Sabtu, 11 April 2015

aSurat Cinta, Untuk Sahabatku



Surat cinta, untuk sahabatku.
Diusia kita yang sudah merangkak sedikit demi sedikit ke kepala 3 ini. Sudah saatnya aku menekankan nasehat ini untuk aku sendiri dan kepada sahabat aku yang teramat aku sayangi, yaitu si Catur dan kang Dodo untuk sedikit memilah waktu.
Jujur ini aku tulis karena keprihatinan aku yang mendalam terhadap rutinitas yang terlalu menguras waktu kita. Yang mengakibatkan banyak sekali waktu yang terbuang untuk satu rutinitas saja. Hingga lenyap apa-apa yang sebetulnya juga perlu dipikirkan kelak.
Aku tekankan sejak awal pula, disini aku membahas secara manusiawi. Bukan sok jadi ustadz atau sok agamis. Karena itu masih keduwuren bro! Yang ringan ringan dulu aja dah.
-------

Secara watak gawan bayi setiap laki-laki itu memang suka memuji, merayu atau nggombal terserah anda mau pakai yang mana. Nhah, untungnya nih, Tuhan itu Maha Adil, yang menjadikan kaum hawa itu makhluk yang doyan banget dipuji, dirayu atau digombali. Walaupun diakhir kata setelah susah payah para lelaki mengais kata untuk disusun menjadi seikat pujian yang indah untuk ditujukan kepada perempuan adalah halah, gombal! Namun pada hakekatnya, jauh di dalam hati perempuan amatlah berbungat-bunga.
“Kamu cantik hari ini,” misalnya.
Amat teramat sederhana memang. Namun walaupun sederhana, itu cukup untuk membuat hati perempuan berbinar bagai kembang api di malam tahun baru. Apalagi setelah dia berusaha keras untuk dandan secantik mungkin. Beuh, bro, ente malaikat pertama yang akan dicatat dalam hatinya. *Insyaa Allah*
Paham?
Jadi teruntuk sahabatku tersayang, Catur. Sejenak pujilah perempuanmu, jangan umyek melulu dengan urusan menjamah puncak gunung. Gunung karya spektakuler Sang Maha Kuasa, banget malah! Namun, perempuan pun ciptaan Sang Maha Kuasa yang tak kalah spektakulernya. Cobalah puji keindahan perempuanmu dulu. Toh, dia juga punya gunung, ah sudahlah. Emm, oh ya, kelak yang kau peluk adalah dia perempuanmu, bukan?
Ini bukan aku menentang kesenanganmu muncak gunung. Bukan. Kau tahu sendiri, aku pun begitu berhasrat pula muncak gunung lagi. Setelah 2 kali perjalanan gagal melulu.
Namun, sedikit luangkan waktu untuk memikirkan perempuanmu, kawan. Layaknya bunga, dia akan layu bila tak kau sirami saban harinya. Ai lope yu.
Ini untuk kau kelak ya, setelah kau menemukan dambaan hatimu yang benar-benar serius menjalani ikatan suci selamanya. Malah, mbok menowo, jodoh yang akan kau dapat nanti sama-sama penyumbu ketinggian. Tambah asyik kan? Kalian berdua bisa saling lembar pujian, rayuan, atau gombalan untuk meniadakan lelah saat menapaki jalan menanjak di Rinjani. Beuh-beuh.
Ditambah lagi kepiawaianmu memainkan kata, menyusunnya menjadi bait-bait indah yang sudah seperti mbah Sapardi Djoko Damono. Itu akan makin memuluskan nasehatku ini. Tinggal satu tahap lagi kok, santai ya, kawan. Aku berdoa terus untukmu. Mugo ndang rabi!
Heh, nulis apaan aku nih. Ok, kali ini sedikit serius. Namun tetap, guyon fardhu ‘ain mutlak akan ada. Heuheu.
Catur Suseno, sahabatku sejak kakiku menapakkannya di SMK Muhammadiyah 1 Sukoharjo, Sekolah Bertaraf Internasional (Namun katanya sudah dicabut) yang terletak di sudut sebelah alun-alun Satya Negara Sukoharjo itu pada Juli 2008.
Awal mengenalnya tampak raut wajahnya begitu tegang macam preman pasar yang tak doyan dengan guyonan.
Tenang, itu ternyata hannya tampak luarnya saja. Dalam dirinya, beuh. Sedikit gila, eh bukan, memang gila! Kemampleng. Enggan melambaikan tangan kala berjumpa. Digantinya dengan menodongkan jari tengah. Itukan asu sekali.
Namun, untuk masalah kesetiaan kepada pacar sahabat, patut beribu jempol dilempar kepadanya. Aku sanggup menjadi saksinya.
Dulu, waktu masih SMK. Sepulang sekolah, tiba-tiba tubuhku begitu berat untuk diajak berjalan. Yang akhirnya si Catur mengajak ke tempat kantin bu Denok. Di sana, bu Denok dengan penuh kasih sayang seorang ibu me­ngerokiku. Setelah itu, karena memang butuh istirahat. Aku rebahan di sudut kamar kantin. Dengan tabahnya, sambil bermain game di laptopnya dia menungguiku yang terkapar lemas tak berdaya. Aih, aih. Itu tak akan kulupakan kawan. Terima kasih.
Sebenarnya, begitu banyak kisah heroiknya kepadaku yang belum sanggup satupun aku membalasnya. Terlampau panjang nanti tulisan ini, yang malah akan menurunkan hasrat pembaca. Yang terpenting, jempol yang ada di tubuhku belum cukup rasanya untuk mengapresiasi keheroikkannya.
Semoga Allah yang membalas semuanya tindak tanduk baiknya.
Namun yang menjadi salah satu pokok doaku adalah semoga dia diberi jodoh sholehah dunia akhirat. Karena kulihat dia sudah jenuh dengan berbagai kisah cinta yang tak kunjung kejelasan akhirnya. Supaya tak di cap dia sebagai playboy cap kadal buntung.
Karena yang kutahu, kesetiaan kawaku yang satu ini cukup mumpuni untuk sebuah hubungan yang serius. Dari sekian kisah cinta yang ku tahu tentang dirinya. Tiada satupun kisah cintanya berkahir dikarenakan ada pihak ketiga. Ya, tiada satupun. Ucapan saya Insyaa Allah bisa dipegang. Kepada cewek-cewek minat silahkan pm dia langsung. Heuheu.
--------------
Teruntuk sahabat tercintaku pula, Kang Dodo. Kau akan segera memasuki umur seperempat abad, kakang. Sudah saatnya menghilangkan penyakit canggung, menyerah sebelum berperang, dan serba perkewuh dalam mendekati wanita.
Entah beberapa bulan yang lalu, aku mencoba mengenalkan kakangku ini dengan seorang perempuan cantik berjilbab. Yang menurut pandanganku sih, dia perempuan yang sholehah. Kebetulan kami satu majelis. Dari facebook sampai pin bbm kuberikan kepadanya. Namun satu kata untuk memulai pembicaraan pun tak kunjung dia lontarkan.
“Hah, ayolah kakang. Niat ndak sih!,” protesku pada suatu kesempatan.
“Lhah, gimana ya ziz, sepertinya aku ndak pantes untuknya,” jawabnya begitu lesu.
Kalau sudah begitu, sehardcore apapun aku membantunya niscaya tiada guna. Terlanjur mengibarkan bendera putih dia.
Padahal, dulu, saat aku masih belum bisa baca bismillah dan sama sekali belum kenal yang namanya majelis ilmu. Beuh, wejangannya muantep pol. Hingga alhamdulillah, aku bisa sedikit demi sedikit menemukan jalan terang menuju Tuhan. Ini juga berkat dia.
Dalam masalah menghadapi masalah dan hantaman kerasnya hidup, keuletan dan keteguhan kang Dodo bagiku dia pantas untuk masuk dalam kandidat pemenang piala bergilir Kick Andy Heroes. *Lebay dikit*
Untuk orang sekaliber kang Dodo yang pernah dulu. Dulu sekali. Pernah dia terkurung dalam dunia hitam yang mencoreng penuh ke mukanya. Namun berkat rahmat Tuhan, alhamdulillah belenggu dunia hitam itu berhasil dia lepaskan. Mungkin dari itulah, setiap wejangannya yang terlontar dari mulutnya yang kian menghitam karena terhajar oleh lintingan tembakau itu pasti das dis dus. Jleb. Menampar. Mengena telak dalam hati.
Itu untuk masalah menggadapi tamparan hidup sosial. Namun sepertinya kakangku ini sedikit ada masalah dengan masalah menghadapi kisah asmara.
Pernah dalam kesempatan yang bersamaan dulu juga, kami berdua ndilalah mengalami kisah cinta yang sangat bajindul. Habis waktu, habis duit, dan hampir saja habis iman kami jika masih memegang cinta yang dilahap nafsu itu. Alhamdulillah, rahmat Tuhan diturunkan kepada kami, sehingga kami sama-sama terbebas dari kisah cinta yang dilahap nafsu.
Namun selang beberapa bulan, setelah kisah yang sangat bajindul itu. Ahlamdulillah banget, bintang kejora seperti jatuh menimpa diriku. Seorang gadis yang dulunya langsing manis dengan gerai rambut lurus sepunggung habis disetrika (Alhamdulillah, sekarang sudah rapi terbrangkas oleh hijab), sebelum berangkat ke perantauan itu mencipratkan gerak-gerik yang membuat hatiku penuh harap kepadanya.
Entah kenapa, dengan ikhlas dan tabahnya dia masih mau menyimpan sebuah cincin murahan yang kuberikan saat dia berkunjung diwarnet tempatku bekerja. Sebagai lelaki normal pada umumnya, sebenarnya aku sudah bisa menebak bahwa dia sedikit menaruh harap juga padaku. Dan pada saat itu, kebangkitan hidupku kembali menggelora. Kuhaturkan berjuta terima kasih padanya, yang mungkin saat ini dia sedang membaca tulisanku ini.
Yang darinya kutuliskan sebuah kisah awal jumpa kami yang berjudul “Ok Deal, Kebun Teh”. Karena, yah, itu kenangan yang haram untuk dilupakan bagiku. Untuk keterangan lebih lanjut silahkan mampir ke gubuk saya untuk ngopi bersama.
Berbeda dengan kisah yang di alami oleh kang Dodo. Setelah kisah yang teramat bajindul itu dia alami. Merajut kembali impian untuk punya istri kamar sendiri di sisi bagian rumahnya yang ia pilih. Merantaulah kembali kang Dodo ke kota Metropolitan.
Bekerja menjemput rejeki dia di sebuah perusahaan yang mengharuskan dia untuk pergi menjelajah seluruh antero wilayah Indonesia. Mulai dari Padang, Semarang, Solo, Jogja, Lamongan, Bali, sampai ke tanah Makasar sana.
Yang alhamdulillah setelah beberapa bulan berjuang menguras peluh dan pikiran, jadilah sebuah kamar tidur berukuran entah berapa meter persegi itu, agak lupa akunya. Heuheu. Dibangun pula sebuah petak kecil untuk kamar mandi bersandingan dengan kamar tidurnya. Katanya, biar nanti kalau habis ngonok’an dengan istrinya, mandi besarnya deket. Heuheu.
Pernah dalam satu status facebooknya tertulis begini, “Hei, menikah itu bukan lomba lari, yang ada definisi siapa cepat, siapa lelet larinya. Menikah itu juga bukan lomba makan kerupuk, yang menang adalah yang paling cepat ngabisin kerupuk, lantas semua orang berseru hore. Menikah itu adalah misteri Tuhan. Jadi tidak ada istilah terlambat menikah. Pun tidak ada juga istilah pernikahan dini. Selalu yakini, jika Tuhan sudah menentukan, maka akan tiba momen terbaiknya, di waktu paling pas, tempat paling tepat.”
Aku pun mengangguk paham. Bawasannya, bukan kang Dodo tiada hasrat untuk menikah. Bukan! Karena yang aku tahu hasratnya begitu membara laksana api yang akan membakar Nabi Ibrahim as. Namun untuk melangkah ke jenjang ikatan suci itu butuh beberapa hal yang mesti patut di perhatikan, misalnya, kesiapan psikologis, ekonomi, sosial, dan yang paling penting kesiapan pengetahuan tentang Agama.
Menikah itu sunnah Rasul, haruslah kita jalankan. Tujuan menikah ialah membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Untuk mencapainya, jelas dibutuhkan pilar-pilar yang jelas. Masalah ekonomis iya, dan yang tak boleh diabaikan lagi ialah kesiapan psikologis.
Makanya aku mengatakan kalau anak baru baligh, alias abegeh, mbok ya jangan keburu nikah, sebab kamu belum cukup matang secara psikologis untuk menghadapi ceruk-ceruk rumah-tangga. Atas dasar apa pun! Mbokya sekolah dulu, kuliah dulu, asah psikologis dulu, cari pengalaman hidup dulu, baru deh mikir nikah.
Poin ini yang kurang dijelaskan secara seimbang di buku Ustadz Felix itu. Ya sebab beliaunya memang hanya concern pada “menghindari hubungan bebas dalam pacaran”. Aku maklum tujuannya menulis buku itu.
Heuheu. Urusan rabi meneh rabi meneh memang selalu asyik kalau membahas masalah pe-rabi-an sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Catur juga mungkin sedang memikirkan serius akan hal ini.
Dan sekarang kang Dodo sedang kembali merantau.
“Ke kota hujan Bogor,” katanya sambil menghembuskan asap tembakau di suatu malam di depan rumahku saat berlangsung majelis latar bincang malam.
Ku doakan, agar selalu sehat, selalu diberkahi dan diridhoi oleh Tuhan apa-apa yang dia lakukan. Dan mugo ndang rabi. Aamiin.
Mungkin cukup ini dulu ya, secoret dua coret surat cintaku untuk dua sahabatku yang teramat aku sayangi itu. Oh ya, tambahan. Kenapa aku selalu mengimbuhkan kata “mugo ndang rabi”? yah, karena doa yang baik itu selalu berbalik kepada yang mendoakan. Atau sebelum berefek kepada yang di doakan, yang mendoakan akan menikmati dahulu apa yang dia doakan. Heuheu. Insyaa Allah.
Entah orang mau bilang, edan kek, nggilani kek, tokek kek, ketek kek. Bersahabat dengan mereka berdua merupakan salah satu anugrah yang luar biasa indah. Tanpa melupakan teman-temanku yang lainnya.


Adziz bin Gino  
Sukoharjo, 10 April 2015
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar