Aku memang sangat menyukai bila duduk termenung di malam yang senantiasa
menorehkan kesunyian. Begitu kelam. Serasa mati. Dengan secangkir kopi dan
beberapa batang lintingan tembakau, telah siap aku bercinta dengan suasana
sunyi malam.
Saat kuhisap dalam-dalam lintingan tembakau, sejenak aku teringat keluhnya
di kolong chat facebook, “Ya, saat kamu menceritakan tentang kita. Mungkin aku hanya bisa
memutar video di ingatanku dan tersenyum karenanya, belum bisa mengungkapkan
dengan indah seperti tulisanmu itu.”
Ah, masih saja dia pikirkan hal itu. Aku pun sebetulnya
juga masih belajar. Kalau di sekolah, mungkin aku masih duduk di kelas 1 SD. Belajar
mengenal abjad dan belajar mengeja kata. Keinginanku untuk bisa menulis lebih
baik dari ini begitu besar. Mungkin itu yang menyebabkan guru imajinasiku
menaikkan aku ke kelas 4. Belajar tentang membuat kalimat yang hidup. Lengkap dengan
S, P, O, K-nya. Bukan frase. Frase itu menjemukan. Berkata tanpa kejelasan. Itu
frase. Namun kalau untuk penegas suasana halal digunakan.
Ya, sedikit demi sedikit. Asal istiqomah. Bismillah.
---------------
Belajar kutulis segala hal berkaitan dengan rinduku
padanya bukan untuk ber-lebay ria. Macam
film-film genit yang jatuh cinta sehabis ditabrak itu. Dan selalu monoton. Ah,
untuk apa pula bila niat awal menorehkan segala ke dalam tulisan begitu murahan
seperti itu.
Segala yang ku tulis saat ini memang benar adanya muncul
dari pikiranku yang telah membludak. Meluap
kesana-kemari laksana banjir Jakarta. Dan pada akhirnya, disinilah pikiran itu
berlabuh. Dalam tatanan susun kata yang semaksimal mungkin kurapikan setelah
meluap kesana-kemari.
Sumber tulisan itu tak lain karena ditemani aroma kopi
dan setangkup senyumnya yang terbingkai rapi. Sepanjang apa aku menuliskan
kisah kenangan, selekat itulah aku mengenangnya. Menyimpannya. Rapat-rapat. Ya,
kekasih, dalam hati ini.
Sebelumnya aku berterima kasih dulu kepada dia, gadis tembem manis
yang telah menjadi sumber pokok dalam aku menulis tentang kerinduan. Dari dirinya
aku menjaring susun kata tentang rindu. Merapikannya. Menghiasnya. Lalu ku
haturkan kepada Tuhan dan selanjutnya ku kirimkan kepada gadis tembem
manis itu.
Itulah sepertinya kerangka kerinduanku. Karena saban hari, kurasa seperti
itu yang kulakan. Memang benar adanya yang tertulis hanya sebagian. Tak semuanya.
Karena sebagian kuceritakan pada kawan-kawanku. Sebagian lagi, langsung ku
utarakan kepada dirinya. Sebagiannya lagi, hanyut bersama doa-doa kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa.
0 komentar:
Posting Komentar