Jumat, 27 Maret 2015

OK DEAL, KE KEBUN TEH



Malam tanggal 29 Desember 2012, saat hujan dengan istiqomahnya membasahi bumi. Suara gemericik air yang begitu berisik mengusik ketenangan desa. Saat orang-orang memilih ndekem di rumah masing-masing. Tapi tidak untukku.
Aku tengah duduk santai menikmati bekunya udara dengan segelas kopi hitam dan memegang sebatang rokok di sela-sela jari.
Tiba-tiba dering ringtone nokia merangsak masuk ketelingaku. Kuangkat dengan santai handphone-ku tanpa melihat siapa yang menelpon.
“Halo, Assalamu’alaikum,” tanyaku sambil menghembuskan kuat-kuat asap tembakau untuk mengusir bekunya udara.
“Wa’alaikumsalam,” jawabnya begitu lembut, “Gimana besuk? Jadi ke kebun teh Kemuning?”
Aku kenal betul suara ini. Seorang gadis desa sebelah yang dulunya langsing. Dulu. Catat, itu dulu. Kalau sekarang mah montox.  Yang memiliki senyum khas yang tak dimiliki wanita lainnya.
“Kalau kamu ndak capek, ayo,” jawabku.
Sengaja aku menanyakan hal itu, karena perjalanan Jakarta – Sukoharjo itu bukan jarak yang selangkah dua langkah sampai. Butuh waktu sekitar 12-13 jam perjalanan kalau menaiki bus dan sekitar 8 jam perjalanan kalau dengan kereta api. Waktu segitu cukuplah untuk meneposkan bokong. Kalau mabur mah hanya butuh 1 jam. Sayang dia milih nitih kereta api.

“Nggak kok, nggak capek. Aku kan naik kereta.”
“Ya udah, besuk kalau sudah sampai di rumah sms ya. Jam berapa berangkatnya. Atau telpon lagi juga boleh. Hehe”
“Iya, nanti aku kabari lagi.”
“Sip dah. Eh ya, omong-omong kamu mau ngajak siapa?”
“Aku juga belum tahu. Entar kalau sudah sampai dirumah, coba nanti aku ajak temenku.”
“Ok, ya dah istirahat dulu aja. Siapin tenaga buat besuk.”
“Iya, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Setelah menutup telpon, entah kenapa jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Seperti mau menang lotre berhadiah 2 milyar! Masih ndak percaya saja.
Kenapa?
Ya, iyalah bro! Ketemu aja jarang. Kenal juga baru seimprit. Ketemu terakhir saat dia mau berangkat merantau menjamah bumi Indonesia yang lain dan untuk meraih cita-citanya kuliah di sono. Janjian ya cuma lewat chatting. Itupun sebenarnya cuma iseng. Mbok menowo mau, untuk menemani aku plesir.  Dengan rutinitas yang kadang menjemukan, tubuh dan jiwa ini butuh sesekali plesir. Sekedar merefresh kembali pikiran. Kawanku yang lain kok ya ndilalah pas semuanya ada acara sendiri-sendiri. Kan ndak asyik plesir sendirian bro? Temen ngobrol itu bagiku mutlak perlu. Apalagi cewek. Eh, malah langsung deal kebun teh Kemuning.
----------------
Esok harinya. Saat semua pekerjaan rumah sudah selesai. Maklum di rumah cuman sendirian, jadi apa-apa harus sendiri juga. Masak-masak sendiri. Makan-makan sendiri. Cuci baju sendiri. Tidur pun sendiri. *Play Caca Handika – Angka Satu*
Kurang lebih pukul 9 pagi, saat kopi panas nan kental telah rampung disajikan. Dan, asap tembakau telah membumbung tinggi. Handphone Nokia 1616 yang terlantar di atas meja, hasil dari nabung uang jajan ketika SMA dan memasang muka melas di depan orang tua berdering. Secepat kilat aku menyambarnya.
“Halo, Assalamu’alaikum,” tanyaku penuh gairah.
“Wa’alaikumsalam,” jawabnya dengan sedikit terkekeh.
“Ginama? Jadi?”
“Iya, jadi. Tapi temenku aku ajak pada nggak mau. Gimana?
“Ya udah, kamu ndak bawa temen. Aku berarti ya juga ndak usah bawa.”
Padahal ada kawanku yang merengek mau ikut setelah kepulangannya merantau juga. Tapi sebagai sahabat yang pangerten, karena kulihat dari raut wajahnya masih saja istiqomah dalam kejombloan. Padahal, saat itu adalah 4 bulan kejombloanku juga.
“Ya dah, berdua aja nggak papa to?” tanyanya dengan sedikit menurunkan nada suaranya. Sepertinya dia sedikit khawatir bila aku menolak. *abaikan*
“Iya, ndak papa. Mau dijemput jam berapa dan dimana?” jawabku dengan wajah yang super sumringah dan berteriak tanpa suara “Yes”.
“Jam 10 nanti ya, di timur rel buk bolong.”
“Siap. Insyaa Allah.”
“Ya dah, sampai ketemu nanti. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Segera kubuang handphone ke kasur. Handuk kusambar. Langsung melesat ke kamar mandi. Mandi dululah, biar kelihatan seger. Dari kemarin sore tubuhku belum sempat terjamah air. Bukan karena malas mandi atau mau hemat air. Bukan. Jangan salah persepsi dulu. Ndilalah, kemarin sore itu hingga senja tergeser malam, udara beku tak kunjung sirna. Menyebabkan aku kehilangan selera mandi. Ndak percaya? Tanya tu kucing!
--------------------------
Motor sudah dicuci dan dipanasin. Untuk sekaliber op warnet dandanan kala kadarnya aja dah. Tak perlu begini begitu yang penting nutup aurat dan nyaman. Juga wangi tentunya.
Kulirik jam dinding. Sudah pukul 9.45, lekas aku berlari keluar dan dengan tergesa-gesa aku mengunci pintu. Belum sempat daun mlinjo jatuh ketanah aku sudah sempurna menunggangi motorku. Nyalain. Gasss
Belum 15 menit tuntas, aku sudah nangkring di sebelah timur rel buk bolong sembari menyalakan sebatang rokok. Kuketik cepat sebuah sms, “Aku sudah di tkp, kamu dimana?”
Tanpa membalas sms ku, dia langsung menelpon.
“Halo. Assalamu’alaikum,” sambarku mencuri salam.
“Wa’alaikumsalam.”
“Aku sudah di tkp, kamu di mana?”
“Aku lagi ada di toko pertigaan arah menuju desa Tempel, kamu kesini aja.”
“Oke”
“Aku tunggu”
Kututup telpon. Rokok kumatikan. Langsung balik arah menuju tempat yang disebutkan olehnya.
---------------------
“Hey, disini,” teriaknya dari toko diseberang jalan sambil melambai tangan yang berbaluk sweater berwarna kayak permen blaster. Dan sebuah jilbab warna biru sempurna menutupi mahkotanya.
Dia berjalan kearahku yang belum sempat turun dari motor sambil nyangking helm INK warna ungu.
“Ayo kesana dulu, minta izin sama ibu,” katanya dengan nada yang lirih.
Kulepas helm dari kepalaku sembari merapikan rambut, lalu mengangguk, “Ayo.”
“Bu, kami pergi dulu ya,” kataku sesopan mungkin kepada ibunya yang kukira umurnya sepadan dengan ibuku. Lalu kuraih tangan ibunya dan kucium.
Ibunya tersenyum manis, tak kalah manis dengan anaknya, “Iya, hati-hati. Pulangya jangan terlalu malam.”
“Iya bu, siap,” jawabku sambil membalas senyumnya yang sedari tadi belum sirna dari wajahnya.
Lalu gadis yang dulu langsing itu mencium tangan dan kedua pipi ibunya dengan penuh kasih sayang. Dengan restu ibunya kami bernagkat ke pelaminan Kebuh Teh Kemuning.
-------------------------
Kami isi perjalanan dengan perbicangan kesana kemari. Tentang hal ini hal itu. Serasa sudah kenal lama, perbicangan kami asyik dan kadang saling melempar cubitan. Untuk mengusir bosan dan untuk tidak mengagagas bahwa bokong kami telah lelah duduk melulu.
Setelah kurang lebih 2 jam, akhirnya kami telah menginjakkan kaki di sekitaran kebun teh kemuning, yang sebelumnya kami berhenti sejenak di sebuah masjid sekitar untuk sholat dzuhur.
Sedikit kami terkecewakan saat sudah menjamah jalan-jalan di kebun teh. Kabut bro! Keindahan hijau kebuh teh saat itu terselimuti hampir seluruhnya. Jarak pandang hanya sekitaran 10-20 meter. Yungalah.
Kuhentikan motor sejenak di pinggir jalan. Kubuka kaca helm yang telah sedikit berembun karena kabut, “Gimana? Tertutup kabut semua,” tanyaku.
“Terserahlah, mau kemana. Toh kita dah terlanjur sampai,” jawabnya pasrah. Yang sebetulnya aku paling benci cewek berkata “terserah”. Itu adalah kata yang bikin serba salah para cowok. Namun, memandang wajahnya, kata itu tak lagi ku benci. Saat itu. Cukup saat itu saja.
“Emm, gimana kalau kita ke Candi Cetho? Udah pernah kesana?” tanyaku menawarkan tempat wisata lain yang masih berdekatan dengan kebun teh Kemuning.
“Ayo, aku belum pernah kesana,” sahutnya penuh semangat.
“Ok, pegangan. Jalannya akan lebih mendaki kali ini.”
Dia menjawab dengan senyuman khasnya. Terlihat dari setitik tahi lalat di pipi kanannya telah naik. Menandakan sangat setuju.
Kubenahi kaca helmku. Starter motor. Tancap gaassss
--------------------------
Kurang lebih 30 menit, sampailah kami di parkiran Candi Cetho. Setelah menerima karcis parkir, langsung saja berjalan sesandingan menuju loket untuk membeli 2 buah tiket masuk.
Karena kami ke Candi Cetho pada saat musim penghujan, kami tak bisa berlama-lama untuk menjamah seluruh bagian candi. Sekedar menuju pusat candi, foto-foto sedapatnya. Sebisa mungkin mengabadikan moment-moment yang bisa dinikamti saat itu. Karena saat itu, aku berpikiran, “Ah, aku cuman semacam tour guide, kalo client-ku senang. Cukuplah itu sebagai upahku.”
Saat gerimis hinggap ke bumi, dan sedikit demi sedikit mulai membahasi setiap jengkal kawasan Candi Cetho. Kami putuskan untuk turun. Dengan tempo langkah yang kami percepat, jalan sempit dan beberapa anak tangga kawasan candi sempurna kami lewati menuju pintu keluar. 
 Berharap di bawah, di kawasan kebun teh belum diterpa hujan. Dan kabutnya sudah sirna. Agar dapat kami mengabadikan hijau daun teh yang tengah semi.
Ah, apa daya manusia. Manusia hanya bisa berharap namun Tuhan pulalah yang menentukan hasilnya. Sesampainya di daerah yang paling pas di sekitaran kebuh teh untuk sejenak melepas lelah. Kami harus kembali terhantam rasa kecewa, ternyata kabutnya belum mau meninggalkan kawasan ini. Hah.
Untuk mengusir rasa kecewa, di pinggir jalan disamping warung bambu penjual mie ayam. Kuambil sebatang rokok, untuk kuhisap mengusir hawa yang mulai membeku.
Belum sempat sebatang rokok hinggap di mulutku, tanggap dipegangnya sambil menggeleng. Namun aku nekat saja. Maklum, cangkemku sudah mulat kecut gara-gara sedari tadi belum menghisap sebatang rokokpun.
Kulihat gadis yang dulu langsing itu, melempar wajahnya ke arah kiri. Mungkin sedikit marah, karena permintaannya tak kuturuti.
“Turun yuh, mungkin di bawah ada sebagian kebun teh yang tak berkabut,” ajakku memecah keheningan.
Dia menoleh sambil menggangguk dan menyelipkan senyuman khasnya kembali.
“Ah, sepertinya dia gadis yang tak mudah marah,” gumamku dalam hati.
----------------------
Setelah beberapa menit menuruni jalan, akhirnya kami menemukan sepetak kebuh teh yang tak terjamah kabut. Kami berhenti, turun dari motor lalu mencopot helm dan meletakkannya disamping pohon teh yang lumayan rimbun.
 Ceprat-cepret, gadis yang dulu langsing itu foto berbagai macam gaya. Sedikit malu-malu. Namun banyak juga fotonya yang tertangkap kameraku.
“Ah, dasar cewek,” gumamku.
Aku tengadahkan wajahku ke langit. Kulihat begitu pucat warnanya. Pertanda kami harus segera pulang sebelum terhunjam oleh hujan deras.
“Pulang yuk. Kelihatannya mau hujan deras.”
“Iya.”
---------------------
Benar firasatku, belum sampai roda motor kami menginjak Karanganyar kota, hujan yang begitu deras menghunjam kami. Sebelum makin kuyup, kami putuskan untuk berteduh di sebuah warung soto. Untung saja, saat itu sedang tidak buka. Jadi kami ndak usah alasan beli soto dulu untuk sekedar berteduh. Lagi kere bro.
Hujan deras yang lumayan lama, mungkin itu penyebab gadis yang dulu langsing itu ingin sejenak melihat hasil foto tadi. Untuk mengusir bosan. Setelah kuberikan kamera kepadanya, gadis yang dulu langsing itu telah asyik dan senyum-senyum sendiri melihat hasil fotonya.
“Rambutmu sudah panjang lho, potong gih,” komennya terhadap rambutku.
“Iya, nanti nunggu gajian,” sahutku sambil terkekeh.
Saking asyiknya melihat hasil foto, kami sedikit terlambat sadar bahwa hujannya sudah mulai reda. Hanya menyisakan gerimis kecil.
Tanpa buang waktu lama, karena hari mulai kian senja dan aku sudah berjanji kepada ibunya untuk tidak memulangkannya terlalu malam. Kami segera naik motor dan melanjutkan pulang.
Tiba di sebuah SPBU, kami sempatkan dulu untuk sholat ashar, sebelum mengisi tanki bensin yang indikatornya sudah menunjuk huruf “E” (Entek, eh Empity nding).
Sholat ashar pun kelar dan tanki sudah terisi full bensin. Melihat langit yang kian lama, kian kehilangan cahayanya. Kami nekat menerjang gerimis yang sedikit deras saat perjalanan pulang.
Kami tak berbincang terlalu banyak seperti saat berangkat tadi. Karena aku sudah terlalu sibuk dengan hawa dingin karena air gerimis yang menusuk-nusuk disetiap jengkal tubuhku.
-----------------------------
Kumandang adzan maghrib telah mulai menggema. Bersaut-sautan dengan indahnya. Saat itu pula, pas kami menghentikan laju motor tepat didepan rumah gadis yang dulu langsing itu. Dia turun lalu mencopot helmnya.
“Terima kasih ya, untuk hari ini,” ucapnya sembari melemparkan senyum khasnya ke arahku.
“Iya, sama-sama. Sudah maghrib, aku pulang dulu ya,” jawabku sembari membalas senyumnya, “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
--------------------------------
Lega benar rasanya, telah turut menorehkan senyum kepada orang lain. Terkhusus kepada gadis yang dulu langsing itu. Seharusnya aku yang lebih dulu mengucapkan terima kasih. Karena mengenalnya adalah suatu kebangkitan dalam hidupku, walau sejak saat itu mengingatkan selalu membuatku sedih.
Kepada Tuhan yang Maha Baik, aku selalu mendendangkan doa. Agar ketika kesedihan menderu dijadikan senandung nan merdu. Serta menumbuhkan rasa syukur ketika kebahagiaan mendekap relung kalbu.

Adziz bin Gino
Sukoharjo, 26 Maret 2015
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar