Dulu,
sangat mudah bagiku untuk ber-kata, bahkan sambil menyentuh dan mengelus penuh
simpatik pundak orang, “Tabahkan hati-mu, ya. Semua dari kita akan merasakan
kehilangan orang yang kita cintai. Anggap saja dia bukan jodohmu. Kau pasti
akan dapat yang lebih baik. Tegar, ya. Life
must go on..”
Kuingat
benar, terakhir kali kubisikkan kata-kata sejuk itu kepada teman sebayaku kala
ditinggal oleh kekasihnya yang sudah 2 tahun menjalani hubungan percintaan. Dia
tampak sangat begitu kalut. Guncang. Rapuh. Sambil menepuk pundaknya kubisikkan
kalimat teduh itu. Ia menggangguk. Tampak keteduhan meng-gelayuti wajah
sayunya. Entah apa gerangan kecamuk di dadanya, kala itu.
And now, akulah yang menerima tempias
kata-kata bijak kesejukan itu!
Aku
benci perasaan sesungguhnya yang menggemuruh dalam dadaku!
Aku
benci mengalami ini!
Aku
benci akhirnya tiba diliranku. Pundakku yang dielus dan dibisikkan kata-kata
teduh itu.
Mau
tahu rasanya, kawan?
Bagi
si pengucap, sungguh hanya kalimat itulah yang bisa dibisikkannya, sebagai
bukti cintanya kepadaku sebagai sahabat, juluran simpatiknya sesama manusia. Tapi
bagiku, sang pelaku, semua itu bullshit!
Tak bermakna apa pun! Kalaupun kepalaku menggangguk, bibirku sedikit belah oleh
sunggingan senyum, itu tak lebih dari suatu sikap refleks yang tidak lebur
dalam hati. Sama sekali!
Toh,
hatiku tetap sakit. Luka. Puruk. Jungkal. Hancur. Remuk. Redam.
Tapi,
kutahu setiap manusia tak kan mampu berkata lain, berbuat lain, kecuali
membisikkan kalimat syahdu itu. Dan karenanya, itu sudah cukup. Aku nggak bisa
menuntut lebih lantaran tak ada sosok manusia pun memang yang bisa berbuat
lebih kala palu takdir sudah diketuk.
Pukul
06.00. Tanggal 3 Juli 2016. Pagi ke kedua puluh delapan dari bulan Ramadhan.
Itulah titik mulanya.
Ya,
hari minggu. Aku janji memberi tahu seseorang kapan aku akan kerumahnya untuk nembung. Membawa kedua orang tuaku. Tapi
...
“Sudah
tidak bisa, by”, jawabnya lesu, “Sudah ada yang duluan nembung, Jum’at malam kemarin.”
Suara
itu lirih saja. Begitu lirih. Tapi di telingaku, yang kemudian mengalir ke
kepala dan dadaku, suara itu begitu guntur! Petir! Kilat! Gelompang
mahapenghancur!
Aku
mencoba menahan tangis berjalan menuju ibuku, “Mak, dia sudah ditembung”, ucapku kepada ibuku yang
sedang mencuci baju. Wajahnya nampak kekecewaan bercampur dengan belas kasih
seorang ibu untuk anaknya yang terhunjam kekecewaan.
“Siapa?
Diakah dulu!”
“Bukan,
orang lain, kau tak mengenal-nya.”
“Aku
mohon kepadamu untuk tidak tinggal di Sukoharjo lagi,”pintaku mengiba. “Kalau
bisa juga resepsinya jangan di sini.”
“Mana
bisa? Rumahku di Sukoharjo,” jawabnya menolak.
Selanjutnya,
hanya tangis meledak-ledak. Tubuhku luruh, terhempas di bale ini. Telpon
terputus, namun tidak dengan tangisku.
Ya
Allah, akhirnya aku mengalaminya..
Akhirnya,
aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang begitu dicintai yang segenap
kekuatan mempertahankan untuk men-uju pernikahan.
Namun,
aku terlambat. Satu hari.
Wa ufaidlu amri ilallah, innallaha bashirun
bil ‘ibaad.
Aku
kalah.
Juli 2016
0 komentar:
Posting Komentar