Aku pun pada setiap malamnya. Ketika bersujud kepadaNya. Memohon agar
ditunjukkan benar-benar, apakah cinta murni itu sebenarnya? Lewat doa, buku,
artikel dan pelajaran pengalaman kucari benar-benar. Alhamdulillah, segala puji
bagi Allah yang telah menunjukkannya. Hingga pada suatu saat aku menemukan
sedikit yang menerangkan tentang cinta murni itu. Ditulis oleh Ulama Besar
Indonesia tempo dulu. Buya Hamka, dalam novel legendaris yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
“Tuhan tidaklah akan menyia-nyiakan
engkau. Sembahlah Dia dengan khusyu', ingat Dia di waktu kita senang, supaya
Dia ingat pitta kepada kita di waktu kita sengsara. Dialah yang akan membimbing
tanganmu. Dialah yang akan menunjukkan haluan hidup kepadamu. Dialah yang akan
menerangi jalan yang gelap. Jangan takut menghadapi cinta. Ketahuilah bahwa
Allah yang menjadikan matahari dan memberinya cahaya. Allah yang menjadikan
bunga dan memberinya wangi. Allah yang menjadikan tubuh dan memberinya nyawa.
Allah yang menjadikan mata dan memberinya penglihatan. Maka Allah pulalah yang
menjadikan hati dan memberinya cinta. Jika hati kau diberi-Nya nikmat pula
dengan cinta sebagaimana hatiku, marilah kita pelihara nikmat itu sebaik-baiknya,
kita jaga dan kata pupuk, kita pelihara supaya jangan dicabut Tuhan kembali.
Cinta adalah iradat Tuhan, dikirimnya ke dunia supaya tumbuh. Kalau dia
terletak di atas tanah yang lekang dan tandus, tumbuhnya akan menyiksa orang
lain. Kalau dia datang kepada hati yang keruh dan kepada budi yang rendah, dia
akan membawa kerusakan. Tetapi jika dia hinggap kepada hati yang suci, dia akan
mewariskan kemuliaan, keikhlasan dan tha'at kepada Ilahi”
Sebenarnya masih banyak lagi hikayat-hikayat yang bernada sama, namun
beda kata. Pada intinya adalah mengarahkan kita untuk memulai cinta, proses
mencintai, hingga akhir mencintai adalah selalu memandangnya dengan cinta kita
kepada Tuhan yang Maha Cinta. Sebagai bentuk syukur nikmat akan hadirnya cinta dalam
hati kita. Kalau begitu adanya, pastilah cinta akan mengarahkan kepada hal-hal
yang baik. Menumbuhkan beribu kebahagiaan. Menggelorakan semangat berikhtiar. Tuhanlah
yang menanam benih cinta, Dia pulalah yang menumbuhkannya. Bila kita menyirami
benih cinta tersebut dengan ketaatan kepada Tuhan, tumbuhlah cinta itu menjadi kemuliaan,
keikhlasan dan ta'at kepada Ilahi. Dikekalkannya hubungan cinta karena Tuhan
itu ila yaumil qiyamah. Abadi hingga FirdausNya. *Aamiin*
Hingga akhirnya pada suatu waktu. Dulu. Pernah aku menuliskan hasil dari
sebuah perenungan, “Dan serahkan seluruh Cintamu kepada Allah. Lalu biarkan Dia
yang mengatur pembagiannya. Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Namun bila disiraminya dengan busuk air ingkar kepada Tuhan, pastilah kerusakan,
kesengsaraan dan makin jauh kepada Illahi yang tumbuh dan menyelimuti hidup
ini. Boleh jadi kesengsaraan berlanjut hingga dalam kubur. *Naudzubillah*
--------
Cinta merubah keraguan menjadi kekuatan dan keyakinan. Inilah, dia sedang
berproses. Sudah saatnya untuk tak menganggap cinta adalah hal yang tabu. Sudah
saatnya lisan tak beku. Bahwa hati letaknya terlalu dalam untuk mudah diketahui
oleh setiap insan manusia. Seharusnya lisan mengutarakan sedikit apa yang
dirasakan oleh hati itu. Walaupun kita tahu bahwa sedetail apapun kita
bercerita tentang rasa di hati, mustahil orang lain akan merasakan hal yang
sama. Kecuali kalau dia merasakan sendiri.
Jangan diam! Seteguh apapun kita yakin akan apa yang dirasakan oleh hati
kita, tetap saja kita akan membuat ragu orang yang tak pernah mendengar
langsung dari tutur lisan kita. Bukankah hal yang wajar itu terjadi. Kita semua
telah setuju, bila hati itu adalah sesuatu yang paling dalam melebihi dalamnya
palung Mariana? Tidak setiap orang
mampu menyelaminya.
Ketika seseorang tak mampu menebak dengan benar isi hati kita, berarti
kita sendiri harus sadar diri juga. Bahwa sudah saatnya menjelaskan maksud
sebenarnya hati kita ini. Jangan biarkan orang lain kita ombang-ambingkan dalam
ketidakpastian. Itu menyebalkan. Yang perempuan lebih paham akan hal ini.
“Lama-lama orang males
romantis karena entar disebut galau. Males peduli takut disebut kepo. Males
mendetail takut dibilang rempong. Males mengubah-ubah point of view dalam debat
takut dibilang labil. Juga, lama-lama generasi mendatang males berpendapat
takut dikira curhat.”
~Sudjiwo Tedjo~
---------------------
Terlihat sepele memang untuk berucap kata “cinta”. Namun betapa berat
bibir ini terangkat untuk mengucapkannya. Seperti telah dijahit dengan seribu
benang rasanya bibir ini. Ya, aku akui itu. Karena aku pun belum sekalipun
mengatakannya. Hanya sebatas isyarat. Hanya sebatas kalimat-kalimat sindiran. Yang
mencapai beberapa tangga untuk mencapai puncak kalimat cinta. Belum mencapai
puncak dan menancapkan sedalam-dalamnya bendera cinta. Untuk lebih menyakinkan.
Lebih menumbuhkan harapan besar. Ya, harapan besar. Karena kuyakini juga bahwa
doa yang besarlah yang melahirkan harapan besar. Bukankah Tuhan juga
mengajarkan agar tak ragu akan setiap doa yang telah kita panjatkan? Husnudzon kepadaNya
itu sangat berpengaruh kepada terijabahnya
sebuah doa. Tuhan sesuai prasangka hambaNya.
Aku pun merasakan ketakutan berucap cinta itu. Takut kalau waktu belum
tepat. Takut kalau ucapan itu hanyalah sebatas nafsu. Tidak ada keseriusan dan keyakinan.
Tapi kini aku telah insaf. Segala ketakutan itu hanyalah rasa kurangnya
husnudzonku kepada Tuhan. Bukankah cinta itu iradat dari Tuhan Yang Maha Kuasa?
Yang tak kuasa manusia untuk menumbuhkannya sendiri. Bahwa cinta itu akan
melahirkan rasa tentram, kebahagiaan. Kini bila memang benar rasa yang telah
tumbuh subur di hati ini adalah sebuah iradat dari Tuhan. Maka tugasku sekarang
adalah merawatnya. Menyiraminya. Memupuknya. Menjaganya agar tetap suci, agar tidak
ternodai oleh hal-hal yang menipu. Supaya tetap pada rel yang telah dibuatkan
oleh Tuhan.
Disemulitanya cinta itu dengan doa. Setiap saat. Setiap waktu mendekat
kepadaNya. Karena sadar betul aku hanyalah seorang yang lemah, yang tak mungkin
dapat menanggung rasa yang begitu agung itu. Tanpa adanya bimbingan dariNya
akankah aku bertabah hati menanti sampai saat ini. Sebagai lelaki normal, sering
kali juga melirik wanita yang wira-wiri didepan mata.
“Ah”, gumamku, “Setengah dari keindahan dunia memang telah terlukis pada
setiap diri kaum Hawa. Jadi ndak pangling
bila kaum Adam kadang suka mencuri pandang kepada setiap Hawa yang sliwar sliwer. Namun, seketika
keindahan itu hilang dalam sekejap. Bagai kilat. Begitu Cepat. Ketika sadar
bahwa sekarang ada yang lebih baik dari dunia dan isinya duduk disampingku,
membuatkan kopi untukku.”
Bersambung....
Adziz bin Gino
Sukoharjo, 15 Maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar