Senin, 05 Januari 2015

KEMARIN ITU...




 Hari itu memang mendung, tapi matamu mendahuluinya. Bukan bukannya aku tak mau. Hanya saja sadar, bahwa belum pantas aku menawarkan pundakku untuk sedikit mengurangi beban yang ada dikepalamu. Biarlah pundakku menjelma menjadi beberapa kalimat penenang untukmu, walau banyak yang tidak bisa membantu.
Badai dalam dada mulai mengeluarkan petir yang sedikit demi sedikit mengeluarkan air hujannya lewat kedua matamu. Aku melihatnya, sekilas. Setelah itu engkau melesatkan wajah ke arah lain. Selalu saja, engkau berusaha menyembunyikan perasaan yang selalu menjadi sebab badai dihatimu itu. Tak ingin seorang pun tahu. Rapat rapat engkau simpan. Tapi itu percuma, sebagai lelaki aku faham betul akan keadaan seperti itu. Aku juga punya ibu yang sering melakukan hal yang sama.
Suasana sejenak hening. Hanya suara gemericik air yang di dorong oleh angin berciuman dengan batu tanggul. Dingin semilir angin sepertinya berhasil menenangkan hatimu. Kulihat engkau kembali menorehkan senyum ke arahku meski air di matamu belum sempurna kau hilangkan.
~oo~

Mentari gagal merobek tirai mendung di cakrawala. Sunrise yang kita tunggu gagal kita nikmati. Tapi bagiku tetap saja indah. Sunrise di pantai, di gunung, di lembah, dimanapun, bagiku sama. Ya sama. Hanya menanti mentari keluar dari peraduannya. Lalu terik menyengat yang akan menggantikannya. Bagiku, sunrise yang terindah adalah kala kita mampu menciptakan hal yang bisa dikenang kala mentari sedikit demi sedikit keluar. Sinarnya yang mampu menceritakan kembali kisah kisah ditempat duduk si penunggu sunrise. Ya, kenangan saat sunrise itulah yang sebenarnya indah. Yang berhubungan dengan yang di cintai pastilah menjadi yang terindah. Ini untuk segala hal. Silahkan tafsiri sendiri.
Hembb...
Selalu saja, di saat menyenangkan, waktu membengkak tanpa dirasa. Emang kita sudah ngobrol tadi?. Hah, sial. Tapi di saat menyebalkan, waktu terasa berjalan laksana siput. Begitu lamban.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar