Dunia memang diselimuti berjuta keindahan oleh Tuhan. Gunanya untuk manusia
memikirkan untuk apakah keindahan itu diciptakan. Untuk lebih mengenal Tuhankah? Atau hanya
untuk diambil manfaatnya saja, lalu dengan arogannya melupakan Tuhan? Nah itu
tinggal apa yang ada dalam niat individukan?
Tapi pikirkan begini. Bila sudah ada yang lebih indah berjuta kali dari
keindahan itu disandingnya, dan berdua menyatu menjadi keindahan itu sendiri,
apakah ada waktu yang mengalihkan perhatiannya? Kita sudah menjadi keindahan itu
lho. Lirikkan itu hanya sebatas lirikkan
sejenak, dan seketika kembali kepada keindahan atas dirinya sendiri. Telah nyaman
dengan keadaan begini. Memuji kebesaran Tuhan yang telah menciptakan suasana
hati yang dapat merasakan beginilah keindahan sendiri. Kita melihat berbagai
keindahan, namun cipatakanlah keindahan itu sendiri, bukan terpaku keindahan
orang lain.
Mutia Prawitasari dalam bukunya Teman Imaji mengatakan, “Jangan
memilih seseorang karena ada pembandingnya. Pilihlah seseorang karena kamu
memang memilihnya”. Dilihat bahwa Mutia Prawitasari telah berhasil menciptakan
keindahannya sendiri. Komitmen yang begitu tinggi. Aku yakin telah banyak
keindahan yang dilihat dan direnungkan olehnya. Hingga memunculkan kata-kata
itu. Dengan dilandaskannya keindahan itu menurut ilmu dan pemahaman yang dia
tahu dan pahami betul. Jadi ndak
asal-asal asmuni. Bukankah setiap
perkataan ataupun tulisan kelak akan dimintai pertanggung jawaban pula?
Dari keindahan buatan sendiri itulah yang akan menelurkan kehabagiaan buatan
sendiri. Sesuai keadaan serta kemampuan. Bisa dibilang nrimo ing pandum. Bahasa kerennya, syukur nikmat. Karena telah bisa melihat kebahagiaan walaupun kecil
dari beragam sisi. Sudah mampu membelah sendiri duriannya. Jadi ndak nguplek-nguplek ribut sama kulitnya
duriannya dan gerundel karena melihat
tetangga sudah duduk manis sambil merem
melek nikmatin daging duriannya.
Bukankah sangat bajindul, bila
setiap detik Tuhan yang Maha Baik itu tak henti-henti mencurahkan rahmatNya kepada
setiap makhlukNya, namun kita malah sibuk memandangnya bahwa yang dikirim itu
adalah sebuah ketidakenakan. Itu seperti kita sedang berada di pesta besar,
dihadapan kita telah tersaji beragam makan yang super joss enaknya. Sate, rendang, bakso, fired chiken, burger, dll. Namun kita malah sibuk mikirin seonggok
tai yang berada di toilet, padahal jarak tempat ke toilet itu 100 meter lebih! Itukan
asu sekali.
Kalau sudah begitu, ya, jangan protes bila Tuhan sudah nyiapin neraka
lengkap beserta siksa kepada orang yang tak suka nrimo ing pandum.
Daripada grundel atau malah melemparkan protes kepada Tuhan tentang apa-apa
yang telah terjadi di hidup kita ini. Bukankah lebih baik membenamkan
dalam-dalam dulu di alam pikir kita.
“Sebetulnya apa sih maunya Tuhan? Ah, pastilah ini akan ada baiknya,
Tuhan kan Maha Baik”. Dan, mari nikmati kopi lagi selagi hangat.
Adziz bin Gino
Sukoharjo, 17 Maret
2015
0 komentar:
Posting Komentar