Daplangu usai gerimis, nona. Di teras rumah aku duduk sendiri masih dengan kain sarung sebagai doublean celana pendekku, secangkir kopi gethek geni atau kau lebih suka menyebutnya dengan kopi kapal api. hehehe. sebatang rokok di sela-sela jari jari tangan kiri ku. Suasana sepi seperti biasa, tapi asyik, dimana suara-suara binatang malam saling bersaut-sautan, kodok, jangkrik, dan sesekali suara burung hantu ikut nimbrung di malam ini. Dan baru saja Hadrah Ahbaabul Musthofa menyelesaikan Qosidah "Robbi Kholaq".
Aku tak tahu kamu masih didepan laptopmu sambil mendengarkan tausiah dengan headset yang terselip di telingamu, atau kamu masih cekikikan dengan kawan-kawanmu. Atau kamu sudah tenang dalam selimut di lantai 2 kamarmu, mendengarkan sholawat juga? Kau dengarkan sholawat dengan jendela kamar sedikit terbuka sehingga nun dibawah sana tampak rumah-rumah tetangga kerlap-kerlip bagai taburan mutiara menyala.
Sedang apakah kamu sekarang? Aku tidak tahu, nona.
Tapi andai kamu masih didepan laptopmu mendengarkan tausiah, setidaknya aku masih berharap kamu akan membagi ilmu yang kau dapat itu padaku, kebetulan aku ini masih miskin ilmu, masih butuh tuangan ilmu-ilmu lagi didalam otakku.
Siapa tahu, kebetulan, yang kau dengarkan itu membahas tentang Jodoh atau bagaimana membina rumah tangga, itu sangat aku butuhkan, hehe. Atau yang lainlah. Setidaknya kita dapat ngobrol duduk bersama dibawah rindah pohon beralaskan tikar dengan sesaji kopi dan teh, sembari sesekali kau menggigit dengangigi depanmu biskuit itu.
Dulu sekali, kau memang benar bilang "tak ada kebetulan di dunia". Semua sudah ada yang ngatur. Kebetulan aku sudah putus dengan pacarku tepat 4 bulan. Kau menghubungiku lewat chat fb, katanya kau mau diantar ke Kebun Teh, aku sanggupi itu, dengan imbalan segelas kopi syaratku. Pada hari H, kamu minta dijemput disebuah toko, setelah aku tunggu di timur rel, tak apa aku balik arah.
"Hai", katamu singkat tanpa menyebut namaku, aku pun menoleh. Ternyata kau sedang bersama ibumu membelikan es krim untuk adikmu. "Pamit riyin njih bu" kataku pada ibumu untuk berpamitan.
Seharian kita habiskan waktu, tak banyak saling bicara, karena memang belum saling mengenal. Jam 6 sore sudah sampai rumahmu, setelah tadi dalam perjalanan kita berteduh sebentar karena hujan lebat di suatu wilayah Karanganyar.
Sayang di pagi hari yang syahdu itu tak ada sms mu yang mengatakan "Eh iya, aku lupa kopimu". Sebetulnya aku penasaran, ingin bertanya, kamu sudah lupa atau pura-pura lupa janji.
Ah, nona, Ahbaabul Musthofa baru saja menyelesaikan Qosidah Padang Bulan Versi Pengantin Baru. Daplangu masih malam hari, udara mulai berlendir, sekarang biarlah "Sholli wa salimda" dari Ahbaabul Musthofa melatari kelanjutan cerita malamku. Dimanakah kamu ini?
Di pagi hari penuh semangat, didepan monitor warnet tempat aku bekerja, keluar masuk mahasiswa yang menggunakan jasa print, menurutku, kamu sedang berpura-pura lupa. Mungkin agar aku tidak Respect padamu, malah kalau bisa membencimu sehingga menyebabkanku melupakanmu. Tapa bagaimana orang bisa melupakan hal yang dibencinya?
Tahukah kamu, bahwa sejak itu batinku oleh kiri ke kanan berayun-ayun seperti Sisingaan dari Subang? Apalagi ketika beberapa kali aku melihat kembali foto-fotomu dengan senyuman yang sejuk ditambah hijau indahnya daun-daun teh yang sejak pagi sudah dipetik pucuknya. Manis Sekali. Tapi, untuk menghampirimu sebenarnya aku tak punya keberanian, bertanya banyak atau sedikit tak bisa. Nyaliku entah kemana. Banyak laki-laki merubungi fotomu saat kau upload di Facebook.
Nona, nona, nona...
Kau dengar "Sholli wa salimda" dari Ahbaabul Musthofa menjelang selesai. Tapi cerita malamku masih akan panjang, biarkan aku memilih Qosidah lain untuk melatari penulisan cerita malamku yang mungkin cuma sampah buatmu.
Aku tidak tahu apakah kini kamu masih kuliah dan bekerja jadi staf manager atau malah tak kau lanjutkan kuliahmu seperti wanita karir pada umumnya. Mengenalmu adalah kebangkitan dalam hidupku, meski mengenangmu selalu membuatku sedih. Beruntung tadi malam Majelis Yasinan dirumah cukup menghiburku. Tapi seyelah itu, aku kembali seperti.......entah perasaan itu apa namanya, seperti perasaan yang muncul setiap aku datang di Majelisnya Habib Naufal bin Muhammad Al 'Aydrus dan melihat beliau turun dari lantai atas dengan senyuman khasnya.
Entah benar kamu ini sedang mendengarkan tausiah atau apa, aku ingin menjumpaimu kembali. Kubayangkan segarnya suasana seperti rasa angin dikening, pelipis dan kuduk ketika naik motor diantara pohon-pohon teh Kemuning, sebelum musim kemarau datang. janji kita untuk ngobrol lebih lama dibawah pohon itu belum kesampaian juga.
Pagi itu dulu sekali, waktu aku duduk-duduk sendiri diteras rumah, didepanku sawah Pak Diro yang beratapkan langit biru yang sepertinya hari itu cerah, karana tanpa awan putih sangat kuat mengantar kenanganku padamu. Di beranda FB, aku melihat dari monitor komputerku kamu asyik dengan mahasiswi, kamu dengan jilbab dan tas tercentel di pundak. Meski dari monitor, tanpa rangkulan dan pelukan, belum pernah aku melihat dalam drama manapun adegan yang menggetarkan seperti itu. Bahkan ketika cinta sedang puncak-puncaknya melanda kedua tokoh drama.
Kuakhiri cerita malam ini, dengan seluruh kenanganku kepadamu dan pahlawanmu.
#28 Agustus 2014
0 komentar:
Posting Komentar