Malam tanggal 29 Desember 2012, saat hujan dengan istiqomahnya membasahi bumi. Suara gemericik air yang begitu
berisik mengusik ketenangan desa. Saat orang-orang memilih ndekem di rumah masing-masing. Tapi tidak untukku.
Aku tengah duduk santai menikmati bekunya udara dengan segelas kopi hitam
dan memegang sebatang rokok di sela-sela jari.
Tiba-tiba dering ringtone nokia
merangsak masuk ketelingaku. Kuangkat dengan santai handphone-ku tanpa melihat siapa yang menelpon.
“Halo, Assalamu’alaikum,” tanyaku sambil menghembuskan kuat-kuat asap
tembakau untuk mengusir bekunya udara.
“Wa’alaikumsalam,” jawabnya begitu lembut, “Gimana besuk? Jadi ke kebun
teh Kemuning?”
Aku kenal betul suara ini. Seorang gadis desa sebelah yang dulunya langsing. Dulu. Catat, itu dulu. Kalau sekarang mah
montox. Yang memiliki senyum khas yang tak dimiliki
wanita lainnya.
“Kalau kamu ndak capek, ayo,” jawabku.
Sengaja aku menanyakan hal itu, karena perjalanan Jakarta – Sukoharjo itu
bukan jarak yang selangkah dua langkah sampai. Butuh waktu sekitar 12-13 jam
perjalanan kalau menaiki bus dan sekitar 8 jam perjalanan kalau dengan kereta
api. Waktu segitu cukuplah untuk meneposkan
bokong. Kalau mabur mah hanya butuh 1
jam. Sayang dia milih nitih kereta
api.
“Nggak kok, nggak capek. Aku kan naik kereta.”
“Ya udah, besuk kalau sudah sampai di rumah sms ya. Jam berapa berangkatnya.
Atau telpon lagi juga boleh. Hehe”
“Iya, nanti aku kabari lagi.”
“Sip dah. Eh ya, omong-omong kamu mau ngajak siapa?”
“Aku juga belum tahu. Entar kalau sudah sampai dirumah, coba nanti aku
ajak temenku.”
“Ok, ya dah istirahat dulu aja. Siapin tenaga buat besuk.”
“Iya, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Setelah menutup telpon, entah kenapa jantungku berdegup lebih cepat dari
biasanya. Seperti mau menang lotre
berhadiah 2 milyar! Masih ndak
percaya saja.
Kenapa?
Ya, iyalah bro! Ketemu aja
jarang. Kenal juga baru seimprit. Ketemu
terakhir saat dia mau berangkat merantau menjamah bumi Indonesia yang lain dan
untuk meraih cita-citanya kuliah di sono.
Janjian ya cuma lewat chatting. Itupun
sebenarnya cuma iseng. Mbok menowo
mau, untuk menemani aku plesir. Dengan rutinitas yang kadang menjemukan, tubuh
dan jiwa ini butuh sesekali plesir. Sekedar
merefresh kembali pikiran. Kawanku
yang lain kok ya ndilalah pas
semuanya ada acara sendiri-sendiri. Kan ndak asyik plesir sendirian bro? Temen ngobrol itu bagiku mutlak
perlu. Apalagi cewek. Eh, malah langsung deal kebun teh Kemuning.
----------------
Esok harinya. Saat semua pekerjaan rumah sudah selesai. Maklum di rumah
cuman sendirian, jadi apa-apa harus sendiri juga. Masak-masak sendiri. Makan-makan
sendiri. Cuci baju sendiri. Tidur pun sendiri. *Play Caca Handika – Angka Satu*
Kurang lebih pukul 9 pagi, saat kopi panas nan kental telah rampung disajikan. Dan, asap tembakau
telah membumbung tinggi. Handphone Nokia 1616 yang terlantar di atas meja, hasil
dari nabung uang jajan ketika SMA dan memasang muka melas di depan orang tua
berdering. Secepat kilat aku menyambarnya.
“Halo, Assalamu’alaikum,” tanyaku penuh gairah.
“Wa’alaikumsalam,” jawabnya dengan sedikit terkekeh.
“Ginama? Jadi?”
“Iya, jadi. Tapi temenku aku ajak pada nggak mau. Gimana?
“Ya udah, kamu ndak bawa temen. Aku berarti ya juga ndak usah bawa.”
Padahal ada kawanku yang merengek mau ikut setelah kepulangannya merantau
juga. Tapi sebagai sahabat yang pangerten,
karena kulihat dari raut wajahnya masih saja istiqomah dalam kejombloan. Padahal,
saat itu adalah 4 bulan kejombloanku juga.
“Ya dah, berdua aja nggak papa to?”
tanyanya dengan sedikit menurunkan nada suaranya. Sepertinya dia sedikit
khawatir bila aku menolak. *abaikan*
“Iya, ndak papa. Mau dijemput jam berapa dan dimana?” jawabku dengan
wajah yang super sumringah dan berteriak tanpa suara “Yes”.
“Jam 10 nanti ya, di timur rel buk
bolong.”
“Siap. Insyaa Allah.”
“Ya dah, sampai ketemu nanti. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Segera kubuang handphone ke kasur. Handuk kusambar. Langsung melesat ke
kamar mandi. Mandi dululah, biar kelihatan seger. Dari kemarin sore tubuhku
belum sempat terjamah air. Bukan karena malas mandi atau mau hemat air. Bukan. Jangan
salah persepsi dulu. Ndilalah,
kemarin sore itu hingga senja tergeser malam, udara beku tak kunjung sirna. Menyebabkan
aku kehilangan selera mandi. Ndak percaya? Tanya tu kucing!
--------------------------
Motor sudah dicuci dan dipanasin. Untuk sekaliber op warnet dandanan kala
kadarnya aja dah. Tak perlu begini
begitu yang penting nutup aurat dan
nyaman. Juga wangi tentunya.
Kulirik jam dinding. Sudah pukul 9.45, lekas aku berlari keluar dan
dengan tergesa-gesa aku mengunci pintu. Belum sempat daun mlinjo jatuh ketanah
aku sudah sempurna menunggangi motorku. Nyalain. Gasss
Belum 15 menit tuntas, aku sudah nangkring di sebelah timur rel buk bolong sembari menyalakan sebatang
rokok. Kuketik cepat sebuah sms, “Aku sudah di tkp, kamu dimana?”
Tanpa membalas sms ku, dia langsung menelpon.
“Halo. Assalamu’alaikum,” sambarku mencuri salam.
“Wa’alaikumsalam.”
“Aku sudah di tkp, kamu di mana?”
“Aku lagi ada di toko pertigaan arah menuju desa Tempel, kamu kesini aja.”
“Oke”
“Aku tunggu”
Kututup telpon. Rokok kumatikan. Langsung balik arah menuju tempat yang
disebutkan olehnya.
---------------------
“Hey, disini,” teriaknya dari toko diseberang jalan sambil melambai
tangan yang berbaluk sweater berwarna
kayak permen blaster. Dan sebuah
jilbab warna biru sempurna menutupi mahkotanya.
Dia berjalan kearahku yang belum sempat turun dari motor sambil nyangking helm INK warna ungu.
“Ayo kesana dulu, minta izin sama ibu,” katanya dengan nada yang lirih.
Kulepas helm dari kepalaku sembari merapikan rambut, lalu mengangguk,
“Ayo.”
“Bu, kami pergi dulu ya,” kataku sesopan mungkin kepada ibunya yang
kukira umurnya sepadan dengan ibuku. Lalu kuraih tangan ibunya dan kucium.
Ibunya tersenyum manis, tak kalah manis dengan anaknya, “Iya, hati-hati.
Pulangya jangan terlalu malam.”
“Iya bu, siap,” jawabku sambil membalas senyumnya yang sedari tadi belum
sirna dari wajahnya.
Lalu gadis yang dulu langsing itu mencium tangan dan kedua pipi
ibunya dengan penuh kasih sayang. Dengan restu ibunya kami bernagkat ke pelaminan
Kebuh Teh Kemuning.
-------------------------
Kami isi perjalanan dengan perbicangan kesana kemari. Tentang hal ini hal
itu. Serasa sudah kenal lama, perbicangan kami asyik dan kadang saling melempar
cubitan. Untuk mengusir bosan dan untuk tidak mengagagas bahwa bokong kami telah lelah duduk melulu.
Setelah kurang lebih 2 jam, akhirnya kami telah menginjakkan kaki di
sekitaran kebun teh kemuning, yang sebelumnya kami berhenti sejenak di sebuah
masjid sekitar untuk sholat dzuhur.
Sedikit kami terkecewakan saat sudah menjamah jalan-jalan di kebun teh. Kabut
bro! Keindahan hijau kebuh teh saat
itu terselimuti hampir seluruhnya. Jarak pandang hanya sekitaran 10-20 meter. Yungalah.
Kuhentikan motor sejenak di pinggir jalan. Kubuka kaca helm yang telah
sedikit berembun karena kabut, “Gimana? Tertutup kabut semua,” tanyaku.
“Terserahlah, mau kemana. Toh kita
dah terlanjur sampai,” jawabnya pasrah. Yang sebetulnya aku paling benci cewek
berkata “terserah”. Itu adalah kata yang bikin serba salah para cowok. Namun,
memandang wajahnya, kata itu tak lagi ku benci. Saat itu. Cukup saat itu saja.
“Emm, gimana kalau kita ke Candi Cetho? Udah pernah kesana?” tanyaku
menawarkan tempat wisata lain yang masih berdekatan dengan kebun teh Kemuning.
“Ayo, aku belum pernah kesana,” sahutnya penuh semangat.
“Ok, pegangan. Jalannya akan lebih mendaki kali ini.”
Dia menjawab dengan senyuman khasnya. Terlihat dari setitik tahi lalat di
pipi kanannya telah naik. Menandakan sangat setuju.
Kubenahi kaca helmku. Starter
motor. Tancap gaassss
--------------------------
Kurang lebih 30 menit, sampailah kami di parkiran Candi Cetho. Setelah
menerima karcis parkir, langsung saja berjalan sesandingan menuju loket untuk membeli 2 buah tiket masuk.
Karena kami ke Candi Cetho pada saat musim penghujan, kami tak bisa
berlama-lama untuk menjamah seluruh bagian candi. Sekedar menuju pusat candi,
foto-foto sedapatnya. Sebisa mungkin mengabadikan moment-moment yang bisa
dinikamti saat itu. Karena saat itu, aku berpikiran, “Ah, aku cuman semacam tour guide, kalo client-ku senang. Cukuplah itu sebagai upahku.”
Saat gerimis hinggap ke bumi, dan sedikit demi sedikit mulai membahasi
setiap jengkal kawasan Candi Cetho. Kami putuskan untuk turun. Dengan tempo
langkah yang kami percepat, jalan sempit dan beberapa anak tangga kawasan candi
sempurna kami lewati menuju pintu keluar.
Berharap di bawah, di kawasan kebun teh belum diterpa hujan. Dan kabutnya
sudah sirna. Agar dapat kami mengabadikan hijau daun teh yang tengah semi.
Ah, apa daya manusia. Manusia hanya bisa berharap namun Tuhan pulalah
yang menentukan hasilnya. Sesampainya di daerah yang paling pas di sekitaran
kebuh teh untuk sejenak melepas lelah. Kami harus kembali terhantam rasa
kecewa, ternyata kabutnya belum mau meninggalkan kawasan ini. Hah.
Untuk mengusir rasa kecewa, di pinggir jalan disamping warung bambu
penjual mie ayam. Kuambil sebatang rokok, untuk kuhisap mengusir hawa yang
mulai membeku.
Belum sempat sebatang rokok hinggap di mulutku, tanggap dipegangnya
sambil menggeleng. Namun aku nekat saja. Maklum, cangkemku sudah mulat kecut
gara-gara sedari tadi belum menghisap sebatang rokokpun.
Kulihat gadis yang dulu langsing itu, melempar wajahnya ke arah
kiri. Mungkin sedikit marah, karena permintaannya tak kuturuti.
“Turun yuh, mungkin di bawah ada sebagian kebun teh yang tak berkabut,”
ajakku memecah keheningan.
Dia menoleh sambil menggangguk dan menyelipkan senyuman khasnya kembali.
“Ah, sepertinya dia gadis yang tak mudah marah,” gumamku dalam hati.
----------------------
Setelah beberapa menit menuruni jalan, akhirnya kami menemukan sepetak
kebuh teh yang tak terjamah kabut. Kami berhenti, turun dari motor lalu mencopot
helm dan meletakkannya disamping pohon teh yang lumayan rimbun.
Ceprat-cepret, gadis yang dulu
langsing itu foto berbagai macam gaya. Sedikit malu-malu. Namun banyak juga
fotonya yang tertangkap kameraku.
“Ah, dasar cewek,” gumamku.
Aku tengadahkan wajahku ke langit. Kulihat begitu pucat warnanya.
Pertanda kami harus segera pulang sebelum terhunjam oleh hujan deras.
“Pulang yuk. Kelihatannya mau hujan deras.”
“Iya.”
---------------------
Benar firasatku, belum sampai roda motor kami menginjak Karanganyar kota,
hujan yang begitu deras menghunjam kami. Sebelum makin kuyup, kami putuskan
untuk berteduh di sebuah warung soto. Untung saja, saat itu sedang tidak buka.
Jadi kami ndak usah alasan beli soto dulu untuk sekedar berteduh. Lagi kere
bro.
Hujan deras yang lumayan lama, mungkin itu penyebab gadis yang dulu
langsing itu ingin sejenak melihat hasil foto tadi. Untuk mengusir bosan.
Setelah kuberikan kamera kepadanya, gadis yang dulu langsing itu telah
asyik dan senyum-senyum sendiri melihat hasil fotonya.
“Rambutmu sudah panjang lho, potong gih,” komennya terhadap rambutku.
“Iya, nanti nunggu gajian,” sahutku sambil terkekeh.
Saking asyiknya melihat hasil
foto, kami sedikit terlambat sadar bahwa hujannya sudah mulai reda. Hanya
menyisakan gerimis kecil.
Tanpa buang waktu lama, karena hari mulai kian senja dan aku sudah
berjanji kepada ibunya untuk tidak memulangkannya terlalu malam. Kami segera
naik motor dan melanjutkan pulang.
Tiba di sebuah SPBU, kami sempatkan dulu untuk sholat ashar, sebelum mengisi tanki bensin yang
indikatornya sudah menunjuk huruf “E” (Entek,
eh Empity nding).
Sholat ashar pun kelar dan
tanki sudah terisi full bensin. Melihat
langit yang kian lama, kian kehilangan cahayanya. Kami nekat menerjang gerimis
yang sedikit deras saat perjalanan pulang.
Kami tak berbincang terlalu banyak seperti saat berangkat tadi. Karena
aku sudah terlalu sibuk dengan hawa dingin karena air gerimis yang
menusuk-nusuk disetiap jengkal tubuhku.
-----------------------------
Kumandang adzan maghrib telah
mulai menggema. Bersaut-sautan dengan indahnya. Saat itu pula, pas kami
menghentikan laju motor tepat didepan rumah gadis yang dulu langsing
itu. Dia turun lalu mencopot helmnya.
“Terima kasih ya, untuk hari ini,” ucapnya sembari melemparkan senyum
khasnya ke arahku.
“Iya, sama-sama. Sudah maghrib,
aku pulang dulu ya,” jawabku sembari membalas senyumnya, “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
--------------------------------
Lega benar rasanya, telah turut menorehkan senyum kepada orang lain.
Terkhusus kepada gadis yang dulu langsing itu. Seharusnya aku yang lebih
dulu mengucapkan terima kasih. Karena mengenalnya adalah suatu kebangkitan
dalam hidupku, walau sejak saat itu mengingatkan selalu membuatku sedih.
Kepada Tuhan yang Maha Baik, aku selalu mendendangkan doa. Agar ketika
kesedihan menderu dijadikan senandung nan merdu. Serta menumbuhkan rasa syukur
ketika kebahagiaan mendekap relung kalbu.
Adziz bin Gino
Sukoharjo, 26 Maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar