Jumat, 10 Oktober 2014

Nasihat Sang Ibu

Pagi ini, Ngamarta gembira. Gulungan awan putih dengan lambat namun pasti menyusuri langit biru nan cerah dengan sinar mentari menerangi setiap sisi dunia. Seakan ikut gembira dengan suasana di Ngamarta. Raut bahagia terpampang disetiap tamu yang datang dihari pernikahan Putri Pertama sang Ibu. Sang Ibu sudah penuh memberikan Restu kepada Putrinya untuk membangun kehidupan baru dengan seorang laki-laki pilihan putrinya sendiri.

Sambil menunggu kursi terisi oleh para tamu yang hadir. Sang Ibu yang saat ini mengenakan kebaya khas jawa dengan warna hijau sedikit gelap mengecek kerapian meja dan kursi para tamu. Matanya di lesatkan keseluruh sudut ruang akad nikah yang begitu sederhana lengkap dengan tulisan-tulisan meminta doa.

"Putriku sudah selesai dirias belum ya?" gumam hatinya.


Dengan langkah yang memang tak bisa lebar, karena jarik dipakai sang Ibu, pelan namun pasti penuh harap sang Ibu berjalan menuju kamar rias Putrinya. Sampai didepan pintu kamar rias putrinya. Jantungnya dipompa dengan begitu cepat. Air hangat telah menjadi aliran sungai dari bola mata menuju tepian bawah pipinya. Ya, karena sang Ibu sadar, dia harus melepas Putri pertamanya itu kepada seorang lelaki yang setelah kata "Qobiltu" akan menjadi Imam, Suami dan Pembimbing barunya. Seolah tak ingin memperlihatkan raut kesedihannya sang Ibu dengan cepat membuang aliran air hangatnya.

"Aku harus ridho dan ikhlas," hatinya menguatkan.

"Assalamu'alaikum", salam sang Ibu lembut.

Wa'alaikumsalam, ibu," jawab putrinya sambil berdiri menyambut kedatangan sang Ibu, dicium tangan sang Ibu dengan penuh kasih sayang.

"Duduklah putriku, ada beberapa hal yang mau ibu sampaikan". Sambil tersenyum manis sang Ibu mengajak putrinya duduk.

Dipegangnya kedua pipi putrinya dengan penuh kasih sayang bertabur cinta seorang ibu. Tangan yang mulai dihajar masa itu begitu tulus mengusap setiap sisi pipi Putrinya. Diamatinya wajah putrinya yang telah ter-make up begitu ayu dengan jilbab pengantin berwarna putih membalut dan menutupi seluruh rambut putrinya dengan sempurna tanpa punuk unta di kepalanya.

"Ibu, apa yang ingin Ibu sampaikan kepada putrimu ini?" tanya putrinya memotong lamunannya.

Sang Ibu tersenyum, "Putriku, saat ini engkau keluar dari sangkar emasmu, menuju ranjang yang tak kau kenal dan teman yang engkau belum terbiasa dengannya."

Sang Ibu menghela nafas.

"Jadilah engkau buminya, maka dia akan menjadi langitnya. Jadilah engkau budaknya, maka dia akan menjadi budakmu. Jadilah engkau permadaninya, maka dia akan menjadi tiang sandaranmu. Jangan menyelimuti dirimu, karena dia akan membencimu dan jangan menjauhinya karena dia akan melupakannmu. Jika dia mendekatimu, maka mendekatlah engkau kepadanya. Jika dia sedang marah, maka menjauhlah engkau darinya."

"Kenapa ibu?" potong putrinya.

"Karena setiap lelaki yang sedang marah, seketika itu dia tak akan mampu menguasai dirinya. Kesalahan sekecil apapun akan menuai pertengkaran yang berujung kepada penyesalan." jelas sang Ibu.

Putrinya mengangguk faham.

"Yang terakhir putriku, jagalah penciuman, pendengaran dan penglihatannya. Sehingga dia hanya akan mencium aroma sedap darimu, mendengar kata-kata yang baik dan melihat pemandangan yang cantik, " tutup sang Ibu.

Sambil membantu putrinya mengusap air hangat yang mulai mendanau dipipi putrinya, Sang Ibu menyelipkan kata-kata yang semakin membuat hati putrinya terpenuhi rasa haru bahagia karena mempunyai orang tua seperti sang Ibu.

"Ibu selalu meRidhoimu dan sangat mencintaimu Putriku, dan bila itu baik untukmu Ibu akan ikut mencintai apa yang kau cintai," tungkas sang Ibu penuh keikhlasan.

Dipeluknya sang Ibu oleh Putrinya dengan erat penuh dengan luapan kasih sayang. Di elusnya setiap sisi punggung sang Ibu, diendusnya aroma badan sang Ibu, aroma kasih sayang penghidupan. Ya, kasih sayang dan penghidupan. 

"Terima kasih Ibu, InSyaa Allah, berkat doa ibu, aku akan menjadi Istri yang baik seperti Ibu." 
"Tidak putriku, bukan seperti ibu, tapi kau harus bisa lebih baik dari ibu"

Tanpa mampu mengatakan apapun lagi, diciumnya tangan sang ibu penuh takdzim oleh putrinya. Qosidah Thola'al Badru Alaina menandakan pengantin putra sudah siap menjabat tangan sang Wali untuk berikrar sakral perpindahan sepenuhnya tanggung jawab Sang Ibu maupun Sang Ayah








Adziz bin Gino
Sukoharjo, 09 Oktober 2014.
Referensi: Istri Idamanku. Habib Naufal bin Muhammad Al 'Aydrus
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar