“Saya sebenarnya ingin melanjutkan ke
perguruan tinggi. Saya tidak mendapatkan izin Ibu. Beliau tidak ingin
saya pergi jauh darinya. Akhirnya saya berangkat ke Pesantren Darul
Lughah wad Dakwah. Pesantren tersebut diasuh oleh almarhum Ustad Hasan
Baharun,” terang suami Fatimah Qonita itu.
Ayahanda Ahmad Anis, Nur’aliyah dan ‘Ali ‘Abdul Qadir
tersebut mengatakan ibunya hanya mengizinkan dirinya belajar di
pesantren tersebut selama enam bulan. Ditambah masa percobaan satu
bulan, akhirnya Habib Novel menjadi santri selama 7 bulan.
Sulung dari tiga bersaudara itu sama
sekali belum mengenal kehidupan pesantren dan bahasa Arab. Habib Novel
pun berusaha untuk mempelajari bahasa Arab dengan sebaik-baiknya. Sebab,
almarhum kakeknya, Habib Ahmad bin Abdurrahman al ‘Aydrus yang tinggal
di Kudus, pernah berkata, ”Jika kamu mampu menguasai bahasa Arab, maka
kamu telah menguasai setengah ilmu.”
“Setiap hari saya paksakan diri saya
untuk menghapalkan kurang lebih 90 kata kerja. Di atas tempat tidur,
kamus kata kerja hampir tidak pernah berpisah dengan diri saya.
Alhamdulillah, dalam waktu dua bulan saya sudah dapat bercakap-cakap
dengan bahasa Arab,” jelasnya.
Sepulang dari Pesantren Darul Lughah wad
Dakwah, Habib Novel kembali melanjutkan kebiasaannya semasa di Solo
yaitu senang pergi ke Masjid Riyadh.
Sejak kelas 2 SD dia telah akrab dengan Masjid Riyadh. Dahulu, setiap
hari, menjelang maghrib, Habib Novel biasa berjalan kaki menuju Masjid
Riyadh untuk Salat Maghrib, mengikuti tadarus al Quran, pembacaan Ratib
dan Salat Isya berjamaah. Hal itu dilakukannya bertahun-tahun hingga
sebelum ke pesantren. Dia mengaku pembacaan Maulid Simtud Durar setiap
malam Jumat adalah ruhnya. Begitu kembali di Solo, Habib Novel segera
mengikuti pengajian umum yang diselenggarakan Habib Anis. Setiap hari
sejak 1995 hingga beliau wafat dia belajar di sana.
“Habib Anis menyebut saya sebagai muridnya. Bagi saya itu menjadi sebuah kebahagiaan,” tambahnya.
Penulis buku Mana Dalilnya itu merasakan
manfaat besar dari mengikuti majelis di Masjid Riyadh. Kini, Habib
Novel menjadi penceramah, penterjemah dan penulis. Semua itu tidak
terlepas dari peran Habib Anis.
Habib Novel bersyukur Allah memperkenankannya menyampaikan ilmu Nabi Muhammad. Dia berdakwah dari satu masjid ke masjid yang lain, dari satu kantor ke kantor yang lain dan dari satu rumah ke rumah yang lain.
Ke depan Habib Novel ingin ada Aswaja Call Center
sebagai tempat bertanya bagi masyarakat tentang berbagai persoalan.
Sehingga orang tidak bingung ketika memiliki permasalahan tentang agama.
Untuk mendukung itu, perlu ustadz yang kompeten dan referensi. Selain
itu, jika ada operator nakal supaya segera ditindak.
Keinginan Habib Novel lainnya yaitu
adanya sebuah masjid di Jl Slamet Riyadi. Dia sudah menyampaikan kepada
Walikota dan tokoh-tokoh sderta orang-orang yang punya uang agar ada
masjid di Jl. Slamet Riyadi. “Sungguh sangat disayangkan, di Solo, umat
Islam adalah terbesar jumlahnya. Tapi di sepanjang jalan protokol di
perkotaan tidak ada masjid. Yang ada masjid sekolahan. Masjid Agung
memang sudah ada tapi aksesnya sulit dan keindahannya ditutupi banyak
bangunan,” papar lelaki yang pernah menjajakan susu sapi segar dari satu
tempat ke tempat lainnya.
Majelis Dzikir dan Ilmu AR RAUDHAH
Majelis Ar-Raudhah adalah Majelis pimpinan Habib Naufal bin
Muhammad Al-’Aydrus. Sebuah wadah yang sejuk bagi para pecinta dzikir
dan ilmu. Majelis Ar-Raudhah terbuka untuk siapa pun yang mencari
kedamaian dan pencerahan. Alamat kami :
Jl. Dewutan No. 112 Rt. 01 Rw. 16 Semanggi, Pasar Kliwon, Solo 57117 Indonesia Telp: (0271) 633860.
Website Resmi: AR-RAUDHAH
0 komentar:
Posting Komentar