“Takdir memang
tidak pasti, karena Tuhan berhak mengotak-atiknya. Namun kita diberi akal dan
kekuatan untuk terus berusaha. Sebelum Tuhan memerintahkan untuk pulang, tiada
waktu untuk berpangku tangan.”
@IbnGino
Di dunia ini
memang tempatnya ketidakpastian. Ada kalanya memang semua yang kita harapkan
tiba-tiba berubah saat waktu berjalan. Menyebalkan memang, kala sesuatu yang
kita rencanakan tiba-tiba dijegal ditengah jalan. Mandeg, tanpa ada penjelasan secara konkrit. Seperti ngisep tebu, habis manis sepah dibuang.
Begitu pula
hubungan pra nikah. Pacaran atau Ta’aruf. Terserah kalianlah mau menyebutnya
apa.
Memang, cinta yang tak direncakan itu baik. Saya pun tidak ingkar
mengenai hal itu. Namun ketika sudah menyemi benihnya, berarti harus ada yang
diperjuangkan. Waktu, tenaga dan harta harus rela kita keluarkan untuk hidup
dengan orang yang kita cintai.
Tapi ingat, ini baru tahap awal. Paling awal. Karena life after marriage itu lebih menguras ketiga hal tadi. Namun
kebanyakan orang terlena pada tahap awal ini. Kesusu grusa grusu. Pada akhirnya, pada akhir zaman ini banyak
terjadi kasus perceraian. Nikah belum ada 3 tahun. -Ya Allah, lindungi semua rumah tangga hambaMu dari perbuatan yang kau
benci ini.- Padahal menurut survey, -ini saya dapat dari tausiyahnya Buya
Yahya- dikatakan berhasil atau tidaknya sebuah pernikahan, paling tidak
membutuhkan waktu 5 tahun menjalaninya. Dalam waktu itu usahakan segala
masalah, apapun itu, yang terjadi dalam pernikahan anda jangan diceritakan kepada
orang lain apalagi sosmed. Ataupun kepada orang tua atau mertua sekalipun.
Jangan!
Bukan apa-apa, namun kita pun harus sadar diri. Di awal pernikahan
pikiran kita masih begitu labil. Yang biasanya, saat masih waktu bujang bisa
kesana-kemari, kini harus memperbanyak di rumah. Bisa beli ini beli itu sesuka
hati kini harus dan wajib membagi jatah jajan dan dolan dengan keluarga. Dan seabrek urusan rumah tangga yang
lainnya. Itu saja dulu. Tidak saya lanjutkan, karena pun saya masih membujang. Tentu
saya buta masalah ini. Saya sedang giat-giatnya berjihad nggayuh ridho orang tua dan kerjar mahar. Heuheu.
Itu nanti. Namun
yang nanti itu ditentukan dari sekarang.
Kang Raditya
Dika dalam novelnya Cinta Dalam Kardus, menuliskan perumpaan tentang hal yang
saya tulis di awal tulisan ini, “Kata orang hanya Tuhan dan supirnya yang
tahu kapan bajaj akan belok, masih seperti itulah apa yang gue rasakan soal
pacaran, hanya Tuhan dan pasangan kita yang tahu kapan hubungan kita akan
berubah arah. Tapi yang kita bisa lakukan bukannya menunggu dengan ketakutan,
yang bisa kita lakukan adalah memegang tangan pasangan kita, tumbuh bersama
guncangan didalamnya dan turun berdua ketika sama-sama sampai ditujuan.”
Pakdhe Mario Teguh juga pernah mengatakan hal yang senada dengan hal itu.
Kurang lebih begini kata beliau, “Jodoh
itu di tangan kita. Kita yang memilih, Tuhan yang merestui.”
Memang benar,
jodoh, rejeki dan kematian itu di tangan Tuhan, namun jangan lupa kita juga
diberi gelar khalifah fi ardhi¸ yang
artinya kita juga diberi kita diberikan hak dan kewenangan memilih.
Antara pasrah dan menyerah tentu adalah hal yang sangat berbeda. Secara
kontekstual saja sudah berbeda. Apalagi perilakunya, pun akan sangat jelas
berbeda. Seperti kata Kang Raditya Dika di atas “yang kita bisa
lakukan bukannya menunggu dengan ketakutan”. Gunakan segala hal yang kita pelajari dan ketahui
untuk berusaha mengejar dan mendapatkan apa yang kita benar-benar inginkan. Iya,
segala keputusan dan hasil itu di tangan Tuhan, namun tidakkah kita belajar
dari kehidupan? Lihatlah, Tuhan mengabulkan apa yang benar-benar diusahakan
oleh hamba-hambaNya.
Untuk hal yang
benar-benar kita cintai, mustahil ada kata bosan dan menyerahkan?
Daplangu, 20 Januari 2016
0 komentar:
Posting Komentar