Sumber gambar: kaskus.co.id |
Betapa banyak orang yang sudah berumur 16 tahun keatas yang menurut
undang-undang sudah dikatakan “dewasa” masih berperilaku seperti halnya anak
kecil yang masih duduk di bangku playgroup.
Anak kecil biasanya senang saat diberi permen yang bentuknya menggiurkan
lidah, penuh warna-warna, tanpa pernah peduli jika permen itu ternyata beracun.
Padahal orang tuanya sudah memberitahu bahwa permen itu hanya nampak luar saja
yang indah. Dalamnya berisi racun, narkoba, sabu-sabu dan seabrek bahan
berbahaya yang bisa saja sekali tenggak nyawa melayang.
Lha piye, namanya juga anak
kecil. Dikatakan belum dewasa, karena cara berpikirnya terlalu sempit. Yang
hanya melihat apa yang tampak di depan mata. Celaka belakangan urusannya
belakangan.
Contoh lain, generasi muda kita, terutama anak SMA yang sekarang
sepertinya anak SMP juga sudah mulai berani merayakan kelulusan dengan corat-coret
baju, pesta miras dan sabu. Malahan, pada bulan April yang lalu, sebuah EO mau
mengadakan sebuah “pesta bikini” untuk merayakan kelulusan SMA. Alamak, makin gila jaman ini. Tanpa
peduli efek buruk yang akan ditimbulkan kemudian hari. Karena ya, itu tadi, cara
berpikirnya terlalu sempit. Yang hanya melihat apa yang tampak di depan mata.
Apakah sumber daya manusia dengan mindset
yang demikian bisa dibenarkan? Tentu saja tidak. Apapun alasannya.
Menjalani hidup di dunia ini perlu kedewasaan dalam berpikir. Perlu banyak
baca. Yang tersurat maupun yang tersurat. Apa yang tampak dihadapan mata, bisa
saja menipu. Manusia yang cerdas, tak mungkin tertipu oleh nafsu duniawi yang
hanya sesaat. Yang hanya manis di lidah.
Maka dari itu agama mengajarkan, bahwa bila memandang sesuatu harus
dengan pandangan hikmah. Memandang yang tak sekedar memandang. Memandang dengan
penuh perhatian dan perenungan. Kiranya yang terjadi itu adakah hal yang
berguna untuk diri dalam menjalani kehidupan dunia ini. Adakah bermanfaat bagi
kehidupan kelak di akhirat.
Baik keberuntungan maupun kesengsaraan hidup, sama-sama mengandung hikmah
ilahi yang pasti menjanjikan kebaikan. Selalu ingatlah Allah. Sandarkan selalu
apapun yang kiata lakukan dan rasakan kepadaNya. Karena tak sedikit nasib buruk
kemudian malah membawa keberuntungan. Tak jarang pula, keberuntungan yang ternyata
malah berakhir tragis.
Syekh Ibnu Athaillah As Sakandary dalam kitab Al Hikamnya menyindir pola
pikir yang salah dari manusia, bahwa mereka membangun cara pandang dari kaca
mata lahirnya saja. “Jika engkau senang
ketika diberi nikmat duniawi, atau sedih saat diterpa cobaan hidup, itu berarti
engkau belum dewasa dalam menghamba.”
Jleb!
Itu kita. Termasuk saya pula.
Mayoritas manusia (saya termasuk) menyimpulkan makna kehidupan dari
pengalaman hidup yang pernah mereka rasakan. Sama sekali tak menyentuh inti
hidup.
Jika kehidupan yang dijalani terasa enak, nyaman, hati tentram, dompet
tebel, badan sehat, berarti itulah keberuntungan, itu nikmat. Namun, bila
ternyata tak menyenangkan, berarti ia adalah kutukan. Menuduh kalau Allah
berbuat tak adil. Ngeluhnya seperti tiada kata lelah. Beuh.
Kedua mindset itu tadi berimplikasi
negatif, sebab hanya mengandalkan pengalaman hidup. Usahanya sendiri. “Aku”-nya
diunggulkan. Sama sekali takdir Allah tak ikut dalam perhitungannya.
Yang pertama mencerminkan hidup yang menjanjikan; segala kebutuhan
terpenuhi; setiap keinginan tersalurkan. Hidup itu menyenangkan. Pola pikir
atau mindset seperti ini sebenarnya telah disinggung dalam QS Yunus 10:58. Silahkan
cari dan baca sendiri ayatnya. Rasah
manja!
Adapun yang kedua, mencerminkan kehidupan serba melarat; kebutuhan primer
sulit di dapat; keinginan untuk hidup sejahtera tak terpenuhi. Mindset ini pun
telah disinggung dalam QS al-Baqarah 2:155-156. Iya, bener, cari sendiri. Heuheu.
Nah, seandainya dua pola berpikir ini diterapkan apa adanya dalam
mengarungi hidup kita ini, berarti pastinya kita belum dewasa menjalani
kehidupan.
Makanya, dua ayat yang disinggung tadi harusnya di filter dengan ayat
ini, QS al-Baqarah 2:216. Tak perlu saya
perintah lagi kan?
Allah yang menciptakan manusia, berarti Allah juga penentu nasib mereka. Dia-kan
maha baik ndak mungkin berbuat keji
seperti ibu asuhnya Angeline.
Tanamkan dalam hati kita: bahwa setiap takdir Allah pasti baik. Allah
Maha Baik; Allah juga cinta pada manusia yang baik. Semua hal jika di niati
baik, pasti akan membuahkan hasil yang baik pula.
Kanjeng Nabi Muhammad SAW paring sabdo,
“Jalani aktivitas anda dengan niat baik, sebab hasil yang baik ditentukan
oleh niatan yang baik pula.”
Selalu optimis menjalani hidup. Husnudzon
dibanyakin. Husnudzon pada manusia,
lebih-lebih Husnudzon pada Allah. Tak ada kata gagal dalam kamus
motivasi kehidupan ini, apalagi jika anda adalah seorang muslim. Sebab, takdir
baik Allah selalu menyertai setiap muslim. Di dunia maupun di akhirat kelak.
Sukoharjo, 17 Juni 2015
Adziz bin Gino
0 komentar:
Posting Komentar