Jumat, 26 Desember 2014

MAULID NABI : MENGHIDUPKAN ISLAM

Bila bulan Maulid Nabi tiba, Kaum Muslimin menyambutnya dengan penuh suka cita. Mereka menyebut dengan beragam nama ; Maulid, Maulud, Muludan, Mevlut dan lain-lain, tetapi maknanya sama: Hari Kelahiran. Dan istilah ini selalu dihubungkan dengan kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Para sejarawan mencatat: Muhammad bin Aminah dan Abdullah, lahir Senin, 12 Rabi’ al awwal, atau 20 April 571 M, di rumah Abd al-Muthallib (kakeknya) dan dibidani oleh Al-Syifa, ibunda Abd al Rahman bin ‘Auf. Ayahnya;Abd Allah, tak hadir saat yang membahagiakan itu. Ia telah wafat ketika janin Muhammad berusia 2 bulan dalam kandungan ibunya. Bayi Muhammad disusui pertama kali oleh Tsuwaibah, sahaya perempuan pamannya; Abu Lahab dan Halimah al Sa’diyyah untuk masa berikutnya. Aminah mengasuhnya sampai usia Muhammad 6 tahun. Ia wafat di Abwa, sebuah desa antara Makkah dan Madinah, dalam perjalanan pulang dari ziarah ke makam paman-pamannya di Madinah. Pengasuhan selanjutnya dipercayakan kepada Umm Ayman, sahaya perempuan dari Etiopia.

Tradisi Maulid

Di Indonesia, perayaan maulid Nabi diselenggarakan di surau-surau, masjid-masjid, majelis-majelis ta’lim, di pondok-pondok pesantren dan di berbagai lembaga social, keagamaan bahkan instansi-instansi pemerintahan. Tradisi peringatan Maulid, biasanya disebut Muludan, paling megah dan dihadiri ratusan ribu orang diadakan di Kraton-Kraton di Jawa, terutama Yogya dan Cirebon. Ia diadakan pada setiap malam 12 Rabi’l Awal. Masyarakat muslim merayakannya dengan beragam cara dan dengan sejumlah acara seremoni dan kemeriahan yang menggairahkan. Malam hari tanggal 12 Maulid merupakan puncak acara seremonial yang ditunggu-tunggu dengan penuh minat. Biasanya mereka mengundang penceramah untuk bicara sejarah Nabi. Mereka, secara bergantian, juga membaca Sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi sejak kelahiran sampai wafatnya), dalam bentuk narasi prosais kadang-kadang dengan irama yang khas. Sebagian lagi sejarah Nabi tersebut dikemas dalam bentuk puisi-puisi yang berisi sejarah dan madah-madah (pujian-pujian) atas nabi. Salah satu puisi maulid Nabi saw ditulis oleh Syeikh Barzanji.
Kitab Maulid Al Barzanji

Peringatan Maulid Nabi di Indonesia ditetapkan sebagai hari Libur Nasional ketika K.H. Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, menjabat sebagai Menteri Agama. Upacara peringatan pemerintah ini pada awalnya diadakan di Istana negara. Tetapi entah sejak kapan kemudian dipindahkan tempatnya, di Masjid Istiqlal. Pada momen tradisi keagamaan ini, Presiden, wakil presiden, para pejabat tinggi Negara dan para duta besar Negara-negara sahabat hadir bersama ribuan umat Islam.
Di Turki, seminggu menjelang Maulid, masjid-masjid dihiasi dengan lampu-lampu dan lampion-lampion warna warni. Halaman rumah penduduk dibersihkan dan dicat. Di Mesir masa lampau, “para penguasa Mamluk”, cerita Annemarie Schimmel, dalam buknya yang menarik Muhammad Utusan Allah, “perayaan besar-besaran untuk memperingati Maulud diselenggarakan di pelataran benteng Kairo. Ruas-ruas jalan penuh sesak manusia”. Di sebagian negara berpenduduk besar muslim, hari itu diperingati dengan menyalakan obor di jalan-jalan sambil pawai mengelilingi kota. Masyarakat di sebagian Negara Islam membuat makanan untuk dibagikan kepada fakir miskin. Selain Indonesia, Mesir dan Turki, peringatan Maulid Nabi juga diselenggarakan di Syria, Lebanon, Yordania, Palestina, Iraq, Kuwait, Uni Emirat Arab, Sudan, Yaman, Libya, Tunisia, Al Jazair, Maroko, Mauritania, Djibouti, Somalia, Turki, Pakistan, India, Sri Lanka, Iran, Afghanistan, Azerbaidjan, Uzbekistan, Turkistan, Bosnia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan kebanyakan Negara islam yang lain. Seperti di Indonesia, di banyak Negara tersebut hari Maulid Nabi Saw merupakan hari libur umum/nasional.
Berbeda dengan pandangan mayoritas besar kaum muslimin di dunia, Ibnu Taimiyah, tokoh Islam paling ortodoks, memandang perayaan Maulid Nabi sebagai bid’ah. Pandangan ini kemudian diteruskan dengan semangat Islam yang radikal oleh Muhammad bin Abdul Wahab, ulama terkemuka kelahiran Nejd, Saudi Arabia, 1703-1791. Saudi Arabia mjngkin satu-satunya Negara Islam yang anti memperingati Maulid Nabi dan menyerang dan mengecam kelompok muslim lain yang merayakannya. Para pengikutnya terus menyebarkan ajaran bahwa “maulid Nabi sebagai praktik keagamaan yang sesat”. Pandangan ini ditolak diseluruh dunia muslim.
Penulisan Sirah Nabawiyyah (Sejarah Hidup Nabi Muhammad) dalam bentuk puisi-puisi ditulis, sepanjang diketahui, oleh Syeikh Al-Barzanji. Ia adalah ulama bermazhab Maliki. Meski puisi-puisi ini dibuat sederhana, agar mudah dimengerti masyarakat luas, tetapi ia sungguh-sungguh memesona dan penuh makna. Puisi-puisi itu dinyanyikan dan dihapal oleh masyarakat muslim hampir di seluruh dunia muslim, tak terkecuali Indonesia. Pada saat puisi-puisi itu bercerita tentang kelahiran Nabi ia dibacakan sambil berdiri, lambang penghormatan terhadap orang besar yang dibayangkan datang dan hadir di tengah-tengah mereka. Al-Barzanji antara lain menyenandungkan Madah-Madah dan puisi-puisi Na’tiyah ini:
Aduhai Nabi, Selamat dan Damailah Engkau
Aduhai Rasul, Salam dan Damailah Engkau
Aduhai kekasih, Selamat dan Damailah Engkau
Sejahteralah Engkau
Telah terbit purnama di tengah kita
Maka tenggelam semua purnama
Seperti cantikmu tak pernah kupandang
Aduhai wajah ceria
Engkau matahari, engkau purnama
Engkau cahaya di atas cahaya
Engkau permata tak terkira
Engkau lampu di setiap hati
Aduhai kekasih, duhai Muhammad
Aduhai pengantin rupawan
Aduhai yang kokoh, yang terpuji
Aduhai imam dua kiblat
Selain al-Barzanji, mereka juga biasa menyanyikan puisi al-Bushairi; “Qasîdah Burdah”. Ibnu al-Jauzi seorang ulama bermazhab Hanbalî dengan sangat indah menggambar peristiwa kelahiran Nabi yang agung itu. Katanya:
“Ketika Muhammad lahir malaikat menyiarkan beritanya dengan suara riuh rendah. Jibrîl datang dengan suara gembira. ‘Arasy bergetar. Para bidadari surga keluar menyebarkan wewangian. Ketika Muhammad lahir, Aminah, sang ibunya, melihat cahaya menyinari istana Bosra. Malaikat berdiri mengelilinginya dan membentangkan sayap-sayapnya”.
Penyair terkemuka Mesir; Ahmad Syauqi Beik menggubah puisi madah yang memesona dan penuh keanggunan, untuk menghormati Nabi sang kekasih. Puisi-puisi ini dinyanyikan dengan amat indah dan melankoli oleh Penyanyi Legendaris: Ummi Kultsum.
Wulida-l-hudâ fa-l-kâ’inâtu dhiyâ’u
Wa fammu-z-zamâni tabassumun wa tsanâ’u
A-r-rûhu wa-l-mala’u-l-malâ’iku haulahu
Li-d-dîn-i wa-d-dunyâ bihi busyrâ’u
Wa-l-‘arsyu yazhû wa-l-hadzîratu tazdahî
Wa-l-muntaha wa-d-durratu-l-‘ashmâ’u
Telah lahir Sang Pembawa obor
Maka, Alam Raya pun berpendar cahaya
Zaman tak henti-hentinya menebar senyum
Dan puja-puji dan kekaguman kepadanya
Jibril dan para Malaikat mengelilinginya
Dunia hari ini dan masa depan kemanusiaan bersuka-cita
Singgasana Kerajaan Tuhan (‘Arasy) berdiri begitu megah
Puncak alam semesta (Sidrah Al-Muntaha)
Mutiara memancarkan cahaya, bernyanyi riang

Maulid Bukan Tradisi Sesat
Peringatan Maulid Nabi adalah tradisi umat Islam di seluruh dunia sepanjang sejarah sejak Salahuddin al Ayyubi (1193) menggagasnya sekaligus menyelenggarakannya. Salahuddin pada kesempatan itu juga mengadakan sayembara penulisan sejarah Nabi. Syeikh Al Barzanji di atas adalah pemenangnya. Sejak saat itu, Maulid diselenggarakan di berbagai belahan dunia muslim, sebagaimana antara lain sudah disebut. Perayaan ini sama sekali tidak bertentangan dengan Islam bahkan menjadi syiarnya dan bentuk kecintaan kepada Nabi Saw. Jika ia salah atau sesat, niscaya seluruh dunia Islam tidak mentradisikannya. Sungguh sangat naif, jika ada orang yang membid’ahkannya (menganggapnya praktik keagamaan yang sesat) hanya semata-mata karena Nabi tidak menyelenggarakannya atau karena ia tidak ada pada masa Nabi. Ini adalah pandangan eksklusif dan amat sederhana dalam memahami agama. Jika pandangan tersebut diterima secara luas, niscaya peradaban Islam akan berhenti, tenggelam, lalu mati. Ketiadaan masa lalu tidak selalu harus tidak boleh ada pada masa yang lain. Pandangan yang cerdas adalah ketika segala hal dipahami dan dimengerti makna dan signifikansinya. Bentuk dan cara adalah profan. Kita bisa membuatnya sesuai dengan tradisi dan kebudayaan kita masing-masing. Maka upaya-upaya segolongan orang untuk menghentikan tradisi ini sama artinya dengan “membunuh” tradisi yang telah mengakar berabad-abad, menghapus kebudayaan dan peradaban umat manusia yang baik. Nabi adalah kekasih Tuhan. Para Sufi menyebut;“Awwal Ma Khalaq Allah, Nur Muhammad” (Ciptaan Pertama Tuhan adalah Cahaya Muhammad). Dia serta Malaikat-malaikat-Nya mememberikan penghormatan atas sang cahaya ini.
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat Allah memberikan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Wahai orang-orang yang beriman, hormati, muliakanlah dan doakan keselamatan atasnya sungguh-sunguh”.(Q.S. al-Ahzab [33]:56.
Akhirnya, Taufik Ismail, penyair terkemuka Indonesia, menulis syair amat elok dan menghunjam kalbu untuk Bimbo yang lalu mendendangkannya dengan penuh rindu dan menderu-deru:
Rindu kami padamu Ya Rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu Ya Rasul
Serasa dikau di sini
Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya suwarga
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja
*
Damai dan sejahteralah engkau wahai kekasih
Rindu menggamit relungku
sepanjang hari sepanjang malam
Selamat Datang Sang cahaya
Selamat Datang

Sumber:
KH. Husein Muhammad
Buku Menyusuri Jalan Cahaya – KH. Husein Muhammad
http://huseinmuhammad.net/

0 komentar:

Posting Komentar