sumber gambar: travel.detik.com |
Apalagi ini?!
Bisa tidak sih, menanggapi kritikan dengan stel kendo / slow kayak ibu-ibu mau masukin benang ke dalam lubang
jarum. Kedua masalah dipegang dengan erat, namun untuk menyatukannya penuh
dengan kehati-hatian tingkat dewa sambil memincingkan mata.
Buat apa juga kakak takmir masjid nyinyirin kakak-kakak pendaki. Statment
yang terkesan menuduh para kakak Pendaki kalau sedang menapaki jalan tanjakan
dan turunan di gunung pastilah tidak pernah sholat di masjid itu memang nylekit. Ngejleb. Dan nge-nge lainnya.
Haloo!!
Kalian yang udah mendaki gunung
beribu-ribu Mdpl. Dapat salam dari Masjid sebelah rumah nih. Udah sering sholat
di sana?
Itu memang sebuah kalimat yang bisa dibilang nasehat. Kita tidak boleh
memandang bahwa itu salah mutlak juga bukan? Ngono yo ngono ning ojo ngono.
Bila tidak bertemu langsung, apalagi ngitiknya lewat jersos (jejaring sosial) memang akan membuat ruyam setiap masalah
yang dikritik. Apalagi yang ngritik tidak terlihat bagaimana bentuk hidungnya. Yah,
jelas itu ndak etis, ndak jentel.
Bisa saja statement itu dibuat oleh orang yang dulu ikut kawan-kawannya
mendaki tapi gagal ke puncak (Seperti saya, betapa pahitnya itu, ohh).
Karena keadaan fisik yang lemah, kawan-kawannya tak mau lagi mengajaknya.
Tentunya demi keselamatannya pula. Kita tahu bahwa aktifitas mendaki gunung
bukanlah aktifitas sekedar dolan,
senang-senang lalu pulang.
Mendaki gunung, menurut saya, adalah sebuah perjalanan perasaan,
pemikiran dan tanggung jawab. Sebuah perjalanan yang mengajarkan betapa uang
itu sama dengan daun.
Ikatan sosial kepada kawan anda tertempa disini. Apa yang akan anda
lakukan jika mendadak kaki kawan anda keram, tubuhnya down disaat sedikit lagi
mencapai puncak, dan lain sebagainya. Kepedulian kepada sesama makhluk ciptaan
Tuhan akan benar-benar diuji. Berapa banyak logistik yang anda bawa naik, dan
berapa banyak nanti sampah yang akan anda bawa turun.
Meski saya sudah dua kali gagal merasakan bagaimana menginjak puncak
gunung, namun pembelajarannya sudah mampu sebagai kecil saya tangkap. Ya,
sebagian kecil. Karena saya yakin, di gunung masih banyak ilmu dan rahasia yang
belum dapat saya menemukannya.
Perbedaan pendapat atau kesenangan adalah sebuah sunattullah. Hukum alam.
Kakak pendaki pun sekiranya juga harus sedikit menyejukkan pikiran.
Jangan sampai hawa dingin di gunung malah membuat otak kakak terlewat dingin,
dan akhirnya membeku.
Anggap saja statement yang dibuat oleh kakak takmir masjid itu murni
sebuah nasehat. Kakak pun harus legowo.
Mungkin memang benar keadaannya seperti itu. Masjid sepi setelah kakak
mendaki. Setelah kakak pulangpun, kakak lebih suka ngumpul dengan kawan-kawan
penyuka ketinggian.
Sholat di puncak gunung memang belum pernah dirasakan oleh kakak takmir
masjid. Namun, kakak juga tidak boleh lupa bawasannya tempat paling mulia adalah
masjid. Kita bisa wudhu dengan mudah, tak cuman tayamum.
Kakak takmir masjid pasti juga sangat setuju bila urusan ibadah adalah
urusan pribadi antara hamba dengan Tuhan. Namun, pernah terpikir tidak bahwa
pergi mendaki dengan lawan jenis yang belum terikat oleh ijab qabul tetaplah suatu hal yang sebenarnya tidak boleh
dilakukan.
Jangan sampai statement yang kakak buat adalah luncuran emosi sesaat. Yang
dibuat oleh hawa nafsu yang tidak mau dikritik. Hidup di dunia memang hanyalah sawang sinawang.
-------
oo -------
Sudah menjadi watak manusia atau istilah jawanya gawan bayi, kalau manusia itu tidak mau disalahkan, dikritik,
dihina dan lain sebagainya. Ya, memang sebagian orang suka disalahkan, dikritik
dan dihina, asal tidak ditujukan kepada dirinya. *asu podo wae*
Witekno, piye meneh?
Bagaimanapun memang begitulah sifat manusia. Mau gimana lagi? Ini hanya
secara umumnya saja lewat apa yang saya lihat di kehidupan sosial selama ini.
Termasuk pula saya.
Memang dalam relung hati manusia itu tak mau disalahkan atau ditentang
pendapatnya. Namun, mbok yo kalau ada
yang berbeda pendapat ya diterima dengan telingan dan otak yang arif gitu lho.
Untuk kakak takmir masjid, sekali-kali ikut merasakan lelahnya menapaki
tanjakan yang ada di gunung bersama kakak pendaki agar dapat pula merasakan apa
yang dirasakan oleh kakak pendaki. Mencoba membaca ayat-ayat Tuhan yang tidak
tersurat. Menggali makna ayat-ayat Tuhan yang tersirat.
Kepada kakak pendaki, bila sudah selesai mendaki gunung, cepat-cepatlah
pulang. Bapak/ibu sudah menanti di rumah. Letakkan semua seperangkat alat
mendaki dari punggungmu. Istirahat. Lalu cus ke masjid bila sudah masuk waktu
sholat. Adanya kakak takmir masjid membuat nasehat itu pastilah ada
sebab-akibat. Jamaah di masjid bukan hanya soal hamba dengan Tuhan semata,
namun juga ada aspek sosial kemasyarakatan yang bisa dibangun.
Kakak berdua sudah benar. Cuman mungkin lain waktu cara menyampaikannya
yang mesti diperbaiki. Atau lebih sae
lagi, bila kakak berdua pergi ke hik bersama untuk rokokan dan ngopi.
Mungkin kalimat sakti dari Gus Mus (KH. Musthofa Bisri) ini dapat
membantu, “Kalau kita boleh meyakini
pendapat kita sendiri, mengapa orang lain tidak boleh meyakini pendapatnya?”
Sukoharjo, 20 Juni 2015
Adziz bin Gino
0 komentar:
Posting Komentar