Surat itu...
Sebelumnya, ku ucapkan banyak terima kasih kepadamu. Telah mau engkau
menerima serta membaca surat dariku. Ya, surat. Bukan SMS, BBM, WA ataupun E-mail.
Surat asli tulisan tangan dariku. Yang kata orang, tulisan tangan lebih
memiliki “ruh” ketika dibaca.
Surat yang memang sedikit panjang dan berbelit-belit. Maaf jika banyak
menyedot waktumu kala membacanya. Semoga dengan surat yang aku tulis itu dapat
sedikit menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tak sempat kau tanyakan atau yang
tak berani kau tanyakan langsung kepadaku.
Sedikit kubuka tirai hatiku, mengeluarkan sedikit demi sedikit yang
sekiranya pantas untuk ditorehkan diatas kertas. Berpikir mencari susun kata
agar dapat dimengerti oleh bahasa tulisan. Bahasa lahiriyah. Karena aku mengirimkan
surat ini untuk engkau. Dan engkau masih berwujud sebagai makhluk Tuhan bernama
manusia. Engkau perlu susun kata untuk sedikit mengerti apa yang ada dalam hati
makhluk Tuhan yang lain.
Surat itu dibuat dengan kesungguhan hati. Bukan dibuat karena emosi
sesaat. Bukan dibuat saat “mumpung” lagi mood.
Setiap kalimat dan katanya aku sanggup mempertanggungjawabkannya.
Kertas laksana hati dan penanya adalah pisau. Ya, setiap torehan penanya adalah
satu sayatan perih karena kerinduan karena jauh dari kekasihnya. Rintihan
karena kekasihnya tiada dia temukan saat berbincang bersama. Kesedihan karena terbayang
kekasihnya menanggung beban yang tak seringan kapas.
Aku memulai surat itu dengan menyebut nama Allah, Tuhan pemilik hati ini.
Telah kuserahkan apa-apa yang aku tulis dalam surat itu kepadaNya. Bila baik
tentu itu semata milik Allah. Bilamana buruk tentu berasal dari insan yang
miskin ilmu ini.
0 komentar:
Posting Komentar