Sekitar tujuh tahun yang lalu, ketika hendak menikah, saya
mendatangi guru saya untuk meminta nasihat tentang pernikahan.
Sebagai seorang laki-laki, ada
sejumlah kebimbangan dalam hati saya. Di satu sisi, saya ingin segera menikah
karena saya merasa sudah menemukan ‘jodoh’ saya. Di sisi lain, saya masih
merasa belum mampu menjalani pernikahan tersebut—terkait kesiapan mental,
kesiapan batin, terlebih kesiapan materi karena barangkali kelak saya yang akan
memegang tanggung jawab finansial lebih besar dalam rumah tangga.
“Kalau kamu belum mampu menikah, berpuasalah!” Kalimat itulah
yang pertama kali diucapkan guru saya setelah saya menceritakan semuanya.
Dingin dan datar.
Rasanya saya ingin bertanya, apakah puasa akan menyelesaikan
masalah-masalah yang saya keluhkan? Apakah puasa akan membuat saya siap secara
fisik, mental, batin, bahkan finansial? Namun, saya tak berani mempertanyakan
semua itu kepada guru saya, hingga saya menanyakan hal lainnya.
“Saya mengerti tentang bahwa kita harus menahan diri, Kiai,
menjaga pandangan dan kehormatan,” ujar saya, berusaha memberanikan diri, “Tapi
saya ingin menikah bukan karena saya tidak bisa menahan nafsu seksual saya…”