Sabtu, 20 Juni 2015

Kakak Takmir dan Kakak Pendaki, Ngopi-lah dulu

sumber gambar: travel.detik.com



Apalagi ini?!
Bisa tidak sih, menanggapi kritikan dengan stel kendo / slow kayak ibu-ibu mau masukin benang ke dalam lubang jarum. Kedua masalah dipegang dengan erat, namun untuk menyatukannya penuh dengan kehati-hatian tingkat dewa sambil memincingkan mata.
Buat apa juga kakak takmir masjid nyinyirin kakak-kakak pendaki. Statment yang terkesan menuduh para kakak Pendaki kalau sedang menapaki jalan tanjakan dan turunan di gunung pastilah tidak pernah sholat di masjid itu memang nylekit. Ngejleb. Dan nge-nge lainnya.
Haloo!!
Kalian yang udah mendaki gunung beribu-ribu Mdpl. Dapat salam dari Masjid sebelah rumah nih. Udah sering sholat di sana?
Itu memang sebuah kalimat yang bisa dibilang nasehat. Kita tidak boleh memandang bahwa itu salah mutlak juga bukan? Ngono yo ngono ning ojo ngono.

Bila tidak bertemu langsung, apalagi ngitiknya lewat jersos (jejaring sosial) memang akan membuat ruyam setiap masalah yang dikritik. Apalagi yang ngritik tidak terlihat bagaimana bentuk hidungnya. Yah, jelas itu ndak etis, ndak jentel.
Bisa saja statement itu dibuat oleh orang yang dulu ikut kawan-kawannya mendaki tapi gagal ke puncak (Seperti saya, betapa pahitnya itu, ohh). Karena keadaan fisik yang lemah, kawan-kawannya tak mau lagi mengajaknya. Tentunya demi keselamatannya pula. Kita tahu bahwa aktifitas mendaki gunung bukanlah aktifitas sekedar dolan, senang-senang lalu pulang.
Mendaki gunung, menurut saya, adalah sebuah perjalanan perasaan, pemikiran dan tanggung jawab. Sebuah perjalanan yang mengajarkan betapa uang itu sama dengan daun.
Ikatan sosial kepada kawan anda tertempa disini. Apa yang akan anda lakukan jika mendadak kaki kawan anda keram, tubuhnya down disaat sedikit lagi mencapai puncak, dan lain sebagainya. Kepedulian kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan akan benar-benar diuji. Berapa banyak logistik yang anda bawa naik, dan berapa banyak nanti sampah yang akan anda bawa turun.
Meski saya sudah dua kali gagal merasakan bagaimana menginjak puncak gunung, namun pembelajarannya sudah mampu sebagai kecil saya tangkap. Ya, sebagian kecil. Karena saya yakin, di gunung masih banyak ilmu dan rahasia yang belum dapat saya menemukannya.
Perbedaan pendapat atau kesenangan adalah sebuah sunattullah. Hukum alam.
Kakak pendaki pun sekiranya juga harus sedikit menyejukkan pikiran. Jangan sampai hawa dingin di gunung malah membuat otak kakak terlewat dingin, dan akhirnya membeku.
Anggap saja statement yang dibuat oleh kakak takmir masjid itu murni sebuah nasehat. Kakak pun harus legowo.
Mungkin memang benar keadaannya seperti itu. Masjid sepi setelah kakak mendaki. Setelah kakak pulangpun, kakak lebih suka ngumpul dengan kawan-kawan penyuka ketinggian.
Sholat di puncak gunung memang belum pernah dirasakan oleh kakak takmir masjid. Namun, kakak juga tidak boleh lupa bawasannya tempat paling mulia adalah masjid. Kita bisa wudhu dengan mudah, tak cuman tayamum.
Kakak takmir masjid pasti juga sangat setuju bila urusan ibadah adalah urusan pribadi antara hamba dengan Tuhan. Namun, pernah terpikir tidak bahwa pergi mendaki dengan lawan jenis yang belum terikat oleh ijab qabul tetaplah suatu hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan.
Jangan sampai statement yang kakak buat adalah luncuran emosi sesaat. Yang dibuat oleh hawa nafsu yang tidak mau dikritik. Hidup di dunia memang hanyalah sawang sinawang.
------- oo -------
Sudah menjadi watak manusia atau istilah jawanya gawan bayi, kalau manusia itu tidak mau disalahkan, dikritik, dihina dan lain sebagainya. Ya, memang sebagian orang suka disalahkan, dikritik dan dihina, asal tidak ditujukan kepada dirinya. *asu podo wae*
Witekno, piye meneh?
Bagaimanapun memang begitulah sifat manusia. Mau gimana lagi? Ini hanya secara umumnya saja lewat apa yang saya lihat di kehidupan sosial selama ini. Termasuk pula saya.
Memang dalam relung hati manusia itu tak mau disalahkan atau ditentang pendapatnya. Namun, mbok yo kalau ada yang berbeda pendapat ya diterima dengan telingan dan otak yang arif gitu lho.
Untuk kakak takmir masjid, sekali-kali ikut merasakan lelahnya menapaki tanjakan yang ada di gunung bersama kakak pendaki agar dapat pula merasakan apa yang dirasakan oleh kakak pendaki. Mencoba membaca ayat-ayat Tuhan yang tidak tersurat. Menggali makna ayat-ayat Tuhan yang tersirat.
Kepada kakak pendaki, bila sudah selesai mendaki gunung, cepat-cepatlah pulang. Bapak/ibu sudah menanti di rumah. Letakkan semua seperangkat alat mendaki dari punggungmu. Istirahat. Lalu cus ke masjid bila sudah masuk waktu sholat. Adanya kakak takmir masjid membuat nasehat itu pastilah ada sebab-akibat. Jamaah di masjid bukan hanya soal hamba dengan Tuhan semata, namun juga ada aspek sosial kemasyarakatan yang bisa dibangun.
Kakak berdua sudah benar. Cuman mungkin lain waktu cara menyampaikannya yang mesti diperbaiki. Atau lebih sae lagi, bila kakak berdua pergi ke hik bersama untuk rokokan dan ngopi.
Mungkin kalimat sakti dari Gus Mus (KH. Musthofa Bisri) ini dapat membantu, “Kalau kita boleh meyakini pendapat kita sendiri, mengapa orang lain tidak boleh meyakini pendapatnya?”

Sukoharjo, 20 Juni 2015
Adziz bin Gino
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar