Selasa, 30 September 2014

Manaqib Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa, Sang Raja Qalbu

Sanad guru jauh lebih kuat… Hingga kini kita Ahlussunnah wal Jamaah lebih berpegang kepada silsilah guru (yaitu ia mempunyai riwayat guru-guru yang bersambung hingga Rasul saw dan kau betul-betul mengetahui bahwa ia benar-benar memanut gurunya)… kita berpedoman kepada guru-guru yang bersambung sanadnya kepada Nabi saw ataupun kita berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga Nabi saw… Ia (sanad guru) adalah bagai rantai emas terkuat yang tak bisa diputus dunia dan akhirat, jika bergerak satu mata rantai maka bergerak seluruh mata rantai hingga ujungnya, yaitu Rasulullah saw.

Pecinta Habibana HABIB Munzir bin Fuad Al-Musawwa lahir di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, pada hari Jum’at, 23 Februari 1973, bertepatan dengan tanggal 19 Muharram 1393H. Usai menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat atas, ia mulai mendalami ilmu ilmu syari’ah Islam, diantaranya di Pesantren Al-Kifahi Ats-Tsaqafi, Bukit Duri, Jakarta Selatan, mengambil kursus bahasa Arab di LPBA As-Salafi, Kebon Nanas, Jakarta Timur, kemudian mondok lagi di Pesantren Al-Khairat, Bekasi Timur.

Saat di pesantren Al-Khairat itulah pertama kalinya ia bertemu Habib Umar bin Hafidz, guru utamanya dikemudian hari. Kepada sang guru, ia menekuni pelajaran selama empat tahun, yaitu di Ma’had Darul Mushthafa, Tarim Hadhramaut, Yaman Selatan.

Mau Jadi Apa?
Semasa kecil, ia seorang anak yang sangat dimanja oleh ayahnya. Ia pun sampai merasa bahwa sang ayah lebih memanjakannya lebih dari anaknya yang lain. Namun, beranjak remaja, justru sang anak kesayangan ini yang putus sekolah, sementara kakak kakaknya dapat melanjutkan pendidikannya hingga sampai wisuda. Orangtuanya bangga pada mereka, tapi, sebagaimana yang sempat dituturkannya sendiri, mereka kecewa kepadanya. “Karena saya malas sekolah…,” kisahnya suatu ketika.
Namun demikian, ia rajin menghadiri majelis majelis ilmu. Disamping itu, ia juga menghabiskan waktu di hari hari mudanya dengan bersholawat seribu kali siang dan malam, berdzikir beberapa beribu kali, menjalankan puasa Nabi Daud As, dan sholat malam berjam-jam. “(Tapi) saya pengangguran, dan sangat membuat ayah bunda malu,” ujarnya.
“Almarhum Ayah sangat malu. Beliau mumpuni dalam agama dan mumpuni dalam kesuksesan dunia. Beliau berkata pada saya, ‘Kau ini mau jadi apa? Jika mau agama, belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai ke luar negeri. Jika ingin meneladani ilmu dunia, tuntutlah sampai ke luar negeri…’
Namun saya sangat mengecewakan ayah bunda. Boleh dikata, saya ini dunia tidak, akhirat pun tidak,” katanya.
Ketika ayahnya pensiun, ibundanya membangun losmen kecil di depan rumah, yang hanya menyediakan lima kamar dan hanya disewakan pada orang yang baik baik, untuk biaya nafkah keluarga, dan ketika itu ia menjadi pelayan losmen milik ibundanya tersebut.
Setiap malam ia jarang tidur. Ia banyak termenung di kursi resepsionis yang hanya berupa meja kecil dan kursi kecil mirip di pos satpam, sambil menanti tamu. Sambil menunggu losmen, ia habiskan malam malamnya itu dengan bertafakkur, merenung, berdzikir, menangis, dan sholat malam. Sebagai pelayan losmen, tugasnya adalah menerima tamu, memasang seprai, menyapu kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, seperti teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan sang bunda, jika tamu memesannya.
Sampai ketika semua kakaknya lulus sarjana, ia tergugah untuk mondok di Pesantren Al-Kifahi Al-Tsaqafi, asuhan Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri, Jakarta Selatan, dan juga belajar di Ats-Tsaqafah Al-Islamiyah. Namun disana ia hanya sampai sekitar dua bulan, karena sering sakit sakitan. Penyakit lamanya, yaitu asma, sering kambuh.
“Ayah makin malu, bunda pun makin sedih…” ujar Habib Munzir mengenang masa masa itu. “Lalu saya ambil saja kursus bahasa Arab di As-Salafi, pimpinan Habib Bagir Al-Attas.” Ia pun harus pulang pergi Jakarta Cipanas, yang saat itu ditempuh dalam dua-tiga jam, dengan ongkos sendiri, dua kali dalam sepekan. Ongkos perjalanan adalah hasil dari pekerjaannya di losmen tersebut.

Berjumpa Guru Mulia
Habib Munzir alMusawwa dan Habib Umar bin HafidzIa juga selalu menyempatkan diri hadir di Majelis Maulid Nabi Saw ditempat Habib Umar bin Hud Al-Attas, yang saat itu di Cipayung. Jika tak ada ongkos, ia menumpang truk. Karenanya, sering kali ia sampai harus berhujan hujanan. Tak jarang ia datang ke Majelis Maulid malam Jum’at itu dalam keadaan basah kuyup, sampai sampai ia pernah diusir oleh penjaga di rumah Habib Umar bin Hud, “Karena karpet tebal dan mahal itu sangat bersih, tak pantas saya yang kotor dan basah menginjaknya. Saya terpaksa berdiri saja berteduh dibawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu tamu berdatangan. Saya duduk di luar teras saja, karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga,” ujar Habib Munzir dalam salah satu tulisannya.
Ia sering pula berziarah ke Luar Batang, makam Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus. Suatu ketika ia datang kesana dan lupa membawa kopiah, karena datang langsung dari Cipanas. “Ya Allâh, aku datang sebagai tamu seorang wali-Mu. Tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa berkopiah, tapi uangku pas pasan, dan aku lapar. Kalau beli kopiah, aku tak makan, dan ongkos pulangku kurang,” demikian hatinya mengucap saat itu.
Akhirnya ia memutuskan membeli kopiah. Pilihannya yang berwarna hijau, karena itu yang termurah saat itu di emperan penjual kopiah. Usai membelinya dan masuk berziarah, sambil membaca Ya-Sin untuk dihadiahkan kepada shahibul maqam, ia menangisi kehidupannya yang penuh dengan ketidakmenentuan, mengecewakan orangtua, sering menghindar dari lingkungan yang terkadang mencemoohnya, “Kakak kakakmu semua sukses, ayahmu lulusan Makkah dan juga New York University. Kok anaknya centeng losmen…”
Dalam tangisan itu, hatinya kembali berucap, “Wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yang shalih di sisi Allâh, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang.”
Saat itu, tiba tiba datang serombongan kawannya di pesantren Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf. Tampak mereka senang berjumpa dengannya. Ia pun ditraktir makan. “Saya langsung teringat, ini berkah saya beradab di makam wali Allâh,” ujarnya.
Ia pun ditanya, dengan siapa dan mau kemana, ia katakan bahwa ia sendiri dan mau pulang ke kerabat ibunya di bilangan Pasar Sawo, Kebon Nanas. Mereka berkata, “Ayo bareng saja, kami antar sampai Kebon Nanas.” Ia semakin bersyukur kepada Allâh, karena memang ongkosnya tak ‘kan cukup jika pulang ke Cipanas. Hari sudah larut malam ketika ia sampai di kediaman bibi dari ibunya. Keesokan harinya ia diberi uang cukup untuk pulang ke Cipanas.
Tak lama dari kejadian itu, ia masuk Pesantren Al-Khairat, asuhan Habib Nagib bin Syaikh Abubakar, di Bekasi Timur. Di pesantren itu, setiap kali majelis pembacaan Maulid Nabi digelar dan saat Mahallul Qiyam dibacakan, ia menangis. Ia berdoa kepada Allâh bahwa ia rindu pada Rasulullah Saw. Ia pun ingin dipertemukan dengan guru yang paling dicintai Rasul Saw.
Dalam beberapa bulan saja setelah ia mondok disana, tibalah Habib Umar bin Hafidz ke pondok itu. Itu adalah kunjungan pertama Habib Umar ke Indonesia, yaitu pada tahun 1994. Pertemuannya dengan Habib Umar membawa hikmah yang luar biasa, yang kemudian membawa langkah kakinya menuju negeri leluhurnya, Tarim, Hadhramaut, Yaman Selatan, tempat Habib Umar membina ma’hadnya, Darul Mushthafa.

Adab kepada Guru
Singkat kisah, sesampainya di Tarim, yaitu di kediaman Habib Umar, sang guru mengabsen semua nama yang ikut dalam rombongan bersamanya saat itu. Ketika sampai pada namanya yang dipanggil, sesaat Habib Umar memandangnya, lalu tersenyum indah.
Tak lama setelah kedatangan mereka, yang merupakan generasi pertama santri Darul Musthafa, pecahlah perang antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. Pasokan makanan berkurang, makanan sulit, listrik mati, mereka pun harus berjalan kaki ke mana mana dan menempuh jalan sekitar tiga-empat kilometer untuk aktivitas ta’lim. Biasanya, menggunakan mobil milik Habib Umar, namun dimasa perang pasokan bensin sangat tidak memadai.
Suatu hari Habib Umar bin Hafidz menatapnya dan kemudian berkata kepadanya, “Namamu ‘Munzir’ – pemberi peringatan.”
Ia mengangguk.
Lalu sang guru berkata lagi kepadanya, “Kelak, kau akan memberi peringatan pada jama’ahmu.”
Ia termenung.
Setelah kejadian itu, sering kali terngiang ucapan sang guru itu, “Kelak, kau akan memberi peringatan pada jama’ahmu.”
“Saya akan punya jama’ah? Saya miskin begini, bahkan untuk mencuci baju pun tak punya uang untuk beli sabun cuci,” Kisah Habib Munzir suatu ketika.
Pernah ia ingin mencucikan baju salah seorang temannya agar mendapat upah mendapat bagian sabun cucinya. Sayangnya, ia malah mendapat hardikan, “Cucianmu tidak bersih, orang lain saja yang mencuci baju ini.” Ia pun terpaksa mencuci dengan menggunakan air bekas mengalirnya air cucian mereka. Air sabun bekas cucian yang mengalir itulah yang ia gunakan untuk mencuci bajunya.
Hari demi hari Habib Umar semakin sibuk. Ia memilih untuk banyak berkhidmat pada sang guru. Ia pun lebih memilih membantu segala permasalahan santri, makanan mereka, minuman mereka, tempat menginap dan segala masalah rumah tangga santri, sampai harus meninggalkan pelajaran demi bakti pada sang guru. Rupanya, itu adalah kiatnya untuk lebih sering berjumpa dengan gurunya tersebut.
Ia turut membersihkan rumah sang guru, membantu membawakan sandalnya, terus berdekatan dengannya agar jika sang guru perlu sesuatu ia menjadi budaknya (demikian Habib Munzir menyebutnya sendiri) yang paling dekat yang siap diperintah. Ia terus menempel pada gurunya, sampai sang guru masuk ke rumahnya larut malam. Dan sebelum sang guru keluar menuju sholat Shubuh di masjid, ia sudah berdiri mematung di depan pintu sang guru dengan penuh kerinduan, atau sambil duduk. Begitu sang guru keluar, ia segera menyalami nya dan menjadi pengiringnya sampai masjid. Demikian aktivitasnya sebagai santri yang paling sering ia lakukan.
Suatu ketika, Habib Umar sudah selesai menerima tamu tamunya di waktu dhuha. Ia ikut sholat dhuha bersama gurunya, tapi dengan lebih mempercepat, kemudian segera duduk lagi tak jauh dari duduknya Habib Umar. Habib Umar pun paham, ia akan tetap disana sebelum sang guru masuk rumah.
Ketika itu Habib Umar menoleh kepadanya, “Apa yang sedang kau dambakan?”
Kepalanya menunduk, lalu berkata, “Ridho mu, Tuan Guru.”
Habib Umar kemudian mengangkat kedua tangannya ke langit dan menengadahkannya. Lalu sang guru tersenyum, kemudian masuk ke dalam rumahnya.
Tahun 1998, ia dan kawan kawannya, generasi pertama santri Darul Musthafa, kembali ke tanah air. Di negeri kelahirannya ini, ia membangun rintisan dakwahnya dari nol, hingga akhirnya berkibarlah bendera Majelis Rasulullah SAW, sebagai salahsatu syiar majelis kaum Ahlussunnah Waljama’ah, yang banyak membawa kebaikan, khususnya bagi para pemuda dan pemudi Islam Ibu Kota Jakarta.

Ujian Fisik
Al-Habib Munzir bin Fuad Al-MusawwaBanyak ujian fisik dihadapi Habib Munzir dimasa masa awal membangun Majelis Rasulullah SAW maupun di masa masa kemudiannya saat ia mengarungi medan dakwah yang begitu luas, bahkan hingga akhir hayatnya. Perjuangan yang harus dihadapinya tidaklah mudah.
Di masa masa awal itu, suatu ketika, saat ia tengah dalam perjalanan ke sebuah tempat, penyakit asma yang dideritanya kambuh. Padahal disakunya tidak ada uang meski hanya sepeser. Ia mencoba mengetuk pintu rumah seseorang yang dikenalnya. Ternyata rumah tersebut kosong, padahal asmanya semakin berat. Untuk minum obat yang ia miliki jelas tidak mungkin, karena perutnya masih kosong.
Dengan hati berat, Habib Munzir meninggalkan rumah tersebut. Distopnya sebuah taksi yang kebetulan lewat di dekatnya. Tujuannya ke rumah seorang kerabat yang ia kenal. Ia nekat menumpang taksi, karena serangan asma yang dirasakannya semakin parah. Sedangkan masalah ongkos taksi, ia berharap akan dibayar teman yang tengah ditujunya itu. Ditengah perjalanan, saking beratnya serangan penyakit tersebut, ia pingsan. Atas kehendak Allâh, hati pengemudi taksi itu terbuka. Sang pengemudi membawanya ke rumah sakit.
Sampai disana, ia setengah sadar. Ia takjub, karena dirinya langsung mendapatkan penanganan, padahal saat itu ia tengah khawatir dengan biaya yang bakal ditanggungnya.
“Allâh benar benar telah menggerakkan hati hamba-Nya. Sampai saya keluar rumah sakit, biaya yang digunakan untuk pengobatan tersebut sudah ada yang menanggungnya.” kata Habib Munzir tanpa menyebutkan siapa yang membiayai pengobatan itu.
“Adik saya itu sejak kecil punya asma kronis. Seminggu bisa terserang tiga hingga empat kali, dan itu parah,” ujar Habib Nabiel, kakaknya.
Ketika asma Habib Munzir kambuh, kakaknya itu sering melihat adiknya tak bisa berbicara, mukanya pucat, berkeringat, dan tak bisa makan. Namun sang adik sangat sabar serta tak pernah mengeluh. “Beliau memang sejak dari kecil diberikan cobaan. Dengan kondisi seperti itu tentu berat,” Ujar Habib Nabiel.
Saat remaja, kata Habib Nabiel, adiknya memilih masuk pondok, bukan ke sekolah umum SMA. Pada suatu saat, adiknya mengalami sakit di pondok. Namun ia tak pernah memberi tahu ke keluarga. Memang, jika masuk rumah sakit, ia tak pernah memberi tahu.
“Saat dia sakit, nggak mau memberi tahu kami. Pernah dia tiba tiba pulang diantar orang pesantren dengan koreng di badannya. Dia katanya nggak mau merepotkan keluarga,” kenang Habib Nabiel.
Menurut kakak sulungnya itu, Habib Munzir tipe orang yang tak mau mengeluh dan tak mau merepotkan keluarga. Rasa sakit yang dialaminya hanya dipendam sendiri. “Dia tak ingin keluarganya sedih.” ujarnya. Penyakit Habib Munzir bertambah ketika ia mulai menjalani kesibukan. Ia sering mengalami sakit kepala yang parah hingga pingsan. Bahkan, jika kepalanya itu sakit, Habib Munzir kerap terlihat seperti orang marah. Padahal, sehari hari Habib Munzir orang yang sabar dan halus.
Namun, lagi lagi Habib Munzir selalu memendam rasa sakitnya dan memilih tak mengeluh. “Yang beliau pikirkan adalah bagaimana menghidupkan majelis yang sudah sebesar itu. Beliau berusaha keras, bahkan kegiatannya melebihi kemempuannya. Beliau mengorbankan segalanya untuk dakwah, dan cita citanya tinggi, begitu pula kesabarannya,” Ujar Habib Nabiel.

Pejuang Dakwah
Ribuan jamaah memadati Masjid Al Munawar sebelum menshalatkan Jenazah Almarhum Habib Munzir Al Musawa
Ahad petang, 15 September 2013, kabar tersiar, Habib Munzir wafat, sejumlah orang dekatnya, termasuk keluarganya, mengabarkan, ia wafat dalam keadaan tersenyum. Tersenyum saat wafat mengingatkan kita pada jenazah para syuhada’. Dari sebuah hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, salahsatu keistimewaan syuhada’ adalah diperlihatkan tempat tinggalnya di syurga. Siapa yang tak berbahagia ketika diperlihatkan bahwa tempat tinggalnya nanti adalah surga? Dan kebahagian pada saat menyongsong maut itu memancar dalam wajah dan mengembangkan bibirnya. Jadilah ia tersenyum.
Jika untuk para syuhada’ penjelasannya seperti itu, bagaimana dengan ulama dan para da’i seperti Habib Munzir, yang tidak meninggal dalam kondisi perang? Wallahu a’lam bishshowab. Namun memang bisa saja seseorang yang tidak meninggal ditengah medan jihad (perang) tapi matinya tergolong syahid. Rasulullah saw pernah bersabda, “Barang siapa mengharapkan mati syahid dengan sungguh sungguh, Allâh akan memberikannya meskipun ia mati di atas tempat tidur.” (H.R Muslim)
Betapapun, tidak ada yang meragukan betapa Habib Munzir memang seorang pejuang dakwah. Ia wafat saat masih mengarungi samudera dakwah yang luas, sebagai salah seorang pejuang sejati.
“Habis umurnya untuk memikirkan umat. Pada saat acara acara besar untuk umat, pikiran dan fisik beliau sampai lemah. Dalam keadaan pakai kursi roda, beliau mengisi acara, bahkan pakai tempat tidur beliau tetap mengisi acara,” Kata Habib Nabiel.
“Penyakit beliau banyak, dikepala, tulang belakang, asma, bahkan sampai ada cairan di perut, tapi Alhamdulilah sudah berhenti,” Ujar kakak tertua dari lima bersaudara ini.
Keesokan harinya, Senin pagi, sekitar pukul 10, jenazahnya dibawa ke Masjid Al-Munawwar, Pancoran, Jakarta Selatan, untuk disholatkan. Masjid itu menjadi saksi atas dakwah Habib Munzir selama bertahun tahun, membasuh ribuan hati pemuda pemudi Islam ibu kota, lewat Majelis Rasulullah saw, yang digelar setiap Senin malam. Pagi itu, masjid tersebut disambangi Habib Munzir untuk terakhir kalinya.
Ba’da dhuhur, usai disholatkan, jenazah Habib Munzir yang berada didalam ambulans, langsung disambut kalimat “Lâ ilâha illâ Allâh” oleh ribuan jama’ah yang sudah memadati tempat pemakaman.
Banyaknya jama’ah yang ingin menyaksikan prosesi pemakaman Habib Munzir membuat ambulans yang membawa jenazahnya membutuhkan waktu lama dari tempat mensholatkan di Masjid Al-Munawwar ke pemakaman Habib Kuncung, Rawajati. Para jama’ah seakan tak rela melewatkan peristiwa itu begitu saja. Sebagian besar dari mereka mengabadikannya, meski harus rela berdesak desakan, guna mengambil gambar, baik video maupun foto menggunkan handphone.
Sebelum dimasukkan ke liang lahat, jenazah Habib Munzir kembali disholatkan di masjid di lingkungan kompleks pemakaman Habib Kuncung, untuk memberi kesempatan bagi jama’ah yang belum mensholatkan. Sejak pagi, kompleks pemakaman itu memang sudah dipadati ribuan jama’ah, menunggu kedatangan jenazah.
Sebagai seorang dai yang memiliki banyak jama’ah yang amat mencintainya, seringkali Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa menyampaikan pesan kepada jama’ahnya. Salah satu pesannya sebelum ia meninggal adalah menitipkan perjuangan dakwah. Seperti pesan berikut ini, yang disampaikan pada akun Twitter @Mjl_Rasulullah pada Senin (15/9/2013), yaitu hari kehidupan sang Habib, berbunyi, “Pesan habibana: JIKA AKU WAFAT MENDAHULUI KALIAN, KUTITIPKAN PERJUANGAN DAKWAH SANG NABI SAW PADA KALIAN.”
Umat Islam di Jakarta dan juga kota kota lainnya, mendoakan Habib Munzir yang telah lebih dulu meninggalkan mereka. Bukan hanya di Nusantara, di kota Tarim pun sampai digelar majelis khatam Al-Quran untuk Habib Munzir. Dalam majelis itu, Habib Umar sempat menyampaikan sambutan. Berikut ini diantara yang disampaikan oleh sang guru utama Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa:
“Dan mereka adalah ahlul akhlaq (orang orang yang berakhlaq), sehingga berkumpul 20 ribu, 30 ribu, 40 ribu, kemudian bertambah lagi, berkumpul di beberapa perayaan 100 ribu, 200 ribu, dan aku telah hadir di beberapa perkumpulan ketika kunjunganku di mana lapangan tersebut dipenuhi oleh para jama’ah, dimana tidak mungkin jumlah tersebut terkumpul pada perkumpulan pemerintahan atau yang lainnya.
Akan tetapi sang raja hati itu (Sulthonul Qulub, demikian sebutan Habib Umar pada Habib Munzir) dengan cahaya keimanan mengajak hati sanubari yang lain sehingga mereka menyambut banyak diantara mereka yang sebelumnya tidak pernah sholat, menjadi orang yang menjaga sholat, ditambah lagi dengan berjama’ah dan sholat sunnah rawatib. Dan banyak diantara mereka yang tadinya bermabuk mabukan menjadi orang yang jauh dari hal tersebut, dan menjadi orang yang mengharapkan cangkir cangkir dari dzikir kepada Allâh subhanahu wata’ala dan cangkir cangkir berhubungan dengan Nabi Muhammad saw, menyebut nama beliau dengan bergetarnya sholawat kepada beliau, dan merindukan perjumpaan dengan beliau.
Diantara mereka ada yang menangis, ada yang pingsan, ada yang khusyu’, ada yang bertaubat, ada yang mengamalkan nasihat, ada yang bergetar hatinya, baik dalam keadaan berdiri maupun duduknya mereka. Aku telah menyaksikan apa yang kusaksikan dari mereka.
Allâh telah memilihnya untuk kembali kepada-Nya pada usia 40 tahun dan insyâ Allâh digolongkan dalam kelompok (orang orang yang mendapat keridhoan Nya), dan masuk ke dalam kumpulan mereka.
Ini merupakan perkara yang bukan dihitung berdasarkan panjang atau pendeknya usia. Akan tetapi, perkara terpenting adalah keadaan ditempat kebangkitan kelak dan keadaan ketika menghadap kepada Yang Mahaluhur dan Maha Agung.”
Annallaaha yaghfir lahu wa yarhamhu wa yu’li darojatihi fil jannah. wa yanfa’unaa bi asroorihi wa anwaarihi wa uluumihi fid diini wad dunyaa wal aakhiroh. Al Fatihah.

sumber: Majalah alKisah & Majelisrasulullah.org
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar