Muslimedianews ~ Rais Am Jam’iyah Ahlut Thariqah al-Mu’tabarah
an-Nahdliyah, sekaligus ketua umum thariqah sufi sedunia, Maulana
al-Habib M. Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya Pekalongan, menjelaskan
perihal rahasia di balik bacaan shalawat Allah kepada nabiNya.
“Saya kagum terhadap satu ayat yang mengangkat kebesaran Nabi Muhammad saw dan memerintahkan untuk membaca shalawat,” tutur Habib Luthfi yang kemudian membacakan ayat al-Quran yang berisi perintah shalawat Nabi Saw.
Beliau dawuh dalam bahasa Jawa: “Yen Allah ta’ala merintahake shalat, ning mustahil Allah shalat. Allah ta’ala merintahake zakat, Allah ta’ala mboten usah zakat. Allah ta’ala merintahake haji neng Alah ta’ala mboten haji. Tapi nek shalawat Nabi, Allah ta’ala paring shalawat dumateng Kanjeng Nabi. Niku bedane adoh, niku istimewane kebesarane shalawat.”
(Allah Swt. telah memerintahkan shalat, tetapi Allah mustahil shalat. Allah Swt. memerintahkan zakat, tetapi Allah Swt. tidak zakat. Allah Swt. memerintahkan haji, tetapi Allah Swt. tidak haji. Namun kalau shalawat Nabi, Allah Swt. bershalawat kepada Baginda Nabi Saw. Itulah tingkat perbedaan yang sangat jauh, menunjukkan keistimewaan dan keagungan shalawat).
Kenapa redaksi pada ayat memakai “’ala an-Nabiy”, bukan “‘ala Muhammad”? Karena yang dijunjung oleh Allah adalah pangkatnya Kanjeng Nabi Saw. Allah Swt. memberikan contoh langsung kepada hambaNya tentang bgaimana memberikan penghargaan kepada Nabi Saw. dengan tidak mengucapkan namanya saja (Muhammad), akan tetapi dengan pangkatnya. Tak ada satupun ayat dalam al-Quran Allah Swt. memanggil Nabi Muhammad Saw. dengan namanya belaka.
Sedangkan kalimat “yushalluna ‘ala an-Nabiy”, bukan menggunakan kalimat madhi (masa lampau) tetapi mudhari’ (masa sekarang dan seterusnya). Artinya rahmat Allah Swt. kepada Kanjeng Nabi Saw. sampai besok di akherat. Dan shalawatnya Allah Ta’ala bukan “Allahumma shalli ‘ala Muhammad”, tetapi rahmatan maqrunatan bita’dzimin (rahmat kasih sayang yang dibarengi dengan pengagungan). Maksudnya, Allah memberi shalawat kepada Nabi Saw. bukan sejak beliau diangkat menjadi Nabi, tetapi sudak sejak zaman azali.
Ayat itu juga merupakan bentuk kemuliaan yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Kemuliaan yang membedakan beliau dengan makhluk yang lain. Segala sesuatu yang diciptakan Allah tidak diciptakan percuma, semuanya juga memiliki kelebihan tersendiri, yang membedakan satu dengan yang lain. Maka tidak mustahil kalau Allah memberi kemuliaan (perintah shalawat) ini kepada Kanjeng Nabi Saw.
Kemuliaan yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. itu merupakan kewenangan Allah. Jangankan untuk memuliakan nabi, bahkan setiap tumbuhan dan segala sesuatu diciptakan Allah dengan kemuliaannya masing-masing. Yen Allah Ta’ala ngersaake niku mboten onten seng mustahil, serba mungkin (Jika Allah Swt. menghendaki itu tidak ada yang mustahil, semuanya serba mungkin).
Ketika kita mengucapkan shalawat kepada Nabi Saw., maka akan timbul cinta kepada beliau Saw. Dengan demikian, kita akan semakin banyak melakukan sunnah-sunnah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.”
“Saya kagum terhadap satu ayat yang mengangkat kebesaran Nabi Muhammad saw dan memerintahkan untuk membaca shalawat,” tutur Habib Luthfi yang kemudian membacakan ayat al-Quran yang berisi perintah shalawat Nabi Saw.
Beliau dawuh dalam bahasa Jawa: “Yen Allah ta’ala merintahake shalat, ning mustahil Allah shalat. Allah ta’ala merintahake zakat, Allah ta’ala mboten usah zakat. Allah ta’ala merintahake haji neng Alah ta’ala mboten haji. Tapi nek shalawat Nabi, Allah ta’ala paring shalawat dumateng Kanjeng Nabi. Niku bedane adoh, niku istimewane kebesarane shalawat.”
(Allah Swt. telah memerintahkan shalat, tetapi Allah mustahil shalat. Allah Swt. memerintahkan zakat, tetapi Allah Swt. tidak zakat. Allah Swt. memerintahkan haji, tetapi Allah Swt. tidak haji. Namun kalau shalawat Nabi, Allah Swt. bershalawat kepada Baginda Nabi Saw. Itulah tingkat perbedaan yang sangat jauh, menunjukkan keistimewaan dan keagungan shalawat).
Kenapa redaksi pada ayat memakai “’ala an-Nabiy”, bukan “‘ala Muhammad”? Karena yang dijunjung oleh Allah adalah pangkatnya Kanjeng Nabi Saw. Allah Swt. memberikan contoh langsung kepada hambaNya tentang bgaimana memberikan penghargaan kepada Nabi Saw. dengan tidak mengucapkan namanya saja (Muhammad), akan tetapi dengan pangkatnya. Tak ada satupun ayat dalam al-Quran Allah Swt. memanggil Nabi Muhammad Saw. dengan namanya belaka.
Sedangkan kalimat “yushalluna ‘ala an-Nabiy”, bukan menggunakan kalimat madhi (masa lampau) tetapi mudhari’ (masa sekarang dan seterusnya). Artinya rahmat Allah Swt. kepada Kanjeng Nabi Saw. sampai besok di akherat. Dan shalawatnya Allah Ta’ala bukan “Allahumma shalli ‘ala Muhammad”, tetapi rahmatan maqrunatan bita’dzimin (rahmat kasih sayang yang dibarengi dengan pengagungan). Maksudnya, Allah memberi shalawat kepada Nabi Saw. bukan sejak beliau diangkat menjadi Nabi, tetapi sudak sejak zaman azali.
Ayat itu juga merupakan bentuk kemuliaan yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Kemuliaan yang membedakan beliau dengan makhluk yang lain. Segala sesuatu yang diciptakan Allah tidak diciptakan percuma, semuanya juga memiliki kelebihan tersendiri, yang membedakan satu dengan yang lain. Maka tidak mustahil kalau Allah memberi kemuliaan (perintah shalawat) ini kepada Kanjeng Nabi Saw.
Kemuliaan yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. itu merupakan kewenangan Allah. Jangankan untuk memuliakan nabi, bahkan setiap tumbuhan dan segala sesuatu diciptakan Allah dengan kemuliaannya masing-masing. Yen Allah Ta’ala ngersaake niku mboten onten seng mustahil, serba mungkin (Jika Allah Swt. menghendaki itu tidak ada yang mustahil, semuanya serba mungkin).
Ketika kita mengucapkan shalawat kepada Nabi Saw., maka akan timbul cinta kepada beliau Saw. Dengan demikian, kita akan semakin banyak melakukan sunnah-sunnah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.”
0 komentar:
Posting Komentar