Selasa, 17 Maret 2015

Keindahan, Kebahagiaan dan Syukur



Dunia memang diselimuti berjuta keindahan oleh Tuhan. Gunanya untuk manusia memikirkan untuk apakah keindahan itu diciptakan.  Untuk lebih mengenal Tuhankah? Atau hanya untuk diambil manfaatnya saja, lalu dengan arogannya melupakan Tuhan? Nah itu tinggal apa yang ada dalam niat individukan?
Tapi pikirkan begini. Bila sudah ada yang lebih indah berjuta kali dari keindahan itu disandingnya, dan berdua menyatu menjadi keindahan itu sendiri, apakah ada waktu yang mengalihkan perhatiannya? Kita sudah menjadi keindahan itu lho. Lirikkan itu hanya sebatas lirikkan sejenak, dan seketika kembali kepada keindahan atas dirinya sendiri. Telah nyaman dengan keadaan begini. Memuji kebesaran Tuhan yang telah menciptakan suasana hati yang dapat merasakan beginilah keindahan sendiri. Kita melihat berbagai keindahan, namun cipatakanlah keindahan itu sendiri, bukan terpaku keindahan orang lain.

Mutia Prawitasari dalam bukunya Teman Imaji mengatakan, “Jangan memilih seseorang karena ada pembandingnya. Pilihlah seseorang karena kamu memang memilihnya”. Dilihat bahwa Mutia Prawitasari telah berhasil menciptakan keindahannya sendiri. Komitmen yang begitu tinggi. Aku yakin telah banyak keindahan yang dilihat dan direnungkan olehnya. Hingga memunculkan kata-kata itu. Dengan dilandaskannya keindahan itu menurut ilmu dan pemahaman yang dia tahu dan pahami betul. Jadi ndak asal-asal asmuni. Bukankah setiap perkataan ataupun tulisan kelak akan dimintai pertanggung jawaban pula?
Dari keindahan buatan sendiri itulah yang akan menelurkan kehabagiaan buatan sendiri. Sesuai keadaan serta kemampuan. Bisa dibilang nrimo ing pandum. Bahasa kerennya, syukur nikmat. Karena telah bisa melihat kebahagiaan walaupun kecil dari beragam sisi. Sudah mampu membelah sendiri duriannya. Jadi ndak nguplek-nguplek ribut sama kulitnya duriannya dan gerundel karena melihat tetangga sudah duduk manis sambil merem melek nikmatin daging duriannya.
Bukankah sangat bajindul, bila setiap detik Tuhan yang Maha Baik itu tak henti-henti mencurahkan rahmatNya kepada setiap makhlukNya, namun kita malah sibuk memandangnya bahwa yang dikirim itu adalah sebuah ketidakenakan. Itu seperti kita sedang berada di pesta besar, dihadapan kita telah tersaji beragam makan yang super joss enaknya. Sate, rendang, bakso, fired chiken, burger, dll. Namun kita malah sibuk mikirin seonggok tai yang berada di toilet, padahal jarak tempat ke toilet itu 100 meter lebih! Itukan asu sekali.
Kalau sudah begitu, ya, jangan protes bila Tuhan sudah nyiapin neraka lengkap beserta siksa kepada orang yang tak suka nrimo ing pandum.
Daripada grundel atau malah melemparkan protes kepada Tuhan tentang apa-apa yang telah terjadi di hidup kita ini. Bukankah lebih baik membenamkan dalam-dalam dulu di alam pikir kita.
“Sebetulnya apa sih maunya Tuhan? Ah, pastilah ini akan ada baiknya, Tuhan kan Maha Baik”. Dan, mari nikmati kopi lagi selagi hangat.

Adziz bin Gino
Sukoharjo, 17 Maret 2015

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar