Sanad guru jauh lebih kuat… Hingga kini kita Ahlussunnah wal Jamaah
lebih berpegang kepada silsilah guru (yaitu ia mempunyai riwayat
guru-guru yang bersambung hingga Rasul saw dan kau betul-betul
mengetahui bahwa ia benar-benar memanut gurunya)… kita berpedoman kepada
guru-guru yang bersambung sanadnya kepada Nabi saw ataupun kita
berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga Nabi
saw… Ia (sanad guru) adalah bagai rantai emas terkuat yang tak bisa
diputus dunia dan akhirat, jika bergerak satu mata rantai maka bergerak
seluruh mata rantai hingga ujungnya, yaitu Rasulullah saw.
Pecinta Habibana HABIB Munzir bin Fuad Al-Musawwa lahir di Cipanas,
Cianjur, Jawa Barat, pada hari Jum’at, 23 Februari 1973, bertepatan
dengan tanggal 19 Muharram 1393H. Usai menyelesaikan sekolah lanjutan
tingkat atas, ia mulai mendalami ilmu ilmu syari’ah Islam, diantaranya
di Pesantren Al-Kifahi Ats-Tsaqafi, Bukit Duri, Jakarta Selatan,
mengambil kursus bahasa Arab di LPBA As-Salafi, Kebon Nanas, Jakarta
Timur, kemudian mondok lagi di Pesantren Al-Khairat, Bekasi Timur.
Saat di pesantren Al-Khairat itulah pertama kalinya ia bertemu Habib
Umar bin Hafidz, guru utamanya dikemudian hari. Kepada sang guru, ia
menekuni pelajaran selama empat tahun, yaitu di Ma’had Darul Mushthafa,
Tarim Hadhramaut, Yaman Selatan.
Mau Jadi Apa?
Semasa kecil, ia seorang anak yang sangat dimanja oleh ayahnya. Ia pun sampai merasa bahwa sang ayah lebih memanjakannya lebih dari anaknya yang lain. Namun, beranjak remaja, justru sang anak kesayangan ini yang putus sekolah, sementara kakak kakaknya dapat melanjutkan pendidikannya hingga sampai wisuda. Orangtuanya bangga pada mereka, tapi, sebagaimana yang sempat dituturkannya sendiri, mereka kecewa kepadanya. “Karena saya malas sekolah…,” kisahnya suatu ketika.
Semasa kecil, ia seorang anak yang sangat dimanja oleh ayahnya. Ia pun sampai merasa bahwa sang ayah lebih memanjakannya lebih dari anaknya yang lain. Namun, beranjak remaja, justru sang anak kesayangan ini yang putus sekolah, sementara kakak kakaknya dapat melanjutkan pendidikannya hingga sampai wisuda. Orangtuanya bangga pada mereka, tapi, sebagaimana yang sempat dituturkannya sendiri, mereka kecewa kepadanya. “Karena saya malas sekolah…,” kisahnya suatu ketika.
Namun demikian, ia rajin
menghadiri majelis majelis ilmu. Disamping itu, ia juga menghabiskan
waktu di hari hari mudanya dengan bersholawat seribu kali siang dan
malam, berdzikir beberapa beribu kali, menjalankan puasa Nabi Daud As,
dan sholat malam berjam-jam. “(Tapi) saya pengangguran, dan sangat
membuat ayah bunda malu,” ujarnya.
“Almarhum Ayah sangat malu.
Beliau mumpuni dalam agama dan mumpuni dalam kesuksesan dunia. Beliau
berkata pada saya, ‘Kau ini mau jadi apa? Jika mau agama, belajarlah dan
tuntutlah ilmu sampai ke luar negeri. Jika ingin meneladani ilmu dunia,
tuntutlah sampai ke luar negeri…’
Namun saya sangat mengecewakan ayah bunda. Boleh dikata, saya ini dunia tidak, akhirat pun tidak,” katanya.
Ketika ayahnya pensiun, ibundanya membangun losmen kecil di depan rumah, yang hanya menyediakan lima kamar dan hanya disewakan pada orang yang baik baik, untuk biaya nafkah keluarga, dan ketika itu ia menjadi pelayan losmen milik ibundanya tersebut.
Ketika ayahnya pensiun, ibundanya membangun losmen kecil di depan rumah, yang hanya menyediakan lima kamar dan hanya disewakan pada orang yang baik baik, untuk biaya nafkah keluarga, dan ketika itu ia menjadi pelayan losmen milik ibundanya tersebut.
Setiap malam ia jarang
tidur. Ia banyak termenung di kursi resepsionis yang hanya berupa meja
kecil dan kursi kecil mirip di pos satpam, sambil menanti tamu. Sambil
menunggu losmen, ia habiskan malam malamnya itu dengan bertafakkur,
merenung, berdzikir, menangis, dan sholat malam. Sebagai pelayan losmen,
tugasnya adalah menerima tamu, memasang seprai, menyapu kamar,
membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu,
seperti teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan sang bunda, jika
tamu memesannya.
Sampai ketika semua kakaknya lulus sarjana, ia
tergugah untuk mondok di Pesantren Al-Kifahi Al-Tsaqafi, asuhan Habib
Umar bin Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri, Jakarta Selatan, dan juga
belajar di Ats-Tsaqafah Al-Islamiyah. Namun disana ia hanya sampai
sekitar dua bulan, karena sering sakit sakitan. Penyakit lamanya, yaitu
asma, sering kambuh.
“Ayah makin malu, bunda pun makin sedih…”
ujar Habib Munzir mengenang masa masa itu. “Lalu saya ambil saja kursus
bahasa Arab di As-Salafi, pimpinan Habib Bagir Al-Attas.” Ia pun harus
pulang pergi Jakarta Cipanas, yang saat itu ditempuh dalam dua-tiga jam,
dengan ongkos sendiri, dua kali dalam sepekan. Ongkos perjalanan adalah
hasil dari pekerjaannya di losmen tersebut.
Berjumpa Guru Mulia
Habib Munzir alMusawwa dan Habib Umar bin HafidzIa juga selalu
menyempatkan diri hadir di Majelis Maulid Nabi Saw ditempat Habib Umar
bin Hud Al-Attas, yang saat itu di Cipayung. Jika tak ada ongkos, ia
menumpang truk. Karenanya, sering kali ia sampai harus berhujan hujanan.
Tak jarang ia datang ke Majelis Maulid malam Jum’at itu dalam keadaan
basah kuyup, sampai sampai ia pernah diusir oleh penjaga di rumah Habib
Umar bin Hud, “Karena karpet tebal dan mahal itu sangat bersih, tak
pantas saya yang kotor dan basah menginjaknya. Saya terpaksa berdiri
saja berteduh dibawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu tamu
berdatangan. Saya duduk di luar teras saja, karena baju basah dan takut
dihardik sang penjaga,” ujar Habib Munzir dalam salah satu tulisannya.
Ia sering pula berziarah ke Luar Batang, makam Habib Husein bin Abu
Bakar Alaydrus. Suatu ketika ia datang kesana dan lupa membawa kopiah,
karena datang langsung dari Cipanas. “Ya Allâh, aku datang sebagai tamu
seorang wali-Mu. Tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa berkopiah, tapi
uangku pas pasan, dan aku lapar. Kalau beli kopiah, aku tak makan, dan
ongkos pulangku kurang,” demikian hatinya mengucap saat itu.
Akhirnya ia memutuskan membeli kopiah. Pilihannya yang berwarna hijau,
karena itu yang termurah saat itu di emperan penjual kopiah. Usai
membelinya dan masuk berziarah, sambil membaca Ya-Sin untuk dihadiahkan
kepada shahibul maqam, ia menangisi kehidupannya yang penuh dengan
ketidakmenentuan, mengecewakan orangtua, sering menghindar dari
lingkungan yang terkadang mencemoohnya, “Kakak kakakmu semua sukses,
ayahmu lulusan Makkah dan juga New York University. Kok anaknya centeng
losmen…”
Dalam tangisan itu, hatinya kembali berucap, “Wahai wali
Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yang
shalih di sisi Allâh, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku
lapar dan tak cukup ongkos pulang.”
Saat itu, tiba tiba datang
serombongan kawannya di pesantren Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf.
Tampak mereka senang berjumpa dengannya. Ia pun ditraktir makan. “Saya
langsung teringat, ini berkah saya beradab di makam wali Allâh,”
ujarnya.
Ia pun ditanya, dengan siapa dan mau kemana, ia katakan
bahwa ia sendiri dan mau pulang ke kerabat ibunya di bilangan Pasar
Sawo, Kebon Nanas. Mereka berkata, “Ayo bareng saja, kami antar sampai
Kebon Nanas.” Ia semakin bersyukur kepada Allâh, karena memang ongkosnya
tak ‘kan cukup jika pulang ke Cipanas. Hari sudah larut malam ketika ia
sampai di kediaman bibi dari ibunya. Keesokan harinya ia diberi uang
cukup untuk pulang ke Cipanas.
Tak lama dari kejadian itu, ia
masuk Pesantren Al-Khairat, asuhan Habib Nagib bin Syaikh Abubakar, di
Bekasi Timur. Di pesantren itu, setiap kali majelis pembacaan Maulid
Nabi digelar dan saat Mahallul Qiyam dibacakan, ia menangis. Ia berdoa
kepada Allâh bahwa ia rindu pada Rasulullah Saw. Ia pun ingin
dipertemukan dengan guru yang paling dicintai Rasul Saw.
Dalam
beberapa bulan saja setelah ia mondok disana, tibalah Habib Umar bin
Hafidz ke pondok itu. Itu adalah kunjungan pertama Habib Umar ke
Indonesia, yaitu pada tahun 1994. Pertemuannya dengan Habib Umar membawa
hikmah yang luar biasa, yang kemudian membawa langkah kakinya menuju
negeri leluhurnya, Tarim, Hadhramaut, Yaman Selatan, tempat Habib Umar
membina ma’hadnya, Darul Mushthafa.
Adab kepada Guru
Singkat kisah, sesampainya di Tarim, yaitu di kediaman Habib Umar, sang
guru mengabsen semua nama yang ikut dalam rombongan bersamanya saat
itu. Ketika sampai pada namanya yang dipanggil, sesaat Habib Umar
memandangnya, lalu tersenyum indah.
Tak lama setelah kedatangan
mereka, yang merupakan generasi pertama santri Darul Musthafa, pecahlah
perang antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. Pasokan makanan berkurang,
makanan sulit, listrik mati, mereka pun harus berjalan kaki ke mana mana
dan menempuh jalan sekitar tiga-empat kilometer untuk aktivitas ta’lim.
Biasanya, menggunakan mobil milik Habib Umar, namun dimasa perang
pasokan bensin sangat tidak memadai.
Suatu hari Habib Umar bin Hafidz menatapnya dan kemudian berkata kepadanya, “Namamu ‘Munzir’ – pemberi peringatan.”
Ia mengangguk.
Lalu sang guru berkata lagi kepadanya, “Kelak, kau akan memberi peringatan pada jama’ahmu.”
Ia termenung.
Setelah kejadian itu, sering kali terngiang ucapan sang guru itu, “Kelak, kau akan memberi peringatan pada jama’ahmu.”
Ia mengangguk.
Lalu sang guru berkata lagi kepadanya, “Kelak, kau akan memberi peringatan pada jama’ahmu.”
Ia termenung.
Setelah kejadian itu, sering kali terngiang ucapan sang guru itu, “Kelak, kau akan memberi peringatan pada jama’ahmu.”
“Saya akan punya jama’ah? Saya miskin begini, bahkan untuk mencuci baju
pun tak punya uang untuk beli sabun cuci,” Kisah Habib Munzir suatu
ketika.
Pernah ia ingin mencucikan baju salah seorang temannya
agar mendapat upah mendapat bagian sabun cucinya. Sayangnya, ia malah
mendapat hardikan, “Cucianmu tidak bersih, orang lain saja yang mencuci
baju ini.” Ia pun terpaksa mencuci dengan menggunakan air bekas
mengalirnya air cucian mereka. Air sabun bekas cucian yang mengalir
itulah yang ia gunakan untuk mencuci bajunya.
Hari demi hari
Habib Umar semakin sibuk. Ia memilih untuk banyak berkhidmat pada sang
guru. Ia pun lebih memilih membantu segala permasalahan santri, makanan
mereka, minuman mereka, tempat menginap dan segala masalah rumah tangga
santri, sampai harus meninggalkan pelajaran demi bakti pada sang guru.
Rupanya, itu adalah kiatnya untuk lebih sering berjumpa dengan gurunya
tersebut.
Ia turut membersihkan rumah sang guru, membantu
membawakan sandalnya, terus berdekatan dengannya agar jika sang guru
perlu sesuatu ia menjadi budaknya (demikian Habib Munzir menyebutnya
sendiri) yang paling dekat yang siap diperintah. Ia terus menempel pada
gurunya, sampai sang guru masuk ke rumahnya larut malam. Dan sebelum
sang guru keluar menuju sholat Shubuh di masjid, ia sudah berdiri
mematung di depan pintu sang guru dengan penuh kerinduan, atau sambil
duduk. Begitu sang guru keluar, ia segera menyalami nya dan menjadi
pengiringnya sampai masjid. Demikian aktivitasnya sebagai santri yang
paling sering ia lakukan.
Suatu ketika, Habib Umar sudah selesai
menerima tamu tamunya di waktu dhuha. Ia ikut sholat dhuha bersama
gurunya, tapi dengan lebih mempercepat, kemudian segera duduk lagi tak
jauh dari duduknya Habib Umar. Habib Umar pun paham, ia akan tetap
disana sebelum sang guru masuk rumah.
Ketika itu Habib Umar menoleh kepadanya, “Apa yang sedang kau dambakan?”
Kepalanya menunduk, lalu berkata, “Ridho mu, Tuan Guru.”
Kepalanya menunduk, lalu berkata, “Ridho mu, Tuan Guru.”
Habib Umar kemudian mengangkat kedua tangannya ke langit dan
menengadahkannya. Lalu sang guru tersenyum, kemudian masuk ke dalam
rumahnya.
Tahun 1998, ia dan kawan kawannya, generasi pertama
santri Darul Musthafa, kembali ke tanah air. Di negeri kelahirannya ini,
ia membangun rintisan dakwahnya dari nol, hingga akhirnya berkibarlah
bendera Majelis Rasulullah SAW, sebagai salahsatu syiar majelis kaum
Ahlussunnah Waljama’ah, yang banyak membawa kebaikan, khususnya bagi
para pemuda dan pemudi Islam Ibu Kota Jakarta.
Ujian Fisik
Al-Habib Munzir bin Fuad Al-MusawwaBanyak ujian fisik dihadapi Habib
Munzir dimasa masa awal membangun Majelis Rasulullah SAW maupun di masa
masa kemudiannya saat ia mengarungi medan dakwah yang begitu luas,
bahkan hingga akhir hayatnya. Perjuangan yang harus dihadapinya tidaklah
mudah.
Di masa masa awal itu, suatu ketika, saat ia tengah dalam
perjalanan ke sebuah tempat, penyakit asma yang dideritanya kambuh.
Padahal disakunya tidak ada uang meski hanya sepeser. Ia mencoba
mengetuk pintu rumah seseorang yang dikenalnya. Ternyata rumah tersebut
kosong, padahal asmanya semakin berat. Untuk minum obat yang ia miliki
jelas tidak mungkin, karena perutnya masih kosong.
Dengan hati
berat, Habib Munzir meninggalkan rumah tersebut. Distopnya sebuah taksi
yang kebetulan lewat di dekatnya. Tujuannya ke rumah seorang kerabat
yang ia kenal. Ia nekat menumpang taksi, karena serangan asma yang
dirasakannya semakin parah. Sedangkan masalah ongkos taksi, ia berharap
akan dibayar teman yang tengah ditujunya itu. Ditengah perjalanan,
saking beratnya serangan penyakit tersebut, ia pingsan. Atas kehendak
Allâh, hati pengemudi taksi itu terbuka. Sang pengemudi membawanya ke
rumah sakit.
Sampai disana, ia setengah sadar. Ia takjub, karena
dirinya langsung mendapatkan penanganan, padahal saat itu ia tengah
khawatir dengan biaya yang bakal ditanggungnya.
“Allâh benar
benar telah menggerakkan hati hamba-Nya. Sampai saya keluar rumah sakit,
biaya yang digunakan untuk pengobatan tersebut sudah ada yang
menanggungnya.” kata Habib Munzir tanpa menyebutkan siapa yang membiayai
pengobatan itu.
“Adik saya itu sejak kecil punya asma kronis.
Seminggu bisa terserang tiga hingga empat kali, dan itu parah,” ujar
Habib Nabiel, kakaknya.
Ketika asma Habib Munzir kambuh, kakaknya
itu sering melihat adiknya tak bisa berbicara, mukanya pucat,
berkeringat, dan tak bisa makan. Namun sang adik sangat sabar serta tak
pernah mengeluh. “Beliau memang sejak dari kecil diberikan cobaan.
Dengan kondisi seperti itu tentu berat,” Ujar Habib Nabiel.
Saat
remaja, kata Habib Nabiel, adiknya memilih masuk pondok, bukan ke
sekolah umum SMA. Pada suatu saat, adiknya mengalami sakit di pondok.
Namun ia tak pernah memberi tahu ke keluarga. Memang, jika masuk rumah
sakit, ia tak pernah memberi tahu.
“Saat dia sakit, nggak mau
memberi tahu kami. Pernah dia tiba tiba pulang diantar orang pesantren
dengan koreng di badannya. Dia katanya nggak mau merepotkan keluarga,”
kenang Habib Nabiel.
Menurut kakak sulungnya itu, Habib Munzir
tipe orang yang tak mau mengeluh dan tak mau merepotkan keluarga. Rasa
sakit yang dialaminya hanya dipendam sendiri. “Dia tak ingin keluarganya
sedih.” ujarnya. Penyakit Habib Munzir bertambah ketika ia mulai
menjalani kesibukan. Ia sering mengalami sakit kepala yang parah hingga
pingsan. Bahkan, jika kepalanya itu sakit, Habib Munzir kerap terlihat
seperti orang marah. Padahal, sehari hari Habib Munzir orang yang sabar
dan halus.
Namun, lagi lagi Habib Munzir selalu memendam rasa
sakitnya dan memilih tak mengeluh. “Yang beliau pikirkan adalah
bagaimana menghidupkan majelis yang sudah sebesar itu. Beliau berusaha
keras, bahkan kegiatannya melebihi kemempuannya. Beliau mengorbankan
segalanya untuk dakwah, dan cita citanya tinggi, begitu pula
kesabarannya,” Ujar Habib Nabiel.
Pejuang Dakwah
Ribuan jamaah memadati Masjid Al Munawar sebelum menshalatkan Jenazah Almarhum Habib Munzir Al Musawa |
Ahad petang, 15 September 2013, kabar tersiar, Habib Munzir wafat,
sejumlah orang dekatnya, termasuk keluarganya, mengabarkan, ia wafat
dalam keadaan tersenyum. Tersenyum saat wafat mengingatkan kita pada
jenazah para syuhada’. Dari sebuah hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi
dan Ibnu Majah, salahsatu keistimewaan syuhada’ adalah diperlihatkan
tempat tinggalnya di syurga. Siapa yang tak berbahagia ketika
diperlihatkan bahwa tempat tinggalnya nanti adalah surga? Dan kebahagian
pada saat menyongsong maut itu memancar dalam wajah dan mengembangkan
bibirnya. Jadilah ia tersenyum.
Jika untuk para syuhada’
penjelasannya seperti itu, bagaimana dengan ulama dan para da’i seperti
Habib Munzir, yang tidak meninggal dalam kondisi perang? Wallahu a’lam
bishshowab. Namun memang bisa saja seseorang yang tidak meninggal
ditengah medan jihad (perang) tapi matinya tergolong syahid. Rasulullah
saw pernah bersabda, “Barang siapa mengharapkan mati syahid dengan
sungguh sungguh, Allâh akan memberikannya meskipun ia mati di atas
tempat tidur.” (H.R Muslim)
Betapapun, tidak ada yang meragukan
betapa Habib Munzir memang seorang pejuang dakwah. Ia wafat saat masih
mengarungi samudera dakwah yang luas, sebagai salah seorang pejuang
sejati.
“Habis umurnya untuk memikirkan umat. Pada saat acara
acara besar untuk umat, pikiran dan fisik beliau sampai lemah. Dalam
keadaan pakai kursi roda, beliau mengisi acara, bahkan pakai tempat
tidur beliau tetap mengisi acara,” Kata Habib Nabiel.
“Penyakit
beliau banyak, dikepala, tulang belakang, asma, bahkan sampai ada cairan
di perut, tapi Alhamdulilah sudah berhenti,” Ujar kakak tertua dari
lima bersaudara ini.
Keesokan harinya, Senin pagi, sekitar pukul
10, jenazahnya dibawa ke Masjid Al-Munawwar, Pancoran, Jakarta Selatan,
untuk disholatkan. Masjid itu menjadi saksi atas dakwah Habib Munzir
selama bertahun tahun, membasuh ribuan hati pemuda pemudi Islam ibu
kota, lewat Majelis Rasulullah saw, yang digelar setiap Senin malam.
Pagi itu, masjid tersebut disambangi Habib Munzir untuk terakhir
kalinya.
Ba’da dhuhur, usai disholatkan, jenazah Habib Munzir
yang berada didalam ambulans, langsung disambut kalimat “Lâ ilâha illâ
Allâh” oleh ribuan jama’ah yang sudah memadati tempat pemakaman.
Banyaknya jama’ah yang ingin menyaksikan prosesi pemakaman Habib Munzir
membuat ambulans yang membawa jenazahnya membutuhkan waktu lama dari
tempat mensholatkan di Masjid Al-Munawwar ke pemakaman Habib Kuncung,
Rawajati. Para jama’ah seakan tak rela melewatkan peristiwa itu begitu
saja. Sebagian besar dari mereka mengabadikannya, meski harus rela
berdesak desakan, guna mengambil gambar, baik video maupun foto
menggunkan handphone.
Sebelum dimasukkan ke liang lahat, jenazah
Habib Munzir kembali disholatkan di masjid di lingkungan kompleks
pemakaman Habib Kuncung, untuk memberi kesempatan bagi jama’ah yang
belum mensholatkan. Sejak pagi, kompleks pemakaman itu memang sudah
dipadati ribuan jama’ah, menunggu kedatangan jenazah.
Sebagai
seorang dai yang memiliki banyak jama’ah yang amat mencintainya,
seringkali Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa menyampaikan pesan kepada
jama’ahnya. Salah satu pesannya sebelum ia meninggal adalah menitipkan
perjuangan dakwah. Seperti pesan berikut ini, yang disampaikan pada akun
Twitter @Mjl_Rasulullah pada Senin (15/9/2013), yaitu hari kehidupan
sang Habib, berbunyi, “Pesan habibana: JIKA AKU WAFAT MENDAHULUI KALIAN,
KUTITIPKAN PERJUANGAN DAKWAH SANG NABI SAW PADA KALIAN.”
Umat
Islam di Jakarta dan juga kota kota lainnya, mendoakan Habib Munzir yang
telah lebih dulu meninggalkan mereka. Bukan hanya di Nusantara, di kota
Tarim pun sampai digelar majelis khatam Al-Quran untuk Habib Munzir.
Dalam majelis itu, Habib Umar sempat menyampaikan sambutan. Berikut ini
diantara yang disampaikan oleh sang guru utama Habib Munzir bin Fuad
Al-Musawa:
“Dan mereka adalah ahlul akhlaq (orang orang yang
berakhlaq), sehingga berkumpul 20 ribu, 30 ribu, 40 ribu, kemudian
bertambah lagi, berkumpul di beberapa perayaan 100 ribu, 200 ribu, dan
aku telah hadir di beberapa perkumpulan ketika kunjunganku di mana
lapangan tersebut dipenuhi oleh para jama’ah, dimana tidak mungkin
jumlah tersebut terkumpul pada perkumpulan pemerintahan atau yang
lainnya.
Akan tetapi sang raja hati itu (Sulthonul Qulub,
demikian sebutan Habib Umar pada Habib Munzir) dengan cahaya keimanan
mengajak hati sanubari yang lain sehingga mereka menyambut banyak
diantara mereka yang sebelumnya tidak pernah sholat, menjadi orang yang
menjaga sholat, ditambah lagi dengan berjama’ah dan sholat sunnah
rawatib. Dan banyak diantara mereka yang tadinya bermabuk mabukan
menjadi orang yang jauh dari hal tersebut, dan menjadi orang yang
mengharapkan cangkir cangkir dari dzikir kepada Allâh subhanahu wata’ala
dan cangkir cangkir berhubungan dengan Nabi Muhammad saw, menyebut nama
beliau dengan bergetarnya sholawat kepada beliau, dan merindukan
perjumpaan dengan beliau.
Diantara mereka ada yang menangis, ada
yang pingsan, ada yang khusyu’, ada yang bertaubat, ada yang mengamalkan
nasihat, ada yang bergetar hatinya, baik dalam keadaan berdiri maupun
duduknya mereka. Aku telah menyaksikan apa yang kusaksikan dari mereka.
Allâh telah memilihnya untuk kembali kepada-Nya pada usia 40 tahun dan
insyâ Allâh digolongkan dalam kelompok (orang orang yang mendapat
keridhoan Nya), dan masuk ke dalam kumpulan mereka.
Ini merupakan
perkara yang bukan dihitung berdasarkan panjang atau pendeknya usia.
Akan tetapi, perkara terpenting adalah keadaan ditempat kebangkitan
kelak dan keadaan ketika menghadap kepada Yang Mahaluhur dan Maha
Agung.”
Annallaaha yaghfir lahu wa yarhamhu wa yu’li darojatihi fil jannah. wa
yanfa’unaa bi asroorihi wa anwaarihi wa uluumihi fid diini wad dunyaa
wal aakhiroh. Al Fatihah.
sumber: Majalah alKisah & Majelisrasulullah.org
0 komentar:
Posting Komentar