Al Rashafāt: Percikan Cinta para Kekasih |
Penulis Review: Arman Dhani Bustomi (www.kandhani.net)
Tahun 2013
adalah tahun yang melelahkan dalam merumuskan dan mencari sosok buku ideal.
Betapa tidak? Di antara gempuran berbagai buku sampah macam motibasi, religi
dangkal dan sastra presidensial picisan. Buku-buku bermutu susah untuk
ditemukan. Toko buku hari ini susah dibedakan dengan toko kelontong yang
menjual kebutuhan ATK. Rak best seller dengan sangat menyedihkan memampang
aurat tanpa malu-malu buku pseudo sains Garut Kota Iluminati setelah
berhari-hari sebelumnya memuja buku komikal Borobudur dibangun oleh Nabi
Sulaiman. Saya sudah hampir putus asa dan menyerah untuk percaya buku-buku baik
akan ditemukan tahun ini apabila, tentu saja, pada satu hari minggu saya
menemukan buku Al Rashafāt: Percikan Cinta para Kekasih.
Disini saya
mau tak mau harus percaya, ternyata kemanusiaan masih bisa diselamatkan.
Al
Rashafāt: Percikan Cinta para Kekasih ditulis oleh Ismail Fajrie Alatas
salah seorang pemikir yang tengah menempuh studi sejarah dan antropologi di
University of Michigan, Ann Arbor, AS. Di tengah kecamuk kejumudan dan
kesempitan pemikiran islam hari ini, ia boleh jadi satu di antara sedikit nama
yang membuat islam menjadi segar dan lapang. Tentu ini hiperbolis dan romantik.
Toh, dengan peradaban yang kiat gegas dan dinamis, apa yang dilakukan Fajrie
bukan hal baru. Tapi menawarkan kerumitan dan keagungan narasi cinta dalam
kazanah sufistik di zaman seperti inilah, ia saya pikir, sudah membuat kita
sadar ada yang lebih baik dan mulia daripada sekedar merengkuh matrealisme hidup.
Saya merasa perlu dan wajib merekomendasikan buku ini, tentu dengan alasan yang pretensius dan tendensius, bahwa ia boleh jadi sejauh yang saya ingat adalah buku terbaik dalam persilangan antara agama, sastra dan kemanusiaan itu sendiri. Al Rashafāt: Percikan Cinta para Kekasihharus saya akui mengingatkan saya pada Conference of The Books: The search for Beauty In Islam karya Khaled M. Abou El Fadl. Keduanya, dalam pandangan dan pemahaman saya yang dhaif, memancarkan sebuah usaha untuk menunjukan wajah islam yang lain. Wajah islam yang mencintai keindahan, mencintai cinta itu sendiri dan usaha tanpa jeda untuk merengkuh perbedaan sebagai sebuah rahmat alih-alih bencana.
Saya merasa perlu dan wajib merekomendasikan buku ini, tentu dengan alasan yang pretensius dan tendensius, bahwa ia boleh jadi sejauh yang saya ingat adalah buku terbaik dalam persilangan antara agama, sastra dan kemanusiaan itu sendiri. Al Rashafāt: Percikan Cinta para Kekasihharus saya akui mengingatkan saya pada Conference of The Books: The search for Beauty In Islam karya Khaled M. Abou El Fadl. Keduanya, dalam pandangan dan pemahaman saya yang dhaif, memancarkan sebuah usaha untuk menunjukan wajah islam yang lain. Wajah islam yang mencintai keindahan, mencintai cinta itu sendiri dan usaha tanpa jeda untuk merengkuh perbedaan sebagai sebuah rahmat alih-alih bencana.
Kedua buku
tersebut bicara dengan kalimat yang santun, singkat dengan tatal/sub bab/
fragmen /bagian / anasir yang sama efisien. Pembaca tentu saja tidak diajak
untuk memahami konsep-konsep sakral yang maha berat. Malah mereka diajak untuk
bicara tema rumit, besar dan sakral dengan bahasa sehari-hari yang mudah
dicerna. Keduanya mengambil titik tengah pemahaman dan kemudahan, dengan citra
yang tidak murahan tentunya, untuk bisa membawa pembacanya selangkah demi
selangkah memahami tuhannya dari sudut pandang kasih yang indah.
Jika
dalam Conference of The Books: The search for Beauty In Islam Khaled
M. Abou berusaha untuk bertanya secara kritis, semacam usaha bertanya pada diri
sendiri dan berdialog untuk bertanya apa itu keindahan dalam islam. Maka Al
Rashafāt: Percikan Cinta para Kekasih bicara perihal usaha Fajrie
Alatas untuk menyigi dan mengabarkan lebih luas syair-syair Al
Rashafātdalam usahanya memahami tasawuf. Al Rashafāt merupakan
karya Imam Abd al-Rahman Bilfaqih, yang oleh guru saya yang mulia Haidar Bagir,
adalah kitab syair yang ebrisi 18 bab yang berusaha menjelaskan aspek findamental
tasawuf. Seperti Kosmologi, Ontologi.
Pada Studi
Islamika, Jurnal Studi Islam Indonesia (yang lumayan progresif), volume 8,
nomor 3 tahun 2001 ada satu nomor artikel yang barangkali relevan untuk saya
kutip sedikit. Suryadi menulis Shaikh Daud of Sunur:
Conflict Between Reformists and The Shattariyyah Sufi Order in Rantau Pariaman
in The first Half of the Ninetheenth Century. Jurnal ini bercerita
dengan naratif perihal salah satu ulama Shaikh Daud asal desa Sunur, Rantau
Pariaman yang kemudian bertentangan dengan kaum sufis tarekat Shattariyah.
Menariknya pertentangan ini dilakukan dengan adu puisi dan pemikiran, meski
pada praktiknya banyak kaum intoleran yang menggunakan pemikiran Shaikh Daud
untuk menghajar mereka yang dianggap sesat.
Saya menemukan
sedikit benang merah bagaimana sajak dan puisi dijadikan propaganda dan medium
dakwah. Jika pada Shaikh Daud sajak merupakan senjata beradu argumen antara dua
kelompok mazhab yang bertentangan. Maka Imam Abd al-Rahman Bilfaqih
memanfaatkan sajak sebagai usaha mencintai. Keduanya memanfaatkan sajak dalam
fungsi yang paling sederhana. Mengabarkan, mempengaruhi dan mengajak. Meski
demikian Al Rashafāt lebih dekat dengan pencapaian sufistik,
hal ini bisa anda lihat dari kedalaman makna syair ilahiah yang ditulis. Ada
semacam usaha memahami, bukan sekedar menjalankan ritus, dari umat yang gelisah
dan mencintai Tuhannya.
Majid
Fakhry, profesor emiretus bidang filosofi di Georgetown University dan
pengarang A History of Islamic Philosophy, Etichal Theories in Islam.
Punya pemikiran menarik tentang apa itu esoterisme ilahiah dalam kaitannya
tentang umat yang penuh kasih. Meminjam konsepsi yang ditawarkan oleh
Ibnu Arabi tentang wahdatul wujud, Majid Fakhry, menawarkan bahwa esoterisme
ilahiah bagi mahluk bukanlah hal yang mustahil. Ia menawarkan konsep ketika
sang Tuhan menyingkap tirai wujud di hadapan hambanya dan menyadari bahwa tuhan
adalah supreme being yang ia bisa menjadi apapun yang ia kehendaki baik dalam
realitas fisik atau roh.
Dalam Islamic
Philosophy, Theology and Mysticism (hal 77-81) Majid Fakhry percaya
bahwa raison d’etre dari mahluk, berdasarkan konsepsi Ibnu Arabi, adalah usaha
untuk mengerti dan memahami tuhannya. Ingat titik penting dan poin utamanya
adalah usaha, bukan melulu merujuk pada proses penyatuan tadi. Dengan demikian
ketika usaha nan terus menerus itu dilakukan manusia, sebagai umat, akan
menjadi al-insan al-kamil, islamic version of ubermensch. Di
sini Al Rashafātberusaha mendedah konsepsi cinta manusia
dan tuhannya sebagai usaha memahami tadi.
Tentu tidak
adil membandingkan buku agama picisan kelas dua dengan sampul norak berjudul
dangkal semacam Udah Putusin Aja dengan buku Al
Rashafāt. Keduanya bahkan menyasak dan merujuk pada pangsa pasar yang
sama sekali berbeda. Satu adalah pasar muslim(ah) ahistoris yang labil perihal
keimannnya sendiri, sedang yang kedua menyasak manusia-manusia yang gelisah
haus akan kebenaran ilahiah. Meski dalam pembelaan saya, keduanya bicara
tentang keagamaan, perumusan ideal manusia, tentang relasi manusia dan hubungan
vertikal manusia dengan tuhannya. Anda bisa melihat dan membaca bagaimana
sebuah agama bisa digunakan dengan serampangan untuk justifikasi moralitas
secara banal. Atau di sisi lain, dalam kasus Al Rashafāt, agama
adalah sebuah pilar untuk mewujudkan apa itu cinta yang berperikemanusiaan.
Ada empat
bagian dalam yang dibedah dalam Al Rashafāthal ini dilakukan agar
bisa menjadi lebih fokus untuk memahami sajak-sajak Imam Abd al-Rahman
Bilfaqih. Pembagian itu adalah Minuman Cinta para Kekasih, Keadaan
para Wali, Kehadiran para wali pada Setiap Masa dan Urgensi Keberadaan Mereka,
Kemuliaan Manusia (insan) dan Hakikatnya sebagai Khalifah Yang Maha Pengasih
(al Rahman). Pembabakan ini memudahkan kita untuk memahai
jenjang-jenjang (keimanan?) usaha mencintai dalam perspektif sufisme dan
relasinya dalam ibadah.
Sebagai
penutup saya menyarankan anda untuk membaca buku ini. Perlahan, menikmati detik
demi detiknya untuk memahami isinya dengan penuh perhatian. Saya tak akan
membagi isi buku ini seperti yang biasa saya lakukan dalam review buku lainnya.
Khusus untuk buku Fajrie Alatas saya menemukan ektase yang sublim dan personal.
Ia, dalam pandangan saya, memberikan perspektif yang lebih kudus tentang sisi
lain pecinta yang kasmaran kepada tuhannya. Bagi saya yang seorang mualaf,
pecinta ahlul bait dan pendosa. Buku ini memberikan sebuah peringatan
tentang sifat lain Allah yang maha Cinta. Bahwa sabda Wa rahmati
ghalabat ‘ala ghadzabi adalah kekal adanya.
0 komentar:
Posting Komentar