Malam telah benar-benar sempurna, merata di muka tanah. Tak banyak suara
binatang malam terdengar kali ini. Hanya suara kodok bersautan sana-sini. Bergembira
karena dari lepas Isya’ tadi sampai
pukul 22.00 tetes hujan terakhir baru saja mendarat di muka tanah.
Duduk bersila aku bersanding dengan setangkup senyum gadis berpipi tembem
dan cangkir kopi bergambar kodok pemberiannya.
Yang sebenarnya pada malam ini setelah melakoni segala rutinitas hari ini
aku ingin segera mendekam di peraduanku. Namun entah mengapa, ada membisikkan
untuk aku menuliskan sebuah cerita. Bukan cerita tentang siapa-siapa. Cerita tentang
apa yang pernah ku alami sendiri.
Malam makin larut, sebaiknya segera ku mulai untuk menuliskannya. Semoga berkah,
dan dapat menjadi teman menyusuri malam pembaca sekalian.
Aamiin.
------------
Telah lumayan banyak aku melahap bacaan dan wejangan mengenai kerinduan
kepada Allah dan RasulNya. Namun satu pun belum benar-benar dapat memuaskan hasratku
mengenai hal itu.
Mungkin benar juga kata orang, “Bahwa sedetail apapun kau membaca atau
mendengar tentang sebuah kerinduan, mustahil engkau dapat ikut merasakannya. Kecuali
engkau pernah merasakannya sendiri. Kerinduan bukan sesuatu sandiwara. Bila memang
tidak ada rasa, rindu mustahil bisa diada-adakan.”
Sepenuhnya aku mengaminkan hal
itu.
Hingga pada suatu kesempatan. Dalam suatu majelis. Saat awal syair mahalul qiyam dilantunkan. Entah kenapa.
Tiba-tiba terisak aku berlinang airmata, bak air bah. Membanjiri pipi merambat ke
leher hingga diserap oleh baju yang melekap ditubuhku. Aku menunduk, jatuhlah
satu demi satu tetes air mata ke tikar. Dan mengendap.
Terasa sesak benar dadaku. Berat rasanya untuk bernafas, seperti ada
suatu benda berat dihimpitkan ke dadaku. Mata sedikit pun enggan untuk membuka,
namun air mata tetap dengan gencarnya menerobos lewat celah kelopak mata. Hampir-hampir
tak mampu aku menahan berat tubuhku sendiri.
Syair mahalul qiyam terbaca
dengan terbata-bata. Malah sering gagal untuk mengucapkannya. Semakin ku
mencoba untuk mengucapkannya, semakin menderu tangisanku.
Ya Allah, inikah kerinduan kepada kekasihMu itu, Rasulullah Muhammad shallâhu ‘alaihi wa sallam? Bila ada
yang bertanya mengapa, sepenggal pun aku tak dapat menjelaskannya.
Dalam tangis, kucoba membayangkan pesona indah wajah Rasulullah shallâhu ‘alaihi wa sallam, namun gagal!
Ah, ternyata masih terlalu banyak bergelimang dosa diri ini. Hingga berkhayal
membayangkan wajah beliau shallâhu
‘alaihi wa sallam saja aku gagal total. Semakin menderu kembali tangisku.
“Ya Allah, semoga air mataku menjadi doa-doa yang tak mampu aku untuk
melantunkannya,” dalam batin aku bergumam.
Syair-syair mahalul qiyam masih
bersisa beberapa bait lagi. Terus aku mencoba membayangkan wajah Rasulullah shallâhu ‘alaihi wa sallam dan mencoba
untuk menenangkan tangisku. Agar syair mahalul
qiyam yang tinggal beberapa bait ini dapat secuil saja aku dapat ikut
melantunkannya. Ah, ada dayaku. Lagi-lagi aku harus kembali gagal. Kedua usahaku
itu gagal total semuanya!
Deru tangisku malah semakin parah!
Cucur air mata tak mampu aku untuk membendungnya. Kurasakan kedua pipi
dan leherku telah begitu lembab dekat ke kuyub. Suara sound system yang begitu indahnya melantunkan syair mahalul qiyam menyamarkan suara deru tangisku
yang tak kunjung mereda ini. Ditambah serentak suara para jamaah yang begitu
harmonis melantunkan syair mahalul qiyam.
Makin bersembunyi suara deru tangisku.
Deru tabuhan rebana berhenti, yang menandakan syair mahalul qiyam telah usai dilantunkan. Dengan tubuh yang masih
gemetar dan mencoba menghentikan deru isak tangis, perlahan kembali aku duduk
bersila.
Dalam lisan yang masih kaku, belum mampu berucap sempurna. Dalam hati
yang mendalam aku gumamkan sebuah doa, “isyfa’lana
ya Rasulullah, isyfa’lana ya Rasulullah, isyfa’lana.”
Adziz bin Gino
Sukoharjo, 12 April 2015
0 komentar:
Posting Komentar