Jumat, 14 November 2014

DI NGARSOPURO, PUKUL 7 MALAM



DI NGARSOPURO, PUKUL 7 MALAM

Ngarsopuro mulai dihampiri hembusan angin berlendir. Lalu lalang yang tadi berisik kini mulai melenggang. Pedagang wedang ronde dan pedagang sate ayam mulai mendorong gerobaknya menuju tempat ternyaman di dunia ini. Ya, tempat dimana dia menemui senyum manis keluarganya. Tinggal tukang becak yang terlelap lelah di dalam becaknya, di nina bobokan oleh alunan syahdu gendhing jawa. Tetapi tidak buatku!
Aku masih saja duduk di trotoar jalan di bawah tulisan Ngarsopuro, setia menunggumu. Setia menunggu janjimu, Mawar.
Kulirik lagi arlojiku, sudah pukul 11 malam. Satu jam lagi suasana sepi akan lebih menusuk.

--- oo ----
“Benar ya, pukul 7 malam?” tanyaku penuh semngat
Mawar tersenyum manis, sambil menggigit sedikit bibirnya. Menentramkan hatiku.
“Iya, pukul 7 malam temui aku di Ngarsopuro,” sahutnya
“Aku akan menunggumu, mungkin lebih dulu dari jam yang kau janjikan itu”
Ah, tapi malam ini, sepertinya ia benar-benar tak datang. Pukul 7 malam? Sekarang sudah jam 11 malam, dan tak ada secuil kabar apapun darinya. Kecewa. Tentu saja, aku sama saja dengan lelaki lain yang tertusuk perasaan itu kala kekasihnya ingkar janji. Tetapi aku masih saja selalu setia memberikan dada lapang padanya untuk mengerti dan mengerti. Karena setiap individu pasti mempunyai kesibukan sendiri-sendiri, yang tak boleh aku membencinya. Semua sudah diatur.
“Mungkin Mawar ada urusan lain, dan tak ada pulsa untuk mengabarkan padaku, atau mungkin karena gerimis ini?” gumamku.
Sebuah SMS hinggap di handphone-ku bebarengan dengan dentuman suara knalpot yang melintas di Jl. Slamet Riyadi. Dari temanku Eko.
“Bro, loe disuruh pulang ama nenek loe! Cepetan!”
“Pulang?” gumamku. Tapi Mawar belum memberi kabar.
Kumasukan handphone dalam tas tanpa membalasnya sama sekali, sekalipun dalam hati aku bejanji akan segera pulang, jika tengah malam nanti Mawar tak kunjung memberi kabar kenapa dia tidak datang. Ya Mawar, aku masih menunggu kata darimu.
Secuil kabar dari Mawar selalu bisa membuat hati ini lebur dalam aliran kebahagiaan, seperti musafir yang mendapatkan kembali kudanya yang sebelumnya hilang entah kemana.
--- ooo ---
“Te, Sate,” teriak pedagang sate yang memakai topi bertuliskan bilabong melintas penuh semangat menjajakan sate yang tersisa beberapa tusuk.
“Cak, Sate cak” teriakku pada pedagang sate yang memakai topi bertuliskan bilabong.
Pesen pinten mas?” sambil menoleh kearahku, kudengar bahasa Jawanya pedagang sate yang memakai topi bertuliskan bilabong dicampur dengan logat Madura terlihat kaku. “dibungkus nopo dimaem mriki?
1 porsi cak, maem mriki mawon.
Ok, Siap
Pedagang sate yang memakai topi bertuliskan bilabong itupun mulai menjejer 10 tusuk sate diatas bara api. Asap-asap beraroma sate mulai mengepul berterbangan mencoba menjelajahi seluruh area Ngarsopuro. Aku berharap asap aroma sate ini sampai ke rongga hidungmu, Mawar. Menyampaikan kabar bahwa aku masih disini, menunggumu.
Niki mas, Rp. 8000,-,” sambil menyodorkan 1 porsi sate yang dipincuk daun pisang.
Oh njih, suwun cak.” Sambil memberikan uang pecahan Rp. 10.000,- aku terima 1 porsi sate yang dipincuk daun pisang. “Niki artanipun.”
Nha niki kunduripun, matur suwun mas.”
Sami-sami cak.”
Dibenamkannya segembol uang hasil penjualan satenya dalam tas kecil di pinggangnya. Pedagang sate yang memakai topi bertuliskan bilabong itu pun meninggalkan aku dan tukang becak yang masih terlelap lelah di dalam becaknya, yang di  nina bobokan oleh alunan syahdu gendhing jawa.
Satu per satu sate tandas aku lahap, menyisakan sambal sate tercecer disetiap jengkal pincuk daun pisang. Kubuang pincuk daun pisang di tempat sampah yang berada 5 meter disisi kananku. Kembali aku duduk termenung. Kuambil handphone ku dalam saku jaketku, kubuka kunci dan kupandangi penuh rindu setiap jengkal lekuk wajah Mawar, yang setiap saat menjadi wallpaper di handphone ku.
Mawar, kau tahu, sunyinya sunyi adalah diamnya kau sampai saat ini, Mawar,” gumamku sembari terus aku membelai wajahnya di LCD handphone. “1 kata saja Mawar, beri aku alasan untuk segera pulang.”
--- ooo ----
Kawasan Ngarsopuro mulai ditubruk gerimis yang menggigil. Kunyalakan sebatang rokok, kuhisap sekali dalam-dalam, kuhempaskan perlahan-lahan, lalu pejamkan mata sejenak.
“Aku merindukanmu, Mawar,” gumamku mencoba membelah sunyi, walau tiada guna. Di sebelah kiriku, di Jalan Slamet Riyadi, melintas sepeda motor berknalpot meriam melintas, suara kerasnya seperti menertawakan gumamanku. Ah, Mawar.
Rintik gerimis perlahan semakin deras menghujam kawasan Ngarsopuro. Tukang becak yang sedari tadi lelah terlelap, kini terbangun dan berlari ke arahku dengan handuk kecil menutupi kepalanya.
Eh mas, kok isih nak kene wae.?” Tanya bapak tukang becak sambil mengusap wajahnya yang di banjiri air hujan. “Durung teko to, kusuma atimu?”
Aku tersenyum getir dan memandang wajahnya yang telah keriput dihajar masa. “Dereng pak.”
Mengko yen wes terang, mulih wae mas. Wes wengi ngene.”
“Injih, pak.” Jawabku.
Kulirik kembali arlojiku, pukul 00.00. Tengah malam sudah, Mawar. Keramaian deras hujan mulai perlahan meningglkan kawasan Ngarsopuro. Tapi Secuil kabar darimu tak kunjung terlihat. Mawar, kau dimana?
Ayo mas, mulih, wes lumayan terang lho.”
“Injih pak, monggo.”
Sepertinya memang aku harus pulang. Kau benar-benar tak ingin memberikan secuil kabar, Mawar?
Aku melangkah gontai menuju sepeda motorku yang telah sempurna basah kuyup diciumi derasnya hujan. Kusapu sebagian air yang masih tersisa di jok. Kupakai helm. Kuhela nafas sejenak dan mulai memutar gas. Pukul 00.10, aku membelah jalanan yang masih disaput gerimis, melintasi beberapa titik kota yang sudah ditinggalkan oleh keramaian. Begitu tenang. Sunyi. Senyap. Seolah mati. Hanya satu dua kendaraan yang melintas tanpa kata.
Tak sampai 30 menit aku sudah berada didepan rumah kesayanganku. Cepat-cepat aku memasukkan motorku. Udara yang menggigil lagi berlendir masih bisa kurasakan sampai dalam rumah, tetes gerimis masih tersisa di sebagian lekuk jaket, tapi tetap ku pakai. Aku pun terlelap, sambil membawa segenggam kerinduan yang masih jelas kurasakan.
“Dalam mimpi atau esok hari, kuharap engkau memberi kabar, Mawar.”
--- ooo ---
Sinar matahari pagi redup, rintik-rintik gerimis mulai mendarat menciumi bumi yang masih basah akibat hantaman hujan tadi malam. Secangkir kopi, sebatang rokok dan setoples biskuit menemani pagiku yang syahdu. Indah namun masih dalam penantian kabar. Handphone kuletakkan disamping ku. Penuh hrap Mawar akan memberi kabar tentang tadi malam.
Lamunanku terpecah dengan dering handphone, sebuah sms hinggap. Aku angkat perlahan handphoneku, berharap penuh kali ini benar-benar Mawar yang akan memberi kabar untuk.
Alhamdulillah, benar-benar Mawar. Senyum lebar kembali terpahat diwajahku.
“Hey, maaf, kemarin aku ada acara keluarga, dan aku tak punya pulsa untuk memberi kabar untukmu, kemarin juga hujan, apa kamu juga datang?”
“Tidak, akupun tak datang, Mawar.” Balasku

Adziz bin Gino
13-14 November 2014
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar