Prolog
Aku sangat menyukai senyum dan suaranya yang masih memberi ruang di sisi
hatinya bagi laki-laki yang rapuh dan kalah. Pernah aku ceritakan kepada gadis
berpipi dengan size agak sedikit berlebih itu, riwayat kisah perjalanan cintaku
yang tak kunjung mulus.
Dan kini kuulangi kembali. Bukan untuk mengingat-ingat mantan. Bukan!
Namun ini sekedar mengingatkan betapa beruntungnya diriku, yang oleh Tuhan
dikenalkan dengan gadis berpipi dengan size agak sedikit berlebih itu. Ihirr.
Dalam hitunganku, setidaknya aku pernah tiga kali kalah dalam menjalani
kisah cinta. Kalah total. Berantakan. Berserakan. Mulai dari diputus dengan alasan
konyol. Ada pula yang sudah bersanding denganku namun sempat-sempatnya kangen
sama mantannya. Untuk ukuran lelaki normal, seorang gadis yang telah dia yakin
mencintainya. Jangankan dekat dengan mantannya lagi, lha wong dengan kawannya sendiri pun bisa cemburu gila kalau dari
awal tiada penjelasan.
Jika otak terpenuhi oleh bayang-banyang macam itu, hasrat untuk menjalin
jalinan kasih pun tiada. Lenyap entah kemana. Laksana kapuk yang tersulut api. Seketika lenyap.
Namun pada akhirnya, di waktu yang tak disangka-sangka. Dia, gadis
berpipi dengan size agak sedikit berlebih itu datang. Entah karena sekedar
singgah ataukah memang hatinya telah digerakkan oleh Tuhan untuk menetap dalam
relung hati? Wallahu a’lam
Namun yang pasti kehadirannya membuat semangat baru dalam hidupku. Hadirnya
memantik obor hidup luar biasa terang. Yang menunjukkan setiap lubang di jalan
kehidupan yang aku tempuh.
Monolog
“Oh, Tuhan, inikah wakilMu? Yang pada dirinya Engkau sematkan cahayaMu
untuk membimbing kembali hamba kembali ke jalanMu?”
“Kenapa kau melontarkan pertanyaan
itu kepada Tuhan?”
“Sederhana. Cara Tuhan menarik kembali dekat dengaNya itu beragam. Bisa
lewat jalan susah ataupun senang.”
“Lalu, apa hubungannya dekat kepada
Tuhan dengan kenalnya kau dengan gadis berpipi dengan size agak sedikit
berlebih itu?”
“Sebentar sabar. Jangan nerocos kayak emak-emak lagi ngegosip.”
“Aku akan jelaskan. Eh, bukan, bercerita tepatnya. Awal mula kenapa bisa
aku menganggap kedekatanku dengan gadis berpipi dengan size agak sedikit
berlebih itu berbanding sama dengan kedekatanku dengan Tuhan.”
“Diawal, sudah aku jelaskan bukan? Bahwa kisah cintaku berakhir gagal.
Itu membuatku down, sudah saat
menjalin kasih jarang ibadah. Ditambah saat pas putus! Beuh, makin males! Ini
jujur-jujuran aja. Aku paling tak bisa dan benci yang namanya jaim. Untuk apa pula jaim? Bila buntutnya nanti bakal ketahuan
juga. Iya aja.”
“Hmmmt.”
Namun, kawan. Sangat berbeda dengan saat aku dekat dengan gadis berpipi
dengan size agak sedikit berlebih itu. Kuraskan banyak yang berubah dalam
hidupku. Yang dulunya aku tak tahu cara nulis apalagi baca Bismillah, kini Alhamdulillah
banget lumayan bisa aku membacanya. Ibadah yang terkatung-katung kini mampu aku
menegakkannya. Walau subuh masih banyak yang kawanan. Hehehe.
“Alhamdulillah. Jadi yang dulu kamu
bergelar MM (master maksiat) kini mulai mau mengejar MM yang member masjid,
begitu?”
Ya, aku bersemangat akan hal itu. Biar aku lanjutkan ceritaku. Nikmatilah
rokok dan kopimu sambil mendengarkan ceritaku.
“Baik, silahkan lanjutkan.”
“Lewat chat, sms, telepon. Entah kenapa yang asyik kami bicarakan adalah
saling menasehati tentang kebaikan (agama, red). Walaupun sering dimulai dengan
salah dari kami curhat. Namun pada akhirnya adalah ketenangan hati yang luar
biasa yang aku rasakan. Karena, ya, itu tadi. Yang kami bahas adalah tentang
kebaikan. Kita semua setujukan, bahwa kebaikan adalah suatu yang tak mungkin
habis untuk dibicarakan.”
“Setiap kali chat, sms dan
telepon?! Gila”
“Ya, percaya tak percaya memang begitu kenyataannya. Dan kami tak cukup
bila 1 jam bicara. Beneran.”
“Lantas, berapa jam?”
“Entahlah. Yang aku ingat, dulu. Kami pernah bicara dari jam 11 malam
sampai hampir jam 1.30 dini hari.”
“Edyan! Dan tidak kehabisan bahan
tu, nerocos segitu lamanya?”
“Tidak, sama sekali tidak. Yang membuat kami berhenti adalah ketika rasa
kantuk datang.”
“Sodron, sodron. Ya sudah,
lanjutkan ceritamu. Jadi penasaran aku, kok bisa gadis berpipi dengan size agak
sedikit berlebih yang kau kata itu berhasil membuatmu dekat kembali dengan
Tuhan.
“Hehehe. Baiklah. Akan kumulai kembali. Berawal dari chat, sms dan
telepon itu tadi. Semangat untuk memperbaki diri begitu menggelora.
Meledak-ledak. Bagai letusan gunung Tambora dua ratus tahun yang lalu.”
“Alhamdulillah, dengan rahmat Tuhan yang Maha Pengasih. Hingga sampai
saat ini, telah banyak aku belajar tentang kebaikan. Dan semakin doyan aku
menghadiri majelis-majelis ilmu. Semakin semangat aku dalam menata hati dan
pikiran.”
“Dia semacam pengisi daya dalam hidupku yang telah lama loyo.”
“Mungkin kau sedang jatuh cinta?”
“Hah? Jatuh cinta?”
“Iya, jatuh cinta. Menurut buku
yang aku baca, cinta itu membangkitkan semangat. Menuntun berbuat baik. Enggan
diajak untuk berbuat yang dilarang oleh Tuhan.”
“Mungkin juga. Entah kenapa aku sering sedih bila jauh darinya. Dan
perasaan takut kehilangannya pun mulai sedikit demi sedikit muncul.”
“Nhaaaaa. Tidak salah lagi. Kau
sedang jatuh cinta! Bisa aku pastikan itu.”
“Lalu, apa yang harus aku lakukan? Karena jika melihat kebelakang, kisah
cintaku berakhir dengan sangat menyebalkan. Dan malah berujung kepada
kejauhanku terhadap Tuhanku.”
“Begini. Jika aku mengingat tentang
ceritamu tentang kisah cintamu yang dulu-dulu itu. Sebenarnya, ya, itu bukan
cinta! Itu nafsu!”
“Hah, nafsu?”
“Iya! Coba pikir, Cinta adalah
iradat dari Tuhan, mana mungkin iradat dari Tuhan malah menjauhkan dariNya? Kalau
malah menjauhkan dari Tuhan, itu mah bukan cinta. Melainkan itu tadi, nafsu!”
“Aih, begitu rupanya. Lalu, lalu, apa yang harus aku lakukan agar cinta
ini tak menjadi nafsu?”
“Berdoa dengan penuh keyakinan. Sandarkan
seluruh cintamu padaNya. Ikut sertakan nama Tuhan disetiap usahamu. Sekali pun
jangan pernah meninggalkanNya. Tuhanlah yang nantinya membimbing dan
menunjukkan jalanNya.”
“Baiklah. Bismillah. Terus aku
akan berdoa dan berusaha. Menjaga dan merawatnya. Aku pun sangat takut jikalau
cinta ini berujung nafsu yang menipu. Doakan pula, agar segera aku mendapat
restu kedua orang tuaku dan orang tuanya. Dengan mengharap ridho Tuhan, semoga
segera pula kami mengikat janji suci.”
“Pasti aku akan mendoakanmu dan
dirinya. Oh ya, omong-omong, kopinya habis.”
“Hah? Aku belum nyeduh barang setetes setaaannn!!!”
“Hehehe”
Adziz bin Gino
Sukoharjo, 10-14 April 2015
0 komentar:
Posting Komentar