Kami hanya sedang berikhtiar menjadi
orang hidup yang menghidupi kehidupan dengan tuntas menjalaninya, merenunginya,
menghayatinya, mengisinya dan menertawakannya.
Telah banyak hal sia-sia yang kami lakukan. Terlalu banyak. Sangat banyak.
Sudah saatnya kami bergabung dengan para pengarung gelombang sejarah yang sudah
fajar ini dalam sebuah bahtera.
“Di langit bermunculan misbah-misbah pelempar setan. Matahari dan bulan
saling songsong untuk berpelukan, hampir berpelukan.”
“Di bumi, anjing-anjing menjulur-julurkan lidahnya. Binatang-binatang
bertubuh manusia ramai bernyanyi di Masjid, Gereja dan diskotek agar mereka
berganti kepala manusia. Mereka menolak kecuali sedikit. Dan kebanyakan orang
benci kebenaran. (Q.S. Az Zukhruf [43]:8)
Kini kami berbaris di belakang cah
angon yang akan menek blimbing kuwi,
ndondomi, njlumati, pakaian kami yang telah terlalu lama tercabik-cabik
kesyirikan dan kezaliman diri sendiri.
Karena kini, di era yang penuh megah ria ini, nubuat Kanjeng Nabi
Muhammad SAW telah genap rasanya, “Sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an ini
sesuatu yang dicuekin. (Q.S. Al Furqan [25]: 30)”
Hari semakin kehilangan keelokkannya. Waktu bermain-main telah di ujung
usia, memantapkan diri untuk menjadi apa harusnya sudah terpahat nyata dalam
kening ini sebelum renta.
Terus belajar, tetap belajar. Memulai dari tak pernah memandang kecil
kepada setiap sesuatu hal. Baik atau buruk. Banyak atau sedikit. Semua disama
ratakan kepada sesuatu yang berasal dari Tuhan.
Hingga kini, kami menemukan ilmu, kesejatian, cinta, kebahagiaan dan
Allah cukup hanya dengan memandang giginya tatkala bercermin yang membuat kami
bersyukur bahwa Allah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan gigi terus
tumbuh.
Kami ini sebenarnya fakir dan sangat lemah. Sehingga semua pujian apapun
yang melekat pada kami sebenarnya tidak patut blas kami nikmati dan tidak usah kami cari-cari. Biarlah yang
menikmati pujian dan segala sanjungan itu yang empunya sendiri, yaitu Allah
SWT. Bahkan kewajiban kami adalah juga ikut memuji dan menyanjung Dia karena
Dita telah melekatkan hal itu kepada kami.
Kami bukan penulis, dan sudah tidak mempunyai daya gigih untuk mewujudkan
label penulis di diri kami. Kami bukan pengarang, apalagi orang yang kerjaannya
mengarang-ngarang, mereka-reka.
Kami menuliskan sesuatu dalam rangka menulis itu sendiri, tak penting
substansi dan kenyatan nilainya, tak penting kami memiliki akar pengalaman atas
yang kami tulis atau tidak.
Kami bukan pengarang, bukan penulis. Tulisan hanyalah sebuah output tak sengaja dari laku perjalanan
nilai kami.
Kami berkumpul, diperkumpulan kami tidak ada struktur guru dan murid. Sebab,
dua kata itu sejarahnya karut-marut. Guru
dari peradaban Hindia, murid dari
Arab Islam. Jadi, sebagai wacana juga membingungkan dan tidak tercapai harmoni
keilmuan.
Dalam perkumpulan kami, semua adalah murid, orang yang menghendaki –dalam
hal ini menghendaki ilmu-. Jadi, semua dari kami adalah murid.
19 Februari 2016
0 komentar:
Posting Komentar