Ya Allah, dia gadis yang baik. Jadikan dia kekasih-Mu, tanamkan berjuta
benih cinta dihatinya kepada-Mu, agar setiap gerak dan langkahnya dapat meniru
utusan-Mu yang teragung, Nabi Muhammad SAW. Hingga terbimbimlah semua apa yang
akan dia lakukan dan katakan. Kalau bukan kepada-Mu wahai Dzat yang Maha Pengasih,
kepada siapa lagi hamba merintihkan ketidakmampuan hamba ini.
Bentang garis kehidupan ini telah nyaris sempurna dilalui olehnya. Suka
dan duka rasa-rasanya telah dia lahap dengan ketangguhan jiwa yang luar biasa. Sebagai
seorang laki-laki diriku telah dikalahkan telah oleh dirinya. Semangat untuk
menjadi seorang “Khadijah” jelas tergambar dari sorot matanya yang teduh,
senyumnya yang menentramkan jiwa, dan lembut caranya menyentuh.
Aku hanya mencoba memposisikan diri agar terlihat mirip dengan tindak-tanduknya. Mirip, hanya sekedar
mirip. Namun kadar beban tentulah lebih berbobot dengan apa yang dia tanggung.
Semisal, dia bekerja duduk berjam-jam di sebuah kantor, aku mencoba
menyamainya walau dudukku di sebuah warnet. Dia bolak-balik dari majelis
menuntut ilmu agama, aku pun mencoba melakukan hal yang sama. Lelah matanya
menatap buku-buku kuliah, aku mulai membeli buku-buku agar lelah matanya dapat
pula kurasakan. Otaknya berpikir begitu keras untuk menyelesaikan tugas akhir
kuliah, yang kadang membuat turun semangatnya. Aku mencoba menyamai dengan
menulis cerpen, esai dan artikel untuk dirikim ke media masa atau media online,
walaupun selalu ditolak. Dia jauh dari orang tua dan adik-adiknya, pun sama
dengan yang kurasakan.
Kusadari dia di sana akan sulit berrekreasi sekedar melepas penat, karena
di sana, tirai gedung-gedung pencakar langit terlalu padat. Harus menempuh
jarak yang cukup jauh bila ingin melihat debut ombak atau hijaunya pohon tanpa
terhalangi oleh congkaknya gedung-gedung pencakar langit itu. Aku memahami dan
mengerti akan hal itu. Disini aku pun putuskan untuk mengurangi pergi rekreasi
dan memilih di rumah menulis kerinduan kepadanya. Kalaupun aku sedang pergi
rekreasi, entah kenapa pikiranku selalu berkata, “Apa yang sekarang dia lakukan
sekarang? Apakah melakukan seperti yang aku lakukan sekarang?”.
Ah, betapapun yang kulakukan tentulah tak sepadan dengan letih yang
dideranya. Aku hanya ingin ikut sedikit merasakan keletihannya. Mana bisa aku
tertawa lepas, namun nun jauh disana dia sedang berjuang keras.
Keringat dan airmatanya terlalu berharga jika hanya menetes dan raib ditelan
di permukaan bumi. Sering aku berimajinasi mengusap keringat di dahinya dan
linang air matanya dengan tanganku sendiri, agar getir letih perjuangannya menyatu
dengan peluhku. Hingga dapat benar-benar kurasakan lebih mendalam apa yang dia
rasakan.
Duhai Allah, Engkau Maha Tahu. Jadikan setiap bulir tetes air mata yang
telah mengembun menjadi penghapus segala dosa-dosanya dan menjadi pembersih
kotoran di hatinya. Jadikan keringat yang telah menguap ke angkasa sebagai
peninggi derajatnya di sisiMu.
Oh Tuhanku, Engkau yang maha pengabul segala doa. Sekali lagi, Ya Allah,
jadikan dia kekasih-Mu.
Ditulis saat genderang binatang malam mulai riuh jelas terdengar, di dukuh Dapalangu tanggal 17 Mei 2015.
0 komentar:
Posting Komentar