Jumat, 13 November 2015

Mata Hati Cinta Al Rashafāt

Al Rashafāt: Percikan Cinta para Kekasih


Penulis Review: Arman Dhani Bustomi (www.kandhani.net) 
Tahun 2013 adalah tahun yang melelahkan dalam merumuskan dan mencari sosok buku ideal. Betapa tidak? Di antara gempuran berbagai buku sampah macam motibasi, religi dangkal dan sastra presidensial picisan. Buku-buku bermutu susah untuk ditemukan. Toko buku hari ini susah dibedakan dengan toko kelontong yang menjual kebutuhan ATK. Rak best seller dengan sangat menyedihkan memampang aurat tanpa malu-malu buku pseudo sains Garut Kota Iluminati setelah berhari-hari sebelumnya memuja buku komikal Borobudur dibangun oleh Nabi Sulaiman. Saya sudah hampir putus asa dan menyerah untuk percaya buku-buku baik akan ditemukan tahun ini apabila, tentu saja, pada satu hari minggu saya menemukan buku Al Rashafāt: Percikan Cinta para Kekasih.

Disini saya mau tak mau harus percaya, ternyata kemanusiaan masih bisa diselamatkan.
Al Rashafāt: Percikan Cinta para Kekasih ditulis oleh Ismail Fajrie Alatas salah seorang pemikir yang tengah menempuh studi sejarah dan antropologi di University of Michigan, Ann Arbor, AS. Di tengah kecamuk kejumudan dan kesempitan pemikiran islam hari ini, ia boleh jadi satu di antara sedikit nama yang membuat islam menjadi segar dan lapang. Tentu ini hiperbolis dan romantik. Toh, dengan peradaban yang kiat gegas dan dinamis, apa yang dilakukan Fajrie bukan hal baru. Tapi menawarkan kerumitan dan keagungan narasi cinta dalam kazanah sufistik di zaman seperti inilah, ia saya pikir, sudah membuat kita sadar ada yang lebih baik dan mulia daripada sekedar merengkuh matrealisme hidup.
 Saya merasa perlu dan wajib merekomendasikan buku ini, tentu dengan alasan yang pretensius dan tendensius, bahwa ia boleh jadi sejauh yang saya ingat adalah buku terbaik dalam persilangan antara agama, sastra dan kemanusiaan itu sendiri. Al Rashafāt: Percikan Cinta para Kekasihharus saya akui mengingatkan saya pada Conference of The Books: The search for Beauty In Islam karya Khaled M. Abou El Fadl. Keduanya, dalam pandangan dan pemahaman saya yang dhaif, memancarkan sebuah usaha untuk menunjukan wajah islam yang lain. Wajah islam yang mencintai keindahan, mencintai cinta itu sendiri dan usaha tanpa jeda untuk merengkuh perbedaan sebagai sebuah rahmat alih-alih bencana.
Kedua buku tersebut bicara dengan kalimat yang santun, singkat dengan tatal/sub bab/ fragmen /bagian / anasir yang sama efisien. Pembaca tentu saja tidak diajak untuk memahami konsep-konsep sakral yang maha berat. Malah mereka diajak untuk bicara tema rumit, besar dan sakral dengan bahasa sehari-hari yang mudah dicerna. Keduanya mengambil titik tengah pemahaman dan kemudahan, dengan citra yang tidak murahan tentunya, untuk bisa membawa pembacanya selangkah demi selangkah memahami tuhannya dari sudut pandang kasih yang indah.
Jika dalam Conference of The Books: The search for Beauty In Islam Khaled M. Abou berusaha untuk bertanya secara kritis, semacam usaha bertanya pada diri sendiri dan berdialog untuk bertanya apa itu keindahan dalam islam. Maka Al Rashafāt: Percikan Cinta para Kekasih bicara perihal usaha Fajrie Alatas untuk menyigi dan mengabarkan lebih luas syair-syair Al Rashafātdalam usahanya memahami tasawuf. Al Rashafāt merupakan karya Imam Abd al-Rahman Bilfaqih, yang oleh guru saya yang mulia Haidar Bagir, adalah kitab syair yang ebrisi 18 bab yang berusaha menjelaskan aspek findamental tasawuf. Seperti Kosmologi, Ontologi.
Pada Studi Islamika, Jurnal Studi Islam Indonesia (yang lumayan progresif), volume 8, nomor 3 tahun 2001 ada satu nomor artikel yang barangkali relevan untuk saya kutip sedikit. Suryadi menulis Shaikh Daud of Sunur: Conflict Between Reformists and The Shattariyyah Sufi Order in Rantau Pariaman in The first Half of the Ninetheenth Century.  Jurnal ini bercerita dengan naratif perihal salah satu ulama Shaikh Daud asal desa Sunur, Rantau Pariaman yang kemudian bertentangan dengan kaum sufis tarekat Shattariyah. Menariknya pertentangan ini dilakukan dengan adu puisi dan pemikiran, meski pada praktiknya banyak kaum intoleran yang menggunakan pemikiran Shaikh Daud untuk menghajar mereka yang dianggap sesat.
Saya menemukan sedikit benang merah bagaimana sajak dan puisi dijadikan propaganda dan medium dakwah. Jika pada Shaikh Daud sajak merupakan senjata beradu argumen antara dua kelompok mazhab yang bertentangan. Maka Imam Abd al-Rahman Bilfaqih memanfaatkan sajak sebagai usaha mencintai. Keduanya memanfaatkan sajak dalam fungsi yang paling sederhana. Mengabarkan, mempengaruhi dan mengajak. Meski demikian Al Rashafāt lebih dekat dengan pencapaian sufistik, hal ini bisa anda lihat dari kedalaman makna syair ilahiah yang ditulis. Ada semacam usaha memahami, bukan sekedar menjalankan ritus, dari umat yang gelisah dan mencintai Tuhannya.
Majid Fakhry, profesor emiretus bidang filosofi di Georgetown University dan pengarang A History of Islamic Philosophy, Etichal Theories in Islam. Punya pemikiran menarik tentang apa itu esoterisme ilahiah dalam kaitannya tentang umat yang penuh kasih.  Meminjam konsepsi yang ditawarkan oleh Ibnu Arabi tentang wahdatul wujud, Majid Fakhry, menawarkan bahwa esoterisme ilahiah bagi mahluk bukanlah hal yang mustahil. Ia menawarkan konsep ketika sang Tuhan menyingkap tirai wujud di hadapan hambanya dan menyadari bahwa tuhan adalah supreme being yang ia bisa menjadi apapun yang ia kehendaki baik dalam realitas fisik atau roh.
Dalam Islamic Philosophy, Theology and Mysticism (hal 77-81) Majid Fakhry percaya bahwa raison d’etre dari mahluk, berdasarkan konsepsi Ibnu Arabi, adalah usaha untuk mengerti dan memahami tuhannya. Ingat titik penting dan poin utamanya adalah usaha, bukan melulu merujuk pada proses penyatuan tadi. Dengan demikian ketika usaha nan terus menerus itu dilakukan manusia, sebagai umat, akan menjadi al-insan al-kamil, islamic version of ubermensch. Di sini  Al Rashafātberusaha mendedah konsepsi cinta manusia dan tuhannya sebagai usaha memahami tadi.
Tentu tidak adil membandingkan buku agama picisan kelas dua dengan sampul norak berjudul dangkal semacam Udah Putusin Aja dengan buku Al Rashafāt. Keduanya bahkan menyasak dan merujuk pada pangsa pasar yang sama sekali berbeda. Satu adalah pasar muslim(ah) ahistoris yang labil perihal keimannnya sendiri, sedang yang kedua menyasak manusia-manusia yang gelisah haus akan kebenaran ilahiah. Meski dalam pembelaan saya, keduanya bicara tentang keagamaan, perumusan ideal manusia, tentang relasi manusia dan hubungan vertikal manusia dengan tuhannya. Anda bisa melihat dan membaca bagaimana sebuah agama bisa digunakan dengan serampangan untuk justifikasi moralitas secara banal. Atau di sisi lain, dalam kasus Al Rashafāt, agama adalah sebuah pilar untuk mewujudkan apa itu cinta yang berperikemanusiaan.
Ada empat bagian dalam yang dibedah dalam Al Rashafāthal ini dilakukan agar bisa menjadi lebih fokus untuk memahami sajak-sajak Imam Abd al-Rahman Bilfaqih. Pembagian itu adalah Minuman Cinta para Kekasih, Keadaan para Wali, Kehadiran para wali pada Setiap Masa dan Urgensi Keberadaan Mereka, Kemuliaan Manusia (insan) dan Hakikatnya sebagai Khalifah Yang Maha Pengasih (al Rahman). Pembabakan ini memudahkan kita untuk memahai jenjang-jenjang (keimanan?) usaha mencintai dalam perspektif sufisme dan relasinya dalam ibadah.
Sebagai penutup saya menyarankan anda untuk membaca buku ini. Perlahan, menikmati detik demi detiknya untuk memahami isinya dengan penuh perhatian. Saya tak akan membagi isi buku ini seperti yang biasa saya lakukan dalam review buku lainnya. Khusus untuk buku Fajrie Alatas saya menemukan ektase yang sublim dan personal. Ia, dalam pandangan saya, memberikan perspektif yang lebih kudus tentang sisi lain pecinta yang kasmaran kepada tuhannya. Bagi saya yang seorang mualaf, pecinta ahlul bait dan pendosa. Buku  ini memberikan sebuah peringatan tentang sifat lain Allah yang maha Cinta. Bahwa sabda Wa rahmati ghalabat ‘ala ghadzabi adalah kekal adanya.

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar