Hari itu memang mendung, tapi matamu mendahuluinya. Bukan bukannya aku
tak mau. Hanya saja sadar, bahwa belum pantas aku menawarkan pundakku untuk
sedikit mengurangi beban yang ada dikepalamu. Biarlah pundakku menjelma menjadi
beberapa kalimat penenang untukmu, walau banyak yang tidak bisa membantu.
Badai dalam dada mulai mengeluarkan petir yang sedikit demi sedikit
mengeluarkan air hujannya lewat kedua matamu. Aku melihatnya, sekilas. Setelah itu
engkau melesatkan wajah ke arah lain. Selalu saja, engkau berusaha
menyembunyikan perasaan yang selalu menjadi sebab badai dihatimu itu. Tak ingin
seorang pun tahu. Rapat rapat engkau simpan. Tapi itu percuma, sebagai lelaki
aku faham betul akan keadaan seperti itu. Aku juga punya ibu yang sering
melakukan hal yang sama.
Suasana sejenak hening. Hanya suara gemericik air yang di dorong oleh
angin berciuman dengan batu tanggul. Dingin semilir angin sepertinya berhasil
menenangkan hatimu. Kulihat engkau kembali menorehkan senyum ke arahku meski
air di matamu belum sempurna kau hilangkan.
~oo~
Mentari gagal merobek tirai mendung di cakrawala. Sunrise yang kita
tunggu gagal kita nikmati. Tapi bagiku tetap saja indah. Sunrise di pantai, di
gunung, di lembah, dimanapun, bagiku sama. Ya sama. Hanya menanti mentari
keluar dari peraduannya. Lalu terik menyengat yang akan menggantikannya. Bagiku,
sunrise yang terindah adalah kala kita mampu menciptakan hal yang bisa dikenang
kala mentari sedikit demi sedikit keluar. Sinarnya yang mampu menceritakan
kembali kisah kisah ditempat duduk si penunggu sunrise. Ya, kenangan saat
sunrise itulah yang sebenarnya indah. Yang berhubungan dengan yang di cintai
pastilah menjadi yang terindah. Ini untuk segala hal. Silahkan tafsiri sendiri.
Hembb...
Selalu saja, di saat menyenangkan, waktu membengkak tanpa dirasa. Emang kita
sudah ngobrol tadi?. Hah, sial. Tapi di saat menyebalkan, waktu terasa berjalan
laksana siput. Begitu lamban.
0 komentar:
Posting Komentar