Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
"Orang-orang zuhud ketika dipuji, mereka sedih, karena melihat pujian
itu datangnya dari makhluk. Sedangkan orang-orang yang ’arif billah
ketika dipuji mereka bersukacita, sebab pujian itu hakikatnya dari Allah
Sang Maha Diraja."
Para a’rifun menyaksikan perbuatan makhluk itu dari segi wujud
pemberlakukan Allah Swt. pada mereka. Karena itulah sang arif senantiasa
melihat makhluk sebagai “pena”-nya
Allah Ta’ala. Maka bila mereka dipuji, mereka bersukacita karena yang
dipandang adalah pujian Allah bukan pujian makhluk, lalu semakin
bertambah kuat kebahagiaannya pada Tuhannya, tenteram kepadaNya dan
tetap lari dari segala hal selain Dia.
Selain sang arif memandang pujian datang dari makhluk itu sendiri,
lalu ia menerima dan menolak merutut persepktif kemakhlukan. Pujian
bila muncul, ia senang dan bila yang muncul cacian ia sedih, maka
disitulah pujian menjadi bentuk penyembelihan atas dirinya. Bila ia
tergolong orang yang zuhud, ia membenci pujian itu dan lebih senang
dicaci. Karena sang zahid masih juga emmandang itu dari makghluk, dank
arena kezuhudannya, ia takut jika pujian meracuni hatinya. Hal ini tentu berbeda dengan sang arif.
Bagi orang yang zuhud berlaku sabda Nabi Saw.,
“Taburkan debu kemuka para pemuji”
“Pujian itu adalah bentuk penyembelihan (yang mematikan).”
Beliau juga memperingatkan orang yang memuji,
“Kalian memenggal leher sahabatmu?”
Bagi sang arif pujian dari makhluk tidak pernah dilihat dari makhluk, tetapi dari Allah Azza wa-Jalla, sebagaimana hadits Nabi Saw., “Bila Allah mencintai seorang hamba maka Jibril diundang, dan berfirman, “Aku mencintai si Fulan.” Lalu Jibril pun mencintai si Fulan itu, lantas Jibril mengumumkan kepada ahli langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan!”. Ahli langit pun mencintai si Fulan itu, baru kemudian penghuni bumi menerima.”
Ibnu Athaillah as-Sakandary ra lalu meneruskan:
“Manakala anda dihamparkan anugerah pemberian, anda sebutkan bahwa anda sedang diberi. Jika anda terhalang dari pemberian anda sebutkan sebagai kegagalan. Itu menunjukkan betapa kekanak-kanakannya diri anda, dan anda belum benar dalam menjalankan ubudiyah anda.”
Hikmah di atas masih berkait denganm deretan perilaku murid ketika merespon pemberian, sukses, gagal Dan pujian serta cacian.
Bila seseorang masih menilai pemberian itu Dari segi wujud nyata pemberian dan kegagalan dinilai dari segi tidak tercapainya tujuan, menunjukkan bahwa kehambaannya pada Allah sangat minim.
Padahal semua itu sama-sama pemberian dari Allah. Ada yang diberi dalam vbentuk sukses, ada yang diberi dalam bentuk gagal. Ada yang berbentuk pujian ada pula yang cacian.
Bagi orang yang zuhud berlaku sabda Nabi Saw.,
“Taburkan debu kemuka para pemuji”
“Pujian itu adalah bentuk penyembelihan (yang mematikan).”
Beliau juga memperingatkan orang yang memuji,
“Kalian memenggal leher sahabatmu?”
Bagi sang arif pujian dari makhluk tidak pernah dilihat dari makhluk, tetapi dari Allah Azza wa-Jalla, sebagaimana hadits Nabi Saw., “Bila Allah mencintai seorang hamba maka Jibril diundang, dan berfirman, “Aku mencintai si Fulan.” Lalu Jibril pun mencintai si Fulan itu, lantas Jibril mengumumkan kepada ahli langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan!”. Ahli langit pun mencintai si Fulan itu, baru kemudian penghuni bumi menerima.”
Ibnu Athaillah as-Sakandary ra lalu meneruskan:
“Manakala anda dihamparkan anugerah pemberian, anda sebutkan bahwa anda sedang diberi. Jika anda terhalang dari pemberian anda sebutkan sebagai kegagalan. Itu menunjukkan betapa kekanak-kanakannya diri anda, dan anda belum benar dalam menjalankan ubudiyah anda.”
Hikmah di atas masih berkait denganm deretan perilaku murid ketika merespon pemberian, sukses, gagal Dan pujian serta cacian.
Bila seseorang masih menilai pemberian itu Dari segi wujud nyata pemberian dan kegagalan dinilai dari segi tidak tercapainya tujuan, menunjukkan bahwa kehambaannya pada Allah sangat minim.
Padahal semua itu sama-sama pemberian dari Allah. Ada yang diberi dalam vbentuk sukses, ada yang diberi dalam bentuk gagal. Ada yang berbentuk pujian ada pula yang cacian.
Abu Utsman al-Hiiry menegaskan, “Seseorang belum disebut sempurna
manakala empat hal ini belum sama di hatinya: Dalam soal kegagagalan,
dalam soal pemberian/sukses, soal kemuliaan dan soal hinaan.”
Banyak orang yang mengukur pemberian dan anugerah dari bentuk nyata
benda, materi, nama besar, popularitas, dan massa pendukung. Seakan-akan
jika ia meraih semua itu, ia telah mendapatkan restu dari Allah Swt.
Sebaliknya yang gagal, kalah, tak meraih kesuksesan materi dianggap
tidak meraih ridhoNya. Inilah salah kaprah yang berkembang di kalangan
ummat yang harus diluruskan.
Sumber: sufinews.com
0 komentar:
Posting Komentar