Bukan apa-apa, tapi mungkin kau masih ragu
menetapkan aku sebagai rindu.
Dari atas tanggul
tepian waduk ini, pernah kau berucap ingin menemuiku kembali setelah lama kau
jauh dari pandangan mata. Tapi tak kunjung aku temui secuil kabar, kapan
pastinya kau akan datang kesini bertukar senyummu padaku.
Sudahlah, Aty. Wilayah yang
sering kau sebut sunyi, sampai kini masih setia kuhuni sebagai tempat sembunyi.
Sembunyi dari kejadian yang dapat mengikis hati. Tapi siapa yang sebenarnya
menunggu, kau atau aku? Berangsur soal muncul; kita seteru atau sekutu?
Berkunjunglah ke
ingatanmu. Kenanglah kembali kenangan yang terlewat atau terlepas dari alam
pikirmu, barangkali di sana ada aku Meski kecemasan beruntun lebih dulu
menguasaimu.
Biarkan udara yang merekam
desah nafas dan suaramu, lalu biarkan menuju ke arahku. Jangan larang. Agar
ketika sampai bisa kudengar gema isi hatimu. Untuk aku menafakurinya ketika
malam menjelang. Derap jantungmu adalah sebuah susun kata yang tentunda
terucap. Gaung dengungnya senantiasa timbul tanpa terdua.
Masalahnya memang
jarak. Ya jarak, segala sesuatunya mudah membuat retak. Meski tak sejauh laut
dan ombak, tapi betapa pun kita telak, perih telah menyentuh serempak.
Mataku terpejam,
menghayati kau ketika di masa silam. Tapi yang kudapat hanya pendar menjelang
kelam. Hitam pekat. Sepekat kopi yang kuseduh di setiap malam.
Siapa yang sebenarnya
menunggu, kau atau aku? Setelah sekian waktu kita tak mampu saling tuju. Sejenak
mendamba lupa demi merenggang dari tegang kerinduan. Selebihnya menjelma hampa,
melenggang ke segenap lengang.
Dari jalan mana lagi
kau akan menikung? Bila arah tempat kau melangkah ada aral mengepung? Maka diam
dan biar akulah yang menjemputmu. Walau kutahu kau adalah sumber dari seluruh
ngilu rindu.
Aku pernah berujar
boleh bila sekadar menghindar. Agar tak sering kita terlihat melingkar tangan. Tapi
bukan berarti kau musti mengekalkan tengkar. Memendam amarah tak kunjung kelar.
Lalu siapa yang sebenarnya
akan membuka pintu, kau atau aku? Setelah mengira kalau sumpah telah muspra
lebih dulu.
Sudahlah, Aty. Masuklah
ke wilayah yang sering kausebut sunyi, sudah waktunya kau bernyanyi, dan aku
sudah letih sembunyi. Dan atas tanggul tepian waduk ini, akhirnya kita bertemu.
Menorehkan lagi kisah kenangan masa lalu. Menyusun rencana penuh bunga masa
nanti. Pasang badan bila diantara kita kelak ada yang tersakiti, tidak akan
saling pergi. Namun mengingatkan untuk saling mengerti. Saling mengisi.
25 Agustus 2015
Terimakasih untuk Gus Usman Arrumy yang telah mengajariku, "Puisi hanya bisa berencana dan usaha, cintalah akhirnya yang menentukan."
0 komentar:
Posting Komentar