Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) |
Sering kali
banyak yang bertanya,"Bagaimana membedakan antara syair sufi dan
bukan?"
Apakah syair
berikut ini berasal dari seorang sufi?
Api adalah cinta yang jaruh dalam seruling,
baranya adalah cinta yang jatuh dalam
minuman.
Letak
perbedaan pada penakwilannya adalah, pertama, kerumitan membedakan antara syair
sufi dan bukan, karena syair sufi juga menggunakan bahasa keseharian. Bahasa
orang awam.
Persamaan
secara lahiriyah dalam pemilihan
diksi akan menyulitkan pembaca membedakan mana syair sufi dan yang bukan syair
sufi.
Namun, cara
paling ampuh membedakannya adalah dengan melihat darimana syair itu berasal.
Jika tidak ada kunci dalam memahami niat seorang penyair, maka kita akan bisa
memahami apalagi menakwil sebuah syair.
Misalnya, jika
seorang sufi berbicara menganai cinta, tentu yang dimaksud bukan lagi cinta
dalam pandangan awam, akan tetapi terkait dengan cinta illahi meskipun fenomena dan rasa cinta tidak ada perbedaannya.
Dalam salah
satu syairnya Maulana Jalaludin Rumi menuliskan,
Cinta memiliki 500 sayap
dan setiap kepakan dari puncak 'Arsy
hingga singgasana yang paling bawah,
Zahid karena takut hingga kakinya bergerak
Namun para pecinta kepakannya melebihi
percikan udara
Dalam syair yang lain,
Cinta adalah lidah api,
saat menyala akan membakar segalanya
kecuali kekasih.
Mengapa para
sufi, khususnya Maulana Jalaludin Rumi lebih memilih bahasa awam?
Begini, tujuan
utama sastra sufi ialah berusaha mentransfer kondisi dan perasaan sufistik yang
dialami oleh seorang sufi kepada pembaca agar pembaca dapat meraskan apa yang
dirasakan oleh seorang sufi, meskipun melalui pengalaman yang berbeda.
Kondisi atau
rasa, tak terpisah dari makrifat.
Perbedaannya, dalam penyaksian yang disertai dengan kondisi atau rasa yang
dialami oleh seorang sufi pasti dibarengi dengan makrifat atau pengetahuan.
Seorang arif dalam setiap penyaksiannya menyingkap hakikat ilahiyah akan mebuahkan pengetahuan dan pasti dibarengi dengan
suatu kondisi/ rasa tertentu. Syuhud - Makrifat - Rasa - Bahasa.
Salah seorang bertanya cinta itu apa?
Ku katakan, "perkara-perkara semacam
ini jangan kau tanya maknanya".
Saat kau menjadi diriku, kau akan
menyaksikannya,
sebab saat dirimu membacanya, kau akan
mengetahuinya
Rumi, Ghazal,
2773
Rasa dan
kondisi adalah titik pertemuan antara sufistik (irfan) dan sastra. Ada tiga
tahapan dalam sastra sufistik, yaitu:
1. Tahap
pemikiran atau pengetahuan
Pada tahap ini
seorang sufi atau penyair berhadapan dengan suatu fenomena atau hakikat dan
realitas serta mempersepsi fenomena atau realitas tersebut. Bersamaan dengan
ini suatu kondisi atau rasa akan menyertai dirinya.
2. Tahap
imajinasi
Tahap
imajinasi adalah tahap dimana seorang sufi atau penyair berusaha menyajikan
atau mempresentasikan rasa dan persepsi yang diperoleh sebelumnya. Usaha ini
akan berdampak pada perubahan makna dan merelasikannya dengan perangkat bahasa.
Perubahan ini terjadi karena adanya proses perpindahan alam dari alam makna
menuju alam bahasa. Sebab itu terkadang penulis tak lagi memperhatikan aturan
bahasa demi menjaga makna yang dimaksud.
3. Tahap
bahasa
Tahap bahasa
adalah tahap akhir dari proses sebelumya yaitu tahap menghadirkan proses
sebelumnya dalam bentuk kalimat dan struktur bahasa. Penggunaan kalimat yang
digunakan sangat bergantung kepada konsep-konsep yang dimiliki sebelumnya,
semakin kaya pengetahuan yang dimiliki, semakin luas pula bentuk kalimat yang dapat
digunakan.
Maulana Jalaludin
Rumi menuliskan,
Jika kau ingin menyusun sajak dan berpuisi,
pergi!
Enyahkan kata-katamu.
Jangan berjalan di atas bait dan tulisan.
Cintamu telah menjelmakan bait-bait dan
ghazal
bagi tiap helai rambutku!
Ekstasimu telah menjadikanku sebuah tong
madu!
Lihatlah darah dalam bait-baitku, bukan
puisi!
Karena mata dan hatiku sedang menuangkan
darah cintanya.
Ketika darah bercampur, kuserahkan warna
puisi
sehingga pakaianku tak berwarna darah dan
bukanlah darah-berwarna.
Daya tarik Tuhan mewujudkan kata-kataku.
karena Dia lebih dekat denganku daripada
diriku sendiri
Dia telah membawaku dari nonwujud dan
menjadikanku mampu bicara setiap waktu,
Dalam kemurahannya, kata-kataku menjelma
mutiara
0 komentar:
Posting Komentar