Bila bulan Maulid Nabi tiba, Kaum Muslimin
menyambutnya dengan penuh suka cita. Mereka menyebut dengan beragam nama ;
Maulid, Maulud, Muludan, Mevlut dan lain-lain, tetapi maknanya sama: Hari
Kelahiran. Dan istilah ini selalu dihubungkan dengan kelahiran Nabi Muhammad
Saw.
Para sejarawan mencatat: Muhammad bin Aminah dan
Abdullah, lahir Senin, 12 Rabi’ al awwal, atau 20 April 571 M, di rumah Abd
al-Muthallib (kakeknya) dan dibidani oleh Al-Syifa, ibunda Abd al Rahman bin
‘Auf. Ayahnya;Abd Allah, tak hadir saat yang membahagiakan itu. Ia telah wafat
ketika janin Muhammad berusia 2 bulan dalam kandungan ibunya. Bayi Muhammad
disusui pertama kali oleh Tsuwaibah, sahaya perempuan pamannya; Abu Lahab dan
Halimah al Sa’diyyah untuk masa berikutnya. Aminah mengasuhnya sampai usia
Muhammad 6 tahun. Ia wafat di Abwa, sebuah desa antara Makkah dan Madinah,
dalam perjalanan pulang dari ziarah ke makam paman-pamannya di Madinah.
Pengasuhan selanjutnya dipercayakan kepada Umm Ayman, sahaya perempuan dari
Etiopia.
Tradisi Maulid
Di Indonesia, perayaan maulid Nabi diselenggarakan di
surau-surau, masjid-masjid, majelis-majelis ta’lim, di pondok-pondok pesantren
dan di berbagai lembaga social, keagamaan bahkan instansi-instansi pemerintahan.
Tradisi peringatan Maulid, biasanya disebut Muludan, paling megah dan dihadiri
ratusan ribu orang diadakan di Kraton-Kraton di Jawa, terutama Yogya dan
Cirebon. Ia diadakan pada setiap malam 12 Rabi’l Awal. Masyarakat muslim
merayakannya dengan beragam cara dan dengan sejumlah acara seremoni dan
kemeriahan yang menggairahkan. Malam hari tanggal 12 Maulid merupakan puncak
acara seremonial yang ditunggu-tunggu dengan penuh minat. Biasanya mereka
mengundang penceramah untuk bicara sejarah Nabi. Mereka, secara bergantian,
juga membaca Sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi sejak kelahiran sampai
wafatnya), dalam bentuk narasi prosais kadang-kadang dengan irama yang khas.
Sebagian lagi sejarah Nabi tersebut dikemas dalam bentuk puisi-puisi yang berisi
sejarah dan madah-madah (pujian-pujian) atas nabi. Salah satu puisi maulid Nabi
saw ditulis oleh Syeikh Barzanji.
Kitab Maulid Al Barzanji |
Peringatan Maulid Nabi di Indonesia ditetapkan sebagai
hari Libur Nasional ketika K.H. Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, menjabat
sebagai Menteri Agama. Upacara peringatan pemerintah ini pada awalnya diadakan
di Istana negara. Tetapi entah sejak kapan kemudian dipindahkan tempatnya, di
Masjid Istiqlal. Pada momen tradisi keagamaan ini, Presiden, wakil presiden,
para pejabat tinggi Negara dan para duta besar Negara-negara sahabat hadir
bersama ribuan umat Islam.
Di Turki, seminggu menjelang Maulid, masjid-masjid
dihiasi dengan lampu-lampu dan lampion-lampion warna warni. Halaman rumah
penduduk dibersihkan dan dicat. Di Mesir masa lampau, “para penguasa Mamluk”,
cerita Annemarie Schimmel, dalam buknya yang menarik Muhammad Utusan Allah,
“perayaan besar-besaran untuk memperingati Maulud diselenggarakan di pelataran
benteng Kairo. Ruas-ruas jalan penuh sesak manusia”. Di sebagian negara
berpenduduk besar muslim, hari itu diperingati dengan menyalakan obor di
jalan-jalan sambil pawai mengelilingi kota. Masyarakat di sebagian Negara Islam
membuat makanan untuk dibagikan kepada fakir miskin. Selain Indonesia, Mesir
dan Turki, peringatan Maulid Nabi juga diselenggarakan di Syria, Lebanon,
Yordania, Palestina, Iraq, Kuwait, Uni Emirat Arab, Sudan, Yaman, Libya,
Tunisia, Al Jazair, Maroko, Mauritania, Djibouti, Somalia, Turki, Pakistan,
India, Sri Lanka, Iran, Afghanistan, Azerbaidjan, Uzbekistan, Turkistan, Bosnia,
Malaysia, Brunei, Singapura, dan kebanyakan Negara islam yang lain. Seperti di
Indonesia, di banyak Negara tersebut hari Maulid Nabi Saw merupakan hari libur
umum/nasional.
Berbeda dengan pandangan mayoritas besar kaum muslimin
di dunia, Ibnu Taimiyah, tokoh Islam paling ortodoks, memandang perayaan Maulid
Nabi sebagai bid’ah. Pandangan ini kemudian diteruskan dengan semangat Islam
yang radikal oleh Muhammad bin Abdul Wahab, ulama terkemuka kelahiran Nejd,
Saudi Arabia, 1703-1791. Saudi Arabia mjngkin satu-satunya Negara Islam yang
anti memperingati Maulid Nabi dan menyerang dan mengecam kelompok muslim lain
yang merayakannya. Para pengikutnya terus menyebarkan ajaran bahwa “maulid Nabi
sebagai praktik keagamaan yang sesat”. Pandangan ini ditolak diseluruh dunia
muslim.
Penulisan Sirah Nabawiyyah (Sejarah Hidup Nabi
Muhammad) dalam bentuk puisi-puisi ditulis, sepanjang diketahui, oleh Syeikh
Al-Barzanji. Ia adalah ulama bermazhab Maliki. Meski puisi-puisi ini dibuat
sederhana, agar mudah dimengerti masyarakat luas, tetapi ia sungguh-sungguh
memesona dan penuh makna. Puisi-puisi itu dinyanyikan dan dihapal oleh
masyarakat muslim hampir di seluruh dunia muslim, tak terkecuali Indonesia.
Pada saat puisi-puisi itu bercerita tentang kelahiran Nabi ia dibacakan sambil
berdiri, lambang penghormatan terhadap orang besar yang dibayangkan datang dan
hadir di tengah-tengah mereka. Al-Barzanji antara lain menyenandungkan
Madah-Madah dan puisi-puisi Na’tiyah ini:
Aduhai Nabi, Selamat dan Damailah Engkau
Aduhai Rasul, Salam dan Damailah Engkau
Aduhai kekasih, Selamat dan Damailah Engkau
Sejahteralah Engkau
Telah terbit purnama di tengah kita
Maka tenggelam semua purnama
Seperti cantikmu tak pernah kupandang
Aduhai wajah ceria
Engkau matahari, engkau purnama
Engkau cahaya di atas cahaya
Engkau permata tak terkira
Engkau lampu di setiap hati
Aduhai kekasih, duhai Muhammad
Aduhai pengantin rupawan
Aduhai yang kokoh, yang terpuji
Aduhai imam dua kiblat
Selain al-Barzanji, mereka juga biasa menyanyikan
puisi al-Bushairi; “Qasîdah Burdah”. Ibnu al-Jauzi seorang ulama bermazhab
Hanbalî dengan sangat indah menggambar peristiwa kelahiran Nabi yang agung itu.
Katanya:
“Ketika Muhammad lahir malaikat menyiarkan beritanya
dengan suara riuh rendah. Jibrîl datang dengan suara gembira. ‘Arasy bergetar.
Para bidadari surga keluar menyebarkan wewangian. Ketika Muhammad lahir,
Aminah, sang ibunya, melihat cahaya menyinari istana Bosra. Malaikat berdiri
mengelilinginya dan membentangkan sayap-sayapnya”.
Penyair terkemuka Mesir; Ahmad Syauqi Beik menggubah
puisi madah yang memesona dan penuh keanggunan, untuk menghormati Nabi sang
kekasih. Puisi-puisi ini dinyanyikan dengan amat indah dan melankoli oleh
Penyanyi Legendaris: Ummi Kultsum.
Wulida-l-hudâ fa-l-kâ’inâtu dhiyâ’u
Wa fammu-z-zamâni tabassumun wa tsanâ’u
A-r-rûhu wa-l-mala’u-l-malâ’iku haulahu
Li-d-dîn-i wa-d-dunyâ bihi busyrâ’u
Wa-l-‘arsyu yazhû wa-l-hadzîratu tazdahî
Wa-l-muntaha wa-d-durratu-l-‘ashmâ’u
Telah lahir Sang Pembawa obor
Maka, Alam Raya pun berpendar cahaya
Zaman tak henti-hentinya menebar senyum
Dan puja-puji dan kekaguman kepadanya
Jibril dan para Malaikat mengelilinginya
Dunia hari ini dan masa depan kemanusiaan bersuka-cita
Singgasana Kerajaan Tuhan (‘Arasy) berdiri begitu megah
Puncak alam semesta (Sidrah Al-Muntaha)
Mutiara memancarkan cahaya, bernyanyi riang
Maulid Bukan Tradisi Sesat
Peringatan Maulid Nabi adalah tradisi umat Islam di
seluruh dunia sepanjang sejarah sejak Salahuddin al Ayyubi (1193) menggagasnya
sekaligus menyelenggarakannya. Salahuddin pada kesempatan itu juga mengadakan
sayembara penulisan sejarah Nabi. Syeikh Al Barzanji di atas adalah
pemenangnya. Sejak saat itu, Maulid diselenggarakan di berbagai belahan dunia
muslim, sebagaimana antara lain sudah disebut. Perayaan ini sama sekali tidak
bertentangan dengan Islam bahkan menjadi syiarnya dan bentuk kecintaan kepada
Nabi Saw. Jika ia salah atau sesat, niscaya seluruh dunia Islam tidak
mentradisikannya. Sungguh sangat naif, jika ada orang yang membid’ahkannya
(menganggapnya praktik keagamaan yang sesat) hanya semata-mata karena Nabi
tidak menyelenggarakannya atau karena ia tidak ada pada masa Nabi. Ini adalah
pandangan eksklusif dan amat sederhana dalam memahami agama. Jika pandangan
tersebut diterima secara luas, niscaya peradaban Islam akan berhenti,
tenggelam, lalu mati. Ketiadaan masa lalu tidak selalu harus tidak boleh ada
pada masa yang lain. Pandangan yang cerdas adalah ketika segala hal dipahami
dan dimengerti makna dan signifikansinya. Bentuk dan cara adalah profan. Kita
bisa membuatnya sesuai dengan tradisi dan kebudayaan kita masing-masing. Maka
upaya-upaya segolongan orang untuk menghentikan tradisi ini sama artinya dengan
“membunuh” tradisi yang telah mengakar berabad-abad, menghapus kebudayaan dan
peradaban umat manusia yang baik. Nabi adalah kekasih Tuhan. Para Sufi
menyebut;“Awwal Ma Khalaq Allah, Nur Muhammad” (Ciptaan Pertama Tuhan adalah
Cahaya Muhammad). Dia serta Malaikat-malaikat-Nya mememberikan penghormatan
atas sang cahaya ini.
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat Allah memberikan
penghormatan kepada Nabi Muhammad. Wahai orang-orang yang beriman, hormati,
muliakanlah dan doakan keselamatan atasnya sungguh-sunguh”.(Q.S. al-Ahzab
[33]:56.
Akhirnya, Taufik Ismail, penyair terkemuka Indonesia,
menulis syair amat elok dan menghunjam kalbu untuk Bimbo yang lalu
mendendangkannya dengan penuh rindu dan menderu-deru:
Rindu kami padamu Ya Rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu Ya Rasul
Serasa dikau di sini
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu Ya Rasul
Serasa dikau di sini
Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya suwarga
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja
*
Damai dan sejahteralah engkau wahai kekasih
Rindu menggamit relungku
sepanjang hari sepanjang malam
Selamat Datang Sang cahaya
Selamat Datang
Bagai cahaya suwarga
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja
*
Damai dan sejahteralah engkau wahai kekasih
Rindu menggamit relungku
sepanjang hari sepanjang malam
Selamat Datang Sang cahaya
Selamat Datang
Sumber:
KH. Husein Muhammad |
Buku Menyusuri Jalan Cahaya – KH. Husein Muhammad
http://huseinmuhammad.net/
0 komentar:
Posting Komentar