“Obat tetes M-Pro ada mbak?” tanya kepada mbaknya
penjaga toko yang sedang menyapu halaman tokonya.
“Ada mas,”
jawabnya lembut dibarengi dengan senyuman manis sempurna hampir setengah
lingkaran.
Gamis merah
jambu begitu serasi dengan balutan kerudung merah jambu pula. Bau wangi
parfumnya semerbak tercium oleh hidungku dari jarak 1 meter darinya.
“Ya Allah,”
gumamku dalam hati. Bau parfum mbak penjaga toko ini sangat familiar untuk
hidungku.
Bagaimana
tidak, dulu tanganku diblonyohi parfum
ini. “Ini parfum yang sering digunakan habibana,” katanya. Eh neng, kenapa ndak
di baju batikku saja kalo segini banyak? Yaelah.
Ok, kali ini saya baper. Maklum, efek rindu. Semoga dia baik-baik saja di sana.
Dia lalu
berjalan ke arah etalase obat-obatan
herbal yang berjejer rapi menanti untuk dibeli. Aku berjalan mendekat ke etalase.
Sambil
menyodorkan 1 pak obat tetes M-Pro, “Ini mas obatnya”.
“Oh, ya.
Berapa harganya mbak?”
“Rp. 200.000,
mas”
“Oh, Rp.
200.000,- ya mbak, sebentar mbak, saya tanya ke teman saya dulu,” kataku
mencari alasan untuk mengecek isi dompet.
Asu! Aku kaget
bukan main. Untuk ukuran 15ml obat ini bagiku terlalu mahal. Ngenesnya lagi uang di dompet tinggal Rp. 250.000,-. Hah, gagal ganti roda depan lagi. Hah, yang itu juga ngalamat gagal brangkat. Tapi apa boleh
buat, ini sudah mandat dari tiyang sepuh.
Berapapun harganya harus dibeli.
“Ini mbak Rp.
200.000,- kan?” kataku sembari menyerahkan uang dengan senyum terpaksa.
“Terima kasih,
mas,” balasnya si mbaknya penjaga toko yang hari ini menjadi asbab aku baper dan menyebabkan dompetku
tersisa 1 lembar I Gusti Ngurai Rai.
==oo==
Setelah pulang
dan menyerahkan obat tadi kepada simbok, aku duduk di sofa yang telah
menjadi saksi bisu ruang tamu. Merenung.
Baper. Ya
baper, alias “bawa perasaan”.
Perlu
diketahui bahwa seremeh atau sengawur apapun kesan yang muncul dari istilah
anak gaul, sebenarnya kalau mau dipikir-pikir dengan serius tapi santai akan
tampak ada petunjuk ilahiah di dalamnya, sebab aku percaya bahwa meski
dunia adalah tempat bermain-main, namun segala sesuatu muncul tidak sia-sia,
termasuk istilah baper ini.
Ringkasnya,
baper adalah gejala ketika seseorang terlalu terbawa oleh, atau tenggelam
dalam, perasaan sehingga kehilangan sebagian dari daya nalarnya atau daya
kritisnya. Dalam bahasa umum, ini adalah gejala yang dalam falsafah jawa
disebut rumangsa bisa nanging ora bisa rumangsa, “terlalu merasa
bisa, merasa punya, merasa paling ini dan itu tapi tidak bisa mengukur diri,
tidak tahu diri.”
Dalam skala
yang lebih serius, khususnya dalam konteks catut-mencatut ini, baper berpotensi
melahirkan daya rusak yang tinggi pada kualitas mental dan spiritual manusia.
Berdasarkan pengamatan selama beberapa pekan terakhir, paling tidak ada tiga
kategori baper yang menimbulkan tindakan mencatut dan berpotensi
destruktif bagi kemaslahatan hidup.
Pertama, baper saat menyampaikan
apa yang dirasakan dan dianggapnya sebagai sesuatu yang benar.
Karena merasa
benar dalam menyampaikan kebenaran, maka ia lupa bahwa kebenaran itu ada
banyak segi ketika berada dalam ranah pemahaman manusia. Dan walaupun misalnya
yang disampaikan adalah kebenaran, tetapi jika disampaikan dengan cara yang
tidak benar, itu pun bisa menjadi masalah. Tetapi, orang yang bapernya terlalu
merasa sudah paling benar seringkali mengabaikan fakta bahwa cara
penyampaiannya tak benar dan bisa sangat menyakiti banyak orang.
Celakanya, karena sudah merasa benar dan sah, maka ia lantas mengatasnamakan
diri sebagai otoritas kebenaran–bahasa lainnya, ia mencatut anggapannya sendiri
tentang kebenaran sebagai kebenaran mutlak.
Orang seperti
ini, walau kemudian terbukti bersalah, atau menyakiti orang, akan sulit minta
maaf. Ia akan punya banyak alasan untuk berkelit, kalau perlu menyertakan dalil
atau ayat ilahiah yang berjubel-jubel.
Ada sebagian
orang yang banyak ibadah, dan bahkan saking taatnya beribadah ia merasa harus
“mengibadahkan” semua hal: dari pakaian, bahasa, sampai ritual, berdasarkan
penafsirannya sendiri tentang hal-hal yang diridhoi Tuhan, hingga ke titik ia
baper yang ilahiah: merasa tahu persis apa yang dikehendaki Tuhan.
Ia lalu
mendefinisikan Tuhan, dan kehendak-Nya, adalah begini dan begitu. Jika baper
ini tak terkendali, ia akan berani mencatut nama Tuhan demi menguatkan
penafsirannya. Ia merasa tahu bahwa karena Tuhan memiliki sifat begini maka
akan begini, dan biasanya apa-apa yang dianggap baik akan dinisbahkan untuk
mendukung penafsiran dirinya dan lupa bahwa Tuhan tidak tergantung pada
anggapan manusia.
Untuk jelasnya
ada kisah satire bagus dari kaum sufi tentang bagaimana baper dalam memahami
ketuhanan ini bekerja menipu seseorang hingga ia merasa seolah-olah Tuhan
selalu mendukung dirinya:
Seorang sarjana
agama mengadakan perjalanan bersama seorang fakir naik perahu menyeberang
lautan. Lalu tiba-tiba datang badai besar, menyebabkan perahu yang tidak begitu
besar itu pontang-panting diayun ombak besar. Sarjana agama itu tampak tenang,
khusyuk berdoa, sedangkan sang fakir menggigil ketakutan di buritan.
Melihat
kawannya ketakutan, sang sarjana agama berkata kepadanya, “Jangan takut, Sobat,
Allah Maha Besar, lebih besar dari ujian ini.”
Sang fakir
menjawab dengan gemetar, “Iya, Allah Maha Besar, tapi perahu ini kecil …”
Sarjana itu
kemudian berusaha menenangkannya lagi, bicara tentang pentingnya iman kepada
kekuasaan dan kebaikan Tuhan. “Jangan berlebihan takutmu. Apakah engkau tidak
pernah membaca bahwa Allah adalah Maha Dermawan? Allahu Kariim.”
Sang fakir menjawab,
masih dengan menggigil, “Itulah persisnya yang aku takutkan. Allah Maha
Dermawan, dan bisa saja karena begitu dermawannya pada semua makhluk, Dia
memberi makan ikan hiu dengan mayat kita…”
Jadi dalam
baper kedua ini, orang akan merasa paling didukung Tuhan, sehingga ia bersikap
seolah-olah membatasi Rahmat dan Kedermawanan-Nya hanya berlaku untuk dirinya
sendiri. Dengan kata lain, ia merasa lebih mulia daripada makhluk lain karena
merasa lebih dekat. Pada gilirannya, dia merasa keinginannya akan selalu
dikabulkan Tuhan, atau keinginannya sudah sama dan sebangun dengan keinginan
Tuhan– tanpa sadar ia telah mencatut nama Tuhan untuk egonya.
Ketiga, baper asmara. Ini
berpotensi merusak kemampuan untuk mendapatkan pasangan.
Ada dua
gejalan dalam baper jenis ini. Pertama-tama, karena baper, kadang ketika ada
orang lain memberi perhatian lantas ditafsirkan orang itu mulai menyukai
dirinya, dan baper jenis ini biasanya menjangkiti sebagian besar laki-kaki. Padahal
boleh jadi memang orang itu suka perhatian kepada semua orang, bukan hanya pada
si aktivis baper itu. Jika kemudian aktivis baper tahu perhatiannya tak hanya
kepada dirinya saja, boleh jadi ia sangat kecewa, lalu ngenes karepe dewe.
Kedua, baper
yang menyebabkan dirinya menjadi jomblo yang sejak dalam pikiran
merasa kejombloannya akan tambah lama. Biasanya ini terjadi ketika orang mulai
suka pada seseorang tetapi terlalu merasa dirinya tidak pantas, sehingga yakin
cintanya bertepuk sebelah tangan. Jika bapernya tambah akut, ia akan merasa
sudah ditolak bahkan sebelum menyatakan cintanya. Istilah mistisnya adalah “jomblo sakdurunge winarah.” Jika gejala
ini ndak sembuh-sembuh, insya Allah ia akan awet dalam kesendirian.
Demikianlah,
tanpa sadar ia mencatut prasangkanya sendiri yang menyebabkan status lajangnya
susah berubah.
Jadi, baper
berpotensi destruktif dalam tiga aspek fundamental dalam kehidupan manusia.
Baper yang tak terkendali bisa merusak relasi sesama manusia (hablum
minannas), merusak relasi dengan Tuhan (hablum minallah) dan
merusak relasi asmara. Waspadalah!
0 komentar:
Posting Komentar