Rabu, 15 Oktober 2014

Ah, Waduk Mulur

Merapi - Merbabu Mengantar Senja (Waduk Mulur)

Hari ini niatku untuk mengantar sang mentari menuju tempat peraduannya akhirnya kelakon. Ya, disini, dipuncak tanggul waduk mulur. Ku lesatkan mataku kekanan kekiri menjelajahi setiap sisi waduk yang luasnya sekitar 120 hektar ini. Rumput-rumput tanggul yang mulai kehilangan klorofilnya seolah berkata, “buatlah dirimu nyaman beralaskan tubuh keringku.”


“Ah, indahnya senja ini,” gumamku sambil membakar tembakau.

Pandanganku mendadak terfokus kepada 1 keluarga yang berada tepat dibawahku, ditepian tanggul. Mereka asyik menikmati keindahan waduk dengan dimeriahkan ombak-ombak kecil hasil karya angin yang sedikit kencang hari ini. Sang ayah yang menggendong putranya sang masih bayi, dan sang ibu menemani putrinya bermain air.

“Bahagianya mereka,” gumamku. “Yang mampu meluangkan harinya untuk keluarga, walau sekedar berwisata ke tempat murahan seperti ini.”

“Akankah aku besok mampu meluangkan waktuku untuk keluargaku?”, sembari mataku terus saja memandang keasyikan keluarga itu.


Senja semakin menciumi rumput-rumput tanggul dengan orange khasnya, dan jauh di ufuk barat sang mentari makin terlihat mempesona. Tanggul wadukpun mulai kehilangan keramaiannya.

“Aduh,” suara gadis kecil merintih karena terpeleset bebatuan tanggul.
“Hati hati to nak,” ucap ibunya yang dengan sigap menolong putrinya.
“Iya bu, lha batunya tadi licin.”
“Sudah, tidak ada yang sakitkan?” ucap ibunya sambil mengecek seluruh tubuh putrinya.
Putrinya menggeleng dengan senyum tipis dibibirnya, “Tidak.”

“Hmmt, ibu memang selalu begitu, selalu sigap dan tanggap,” gumamku dalam hati sambil memandang awan orange yang tepat berada diatas kepalaku.

Angin sepoy sepoy yang sedari tadi tak bosan membelai tubuhku. Dengan perlahan kupejamkan mataku dan anginpun mengantar aku dalam sebuah lamunan.

Aku mulai tersenyum kecil, “Jilbabnya akan berkibar seiringan dengan pesona senyum manisnya.”
*******
Kubuka mata perlahan dan kulirik arlojiku ternyata sudah pukul 17.15. Lingkar sempurna sang mentaripun semakin terlihat dengan diiringi redup sinarnya. Para nelayan waduk mulai mendayung sampannya ketepian, seolah bergumam, “Saatnya pulang menemui senyum manis anak-anak dan istriku.”

Sejuk, tenang dan nyaman. Ya, itu yang kurasakan kala berada diatas tanggul waduk mulur ini. Ku tundukkan kepalaku ke arah rumput-rumput tanggul, seketika terasa gadis itu sedang menceritakan kisahnya disampingku. Terdengar jelas dan terasa begitu nyata.

“Ah, Sial! Janji janjiku padanya belum lengkap terpenuhi,” gumamku sesal, “Ya Allah, beri hamba waktu untuk memenuhi janji-janji yang telah terucap pada gadis itu, kepada kawan-kawanku lebih-lebih janji-janji hamba KepadaMU.”

Kupandangi lagi seluruh area waduk yang mulai ditinggal warna orange senja namun anginnya masih setia membelai kulitku. Mungkin suasana begini, disini dengan seluruh cerita yang tertuang di waduk ini, di Kabupaten ini, tanah kelahiranku. Ribuan rayuan untuk aku meninggalkan tanah ini begitu lekat membanjiri telingaku. Tapi tak satupun yang aku tanggapi. Aku hanya menggeleng, meski tetap kupaksa untuk membentuk senyum kecil dibibir.

Tak ingin, benar-benar tak ingin aku jauh jauh dari tempat yang telah menyimpan setiap kenanganku. Keluarga, Sahabat, Cinta, Kesedihan dan lain sebagainya telah sempurna terpahat di tanah ini.

Dalam lamunanku mengagumi indah tanah kelahiranku, terngiang sebuah kalimat perintah, “Tunggu aku pulang,” suara kecil yang sulit aku untuk mengingkarinya. Ah, kalimat itu selalu saja berputar-putar dikepalaku tanpa bosan. Ya, tanpa bosan, selalu saja aku teringat dan selalu saja beriringan dengan bayang senyum manisnya. Tapi aku begitu menyukai keadaan ini. Keadaan di mana segala sesuatu terlihat tenang, damai, dan tentram, walau tak ada pemandangan seindah ketinggian gunung ataupun deburan ombak seperti pantai selatan. Tapi cukup dengan membayangkan senyumnya saja sudah dapat mengalahkan semua itu.

Tuangan status facebook maupun twitter pun tidaklah cukup mewakili isi hati. Seutas nama yang hanya aku tahu. Segaris senyum simpul yang hanya itu senjata andalanku kala melawan bosan yang mencoba mengajakku untuk sejenak melupakan setangkup wajah gadis berjilbab itu.

*******

Angin mulai membawa hawa dingin menusuk setiap jengkal kulit ku yang tanpa jaket. Kulirik arlojiku, pukul 17.30, sebentar lagi Adzan Maghrib akan menggema. Biar kuakhiri dengan sajak...

“Kepada hati yang telah mulai terasa rindu, dengarkan....
“Bila belum ada waktu untuk berjumpa”
“Adakan waktu untuk selalu mengingat.”

“Saatnya pulang, senyum cangkir kopi sudah menunggu di rumah,” sembari tersenyum, aku menuruni setiap anak tangga tanggul waduk mulur.


Adziz bin Gino
Waduk Mulur, 14 Oktober 2014
Categories:

2 komentar:

  1. wah waduk mulurrr.. omahku mentok e tanggul.. salah komen mau :v

    BalasHapus
  2. Semoga secepatnya bisa membuatkan kopi d cangkir bergambarkan kodok yg slalu teraenyum ituu :D

    BalasHapus