Merapi - Merbabu Mengantar Senja (Waduk Mulur) |
Hari ini
niatku untuk mengantar sang mentari menuju tempat peraduannya akhirnya kelakon. Ya, disini, dipuncak tanggul
waduk mulur. Ku lesatkan mataku kekanan kekiri menjelajahi setiap sisi waduk
yang luasnya sekitar 120 hektar ini. Rumput-rumput tanggul yang mulai
kehilangan klorofilnya seolah
berkata, “buatlah dirimu nyaman beralaskan tubuh keringku.”
“Ah, indahnya senja
ini,” gumamku sambil membakar tembakau.
Pandanganku
mendadak terfokus kepada 1 keluarga
yang berada tepat dibawahku, ditepian tanggul. Mereka asyik menikmati keindahan
waduk dengan dimeriahkan ombak-ombak kecil hasil karya angin yang sedikit
kencang hari ini. Sang ayah yang menggendong putranya sang masih bayi, dan sang
ibu menemani putrinya bermain air.
“Bahagianya mereka,”
gumamku. “Yang mampu meluangkan harinya untuk keluarga, walau sekedar berwisata
ke tempat murahan seperti ini.”
“Akankah aku
besok mampu meluangkan waktuku untuk keluargaku?”, sembari mataku terus saja
memandang keasyikan keluarga itu.
Senja semakin
menciumi rumput-rumput tanggul dengan orange khasnya, dan jauh di ufuk barat
sang mentari makin terlihat mempesona. Tanggul wadukpun mulai kehilangan
keramaiannya.
“Aduh,” suara
gadis kecil merintih karena terpeleset bebatuan tanggul.
“Hati hati to nak,” ucap ibunya yang dengan sigap
menolong putrinya.
“Iya bu, lha batunya tadi licin.”
“Sudah, tidak
ada yang sakitkan?” ucap ibunya sambil mengecek seluruh tubuh putrinya.
Putrinya
menggeleng dengan senyum tipis dibibirnya, “Tidak.”
“Hmmt, ibu
memang selalu begitu, selalu sigap dan tanggap,” gumamku dalam hati sambil
memandang awan orange yang tepat berada diatas kepalaku.
Angin sepoy
sepoy yang sedari tadi tak bosan membelai tubuhku. Dengan perlahan kupejamkan
mataku dan anginpun mengantar aku dalam sebuah lamunan.
Aku mulai
tersenyum kecil, “Jilbabnya akan berkibar seiringan dengan pesona senyum
manisnya.”
*******
Kubuka mata
perlahan dan kulirik arlojiku ternyata sudah pukul 17.15. Lingkar sempurna sang
mentaripun semakin terlihat dengan diiringi redup sinarnya. Para nelayan waduk
mulai mendayung sampannya ketepian, seolah bergumam, “Saatnya pulang menemui
senyum manis anak-anak dan istriku.”
Sejuk, tenang
dan nyaman. Ya, itu yang kurasakan kala berada diatas tanggul waduk mulur ini.
Ku tundukkan kepalaku ke arah rumput-rumput tanggul, seketika terasa gadis itu
sedang menceritakan kisahnya disampingku. Terdengar jelas dan terasa begitu
nyata.
“Ah, Sial!
Janji janjiku padanya belum lengkap terpenuhi,” gumamku sesal, “Ya Allah, beri
hamba waktu untuk memenuhi janji-janji yang telah terucap pada gadis itu, kepada
kawan-kawanku lebih-lebih janji-janji hamba KepadaMU.”
Kupandangi
lagi seluruh area waduk yang mulai ditinggal warna orange senja namun anginnya
masih setia membelai kulitku. Mungkin suasana begini, disini dengan seluruh
cerita yang tertuang di waduk ini, di Kabupaten ini, tanah kelahiranku. Ribuan
rayuan untuk aku meninggalkan tanah ini begitu lekat membanjiri telingaku. Tapi
tak satupun yang aku tanggapi. Aku hanya menggeleng, meski tetap kupaksa untuk
membentuk senyum kecil dibibir.
Tak ingin,
benar-benar tak ingin aku jauh jauh dari tempat yang telah menyimpan setiap
kenanganku. Keluarga, Sahabat, Cinta, Kesedihan dan lain sebagainya telah
sempurna terpahat di tanah ini.
Dalam
lamunanku mengagumi indah tanah kelahiranku, terngiang sebuah kalimat perintah,
“Tunggu aku pulang,” suara kecil yang sulit aku untuk mengingkarinya. Ah,
kalimat itu selalu saja berputar-putar dikepalaku tanpa bosan. Ya, tanpa bosan,
selalu saja aku teringat dan selalu saja beriringan dengan bayang senyum manisnya.
Tapi aku begitu menyukai keadaan ini. Keadaan di mana segala sesuatu terlihat tenang,
damai, dan tentram, walau tak ada pemandangan seindah ketinggian gunung ataupun
deburan ombak seperti pantai selatan. Tapi cukup dengan membayangkan senyumnya
saja sudah dapat mengalahkan semua itu.
Tuangan status
facebook maupun twitter pun tidaklah cukup mewakili isi hati. Seutas nama yang
hanya aku tahu. Segaris senyum simpul yang hanya itu senjata andalanku kala
melawan bosan yang mencoba mengajakku untuk sejenak melupakan setangkup wajah
gadis berjilbab itu.
*******
Angin mulai
membawa hawa dingin menusuk setiap jengkal kulit ku yang tanpa jaket. Kulirik
arlojiku, pukul 17.30, sebentar lagi Adzan Maghrib akan menggema. Biar kuakhiri
dengan sajak...
“Kepada hati
yang telah mulai terasa rindu, dengarkan....
“Bila belum
ada waktu untuk berjumpa”
“Adakan waktu
untuk selalu mengingat.”
“Saatnya
pulang, senyum cangkir kopi sudah menunggu di rumah,” sembari tersenyum, aku menuruni
setiap anak tangga tanggul waduk mulur.
Adziz bin Gino
Waduk Mulur, 14 Oktober
2014
wah waduk mulurrr.. omahku mentok e tanggul.. salah komen mau :v
BalasHapusSemoga secepatnya bisa membuatkan kopi d cangkir bergambarkan kodok yg slalu teraenyum ituu :D
BalasHapus