DI NGARSOPURO, PUKUL 7 MALAM
Ngarsopuro mulai dihampiri hembusan angin berlendir. Lalu lalang yang
tadi berisik kini mulai melenggang. Pedagang wedang ronde dan pedagang sate ayam mulai mendorong gerobaknya
menuju tempat ternyaman di dunia ini. Ya, tempat dimana dia menemui senyum
manis keluarganya. Tinggal tukang becak yang terlelap lelah di dalam becaknya,
di nina bobokan oleh alunan syahdu gendhing
jawa. Tetapi tidak buatku!
Aku masih saja duduk di trotoar jalan di bawah tulisan Ngarsopuro, setia menunggumu. Setia
menunggu janjimu, Mawar.
Kulirik lagi arlojiku, sudah pukul 11 malam. Satu jam lagi suasana sepi
akan lebih menusuk.
---
oo ----
“Benar ya, pukul 7 malam?” tanyaku penuh semngat
Mawar tersenyum manis, sambil menggigit sedikit bibirnya. Menentramkan
hatiku.
“Iya, pukul 7 malam temui aku di Ngarsopuro,”
sahutnya
“Aku akan menunggumu, mungkin lebih dulu dari jam yang kau janjikan itu”
Ah, tapi malam ini, sepertinya ia benar-benar tak datang. Pukul 7 malam?
Sekarang sudah jam 11 malam, dan tak ada secuil kabar apapun darinya. Kecewa.
Tentu saja, aku sama saja dengan lelaki lain yang tertusuk perasaan itu kala
kekasihnya ingkar janji. Tetapi aku masih saja selalu setia memberikan dada
lapang padanya untuk mengerti dan mengerti. Karena setiap individu pasti
mempunyai kesibukan sendiri-sendiri, yang tak boleh aku membencinya. Semua
sudah diatur.
“Mungkin Mawar ada urusan lain, dan tak ada pulsa untuk mengabarkan
padaku, atau mungkin karena gerimis ini?” gumamku.
Sebuah SMS hinggap di handphone-ku
bebarengan dengan dentuman suara knalpot yang melintas di Jl. Slamet Riyadi.
Dari temanku Eko.
“Bro, loe disuruh pulang ama nenek loe! Cepetan!”
“Pulang?” gumamku. Tapi Mawar belum memberi kabar.
Kumasukan handphone dalam tas tanpa
membalasnya sama sekali, sekalipun dalam hati aku bejanji akan segera pulang,
jika tengah malam nanti Mawar tak kunjung memberi kabar kenapa dia tidak
datang. Ya Mawar, aku masih menunggu kata darimu.
Secuil kabar dari Mawar selalu bisa membuat hati ini lebur dalam aliran kebahagiaan,
seperti musafir yang mendapatkan kembali kudanya yang sebelumnya hilang entah
kemana.
---
ooo ---
“Te, Sate,” teriak pedagang sate yang memakai topi bertuliskan bilabong melintas penuh semangat
menjajakan sate yang tersisa beberapa tusuk.
“Cak, Sate cak” teriakku pada pedagang sate yang memakai topi bertuliskan
bilabong.
“Pesen pinten mas?” sambil
menoleh kearahku, kudengar bahasa Jawanya pedagang sate yang memakai topi bertuliskan
bilabong dicampur dengan logat Madura
terlihat kaku. “dibungkus nopo dimaem
mriki?”
“1 porsi cak, maem mriki mawon.”
“Ok, Siap”
Pedagang sate yang memakai topi bertuliskan bilabong itupun mulai menjejer 10 tusuk sate diatas bara api.
Asap-asap beraroma sate mulai mengepul berterbangan mencoba menjelajahi seluruh
area Ngarsopuro. Aku berharap asap
aroma sate ini sampai ke rongga hidungmu, Mawar. Menyampaikan kabar bahwa aku
masih disini, menunggumu.
“Niki mas, Rp. 8000,-,” sambil
menyodorkan 1 porsi sate yang dipincuk
daun pisang.
“Oh njih, suwun cak.” Sambil memberikan
uang pecahan Rp. 10.000,- aku terima 1 porsi sate yang dipincuk daun pisang. “Niki
artanipun.”
“Nha niki kunduripun, matur suwun
mas.”
“Sami-sami cak.”
Dibenamkannya segembol uang
hasil penjualan satenya dalam tas kecil di pinggangnya. Pedagang sate yang memakai
topi bertuliskan bilabong itu pun meninggalkan
aku dan tukang becak yang masih terlelap lelah di dalam becaknya, yang di nina bobokan oleh alunan syahdu gendhing jawa.
Satu per satu sate tandas aku lahap, menyisakan sambal sate tercecer
disetiap jengkal pincuk daun pisang. Kubuang
pincuk daun pisang di tempat sampah yang
berada 5 meter disisi kananku. Kembali aku duduk termenung. Kuambil handphone ku dalam saku jaketku, kubuka
kunci dan kupandangi penuh rindu setiap jengkal lekuk wajah Mawar, yang setiap
saat menjadi wallpaper di handphone ku.
“Mawar, kau tahu, sunyinya sunyi
adalah diamnya kau sampai saat ini, Mawar,” gumamku sembari terus aku
membelai wajahnya di LCD handphone. “1 kata saja Mawar, beri aku alasan untuk
segera pulang.”
---
ooo ----
Kawasan Ngarsopuro mulai
ditubruk gerimis yang menggigil. Kunyalakan sebatang rokok, kuhisap sekali
dalam-dalam, kuhempaskan perlahan-lahan, lalu pejamkan mata sejenak.
“Aku merindukanmu, Mawar,” gumamku mencoba membelah sunyi, walau tiada
guna. Di sebelah kiriku, di Jalan Slamet Riyadi, melintas sepeda motor
berknalpot meriam melintas, suara kerasnya seperti menertawakan gumamanku. Ah,
Mawar.
Rintik gerimis perlahan semakin deras menghujam kawasan Ngarsopuro. Tukang becak yang sedari
tadi lelah terlelap, kini terbangun dan berlari ke arahku dengan handuk kecil
menutupi kepalanya.
“Eh mas, kok isih nak kene wae.?” Tanya
bapak tukang becak sambil mengusap wajahnya yang di banjiri air hujan. “Durung teko to, kusuma atimu?”
Aku tersenyum getir dan memandang wajahnya yang telah keriput dihajar
masa. “Dereng pak.”
“Mengko yen wes terang, mulih wae
mas. Wes wengi ngene.”
“Injih, pak.” Jawabku.
Kulirik kembali arlojiku, pukul 00.00. Tengah malam sudah, Mawar. Keramaian
deras hujan mulai perlahan meningglkan kawasan Ngarsopuro. Tapi Secuil kabar darimu tak kunjung terlihat. Mawar,
kau dimana?
“Ayo mas, mulih, wes lumayan terang
lho.”
“Injih pak, monggo.”
Sepertinya memang aku harus pulang. Kau benar-benar tak ingin memberikan
secuil kabar, Mawar?
Aku melangkah gontai menuju sepeda motorku yang telah sempurna basah
kuyup diciumi derasnya hujan. Kusapu sebagian air yang masih tersisa di jok. Kupakai
helm. Kuhela nafas sejenak dan mulai memutar gas. Pukul 00.10, aku membelah
jalanan yang masih disaput gerimis, melintasi beberapa titik kota yang sudah
ditinggalkan oleh keramaian. Begitu tenang. Sunyi. Senyap. Seolah mati. Hanya satu
dua kendaraan yang melintas tanpa kata.
Tak sampai 30 menit aku sudah berada didepan rumah kesayanganku. Cepat-cepat
aku memasukkan motorku. Udara yang menggigil lagi berlendir masih bisa
kurasakan sampai dalam rumah, tetes gerimis masih tersisa di sebagian lekuk
jaket, tapi tetap ku pakai. Aku pun terlelap, sambil membawa segenggam
kerinduan yang masih jelas kurasakan.
“Dalam mimpi atau esok hari, kuharap engkau memberi kabar, Mawar.”
---
ooo ---
Sinar matahari pagi redup, rintik-rintik gerimis mulai mendarat menciumi
bumi yang masih basah akibat hantaman hujan tadi malam. Secangkir kopi,
sebatang rokok dan setoples biskuit menemani pagiku yang syahdu. Indah namun
masih dalam penantian kabar. Handphone
kuletakkan disamping ku. Penuh hrap Mawar akan memberi kabar tentang tadi
malam.
Lamunanku terpecah dengan dering handphone,
sebuah sms hinggap. Aku angkat
perlahan handphoneku, berharap penuh
kali ini benar-benar Mawar yang akan memberi kabar untuk.
Alhamdulillah, benar-benar Mawar. Senyum lebar kembali terpahat
diwajahku.
“Hey, maaf, kemarin aku ada acara keluarga, dan aku tak punya pulsa untuk
memberi kabar untukmu, kemarin juga hujan, apa kamu juga datang?”
“Tidak, akupun tak datang, Mawar.” Balasku
Adziz bin Gino
13-14 November 2014
0 komentar:
Posting Komentar