA Sosroningrat.
Di dinding pagar besi di makam Kartono, terpasang tulisan
huruf Alif dalam bingkai kaca seukuran 10R. Di bawahnya terdapat foto Kartono
mengenakan setelan jas ala orang Barat. Di nisan sebelah kiri, tercantum kata-
kata terpilih Kartono: Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. Di nisan sebelah
kanan tercantum kalimat: Trimah mawi pasrah (rela
menyerah terhadap
keadaan yang telah terjadi), suwung pamrih tebih
ajrih (jika tak berniat
jahat, tidak perlu takut), langgeng tan ana susah
tan ana bungah (tetap
tenang, tidak kenal duka maupun suka), anteng
manteng sugeng jeneng (diam
sungguh-sungguh, maka akan selamat
sentosa).sebenarnya masih banyak cerita tentang beliau, semoga kita bisa
meneladani beliau. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar