“Kalau bukan karena indahnya tutupnya Allah swt, maka tak satu pun
amal diterima.”Kenapa demikian? Sebab nafsu manusia senantiasa kontra
dengan kebajikan, oleh sebab itu jika mempekerjakan nafsu, haruslah
dikekang dari sifat atau karakter aslinya."
Dalam firmanNya: “Siapa yang yang menjaga nafsunya, maka mereka itulah orang-orang yang menang dan bahagia.”(Al-Hasyr 9)
Nafsu, ketika masuk dalam kinerja amaliah, sedangkan nafsu itu
dasarnya adalah cacat, maka yang terproduksi nafsu dalam beramal
senantiasa cacat pula. Kalau toh dinilai sempurna, nafsu masih terus
meminta imbal balik, dan menginginkan tujuan tertentu, sedangkan amal
itu inginnya malah ikhlas. Jadi seandainya sebuah amal diterima
semata-mata bukan karena amal ansikh, tetapi karena karunia Allah Ta’ala
pada hambaNya, bukan karena amalnya.
Abu Abdullah al-Qurasyi ra mengatakan, “Seandainya Allah menuntu
ikhlas, maka semua amal mereka sirna. Bila amal mereka sirna, rasa
butuhnya kepada Allah Ta’ala semakin bertambah, lalu mereka pun
melakukan pembebasan dari segala hal selain Allah swt, apakah berupa
kepentingan mereka atau sesuatu yang diinginkan mereka.”
Oleh sebab itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Anda lebih butuh belas kasihan Allah swt, ketika anda sedang melakukian taat, dibanding rasa butuh belas kasihNya ketika anda melakukan maksiat.” Kebanyakan manusia memohon belas kasihan kepada Allah Ta’ala justru ketika ia menghadapi maksiat, dan merasa aman ketika bisa melakukan taat ubudiyah. Padahal justru yang lebih dibutuhkan manusia adalah Belas Kasih Allah ketika sedang taat. Karena ketika sedang taat, para hamba sangat rawan “taat nafsu”, akhirnya seseorang terjebak dalam ghurur, atau tipudaya dibalik amaliyahnya sendiri.
“Anda lebih butuh belas kasihan Allah swt, ketika anda sedang melakukian taat, dibanding rasa butuh belas kasihNya ketika anda melakukan maksiat.” Kebanyakan manusia memohon belas kasihan kepada Allah Ta’ala justru ketika ia menghadapi maksiat, dan merasa aman ketika bisa melakukan taat ubudiyah. Padahal justru yang lebih dibutuhkan manusia adalah Belas Kasih Allah ketika sedang taat. Karena ketika sedang taat, para hamba sangat rawan “taat nafsu”, akhirnya seseorang terjebak dalam ghurur, atau tipudaya dibalik amaliyahnya sendiri.
Rasulullah saw, bersabda:
“Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi dari para NabiNya: “Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang tergolong shiddiqun, jangan sampai mereka tertimpa tipudaya. Sebab Aku, bila menegakkan keadilanKu dan kepastian hukumKu kepada mereka, Aku akan menyiksa mereka, tanpa sedikit pun aku menzalimi mereka. Dan katakanlah kepada hambaKu yang ahli dosa, janganlah mereka berputus asa, sebab tak ada dosa besar bagiKu manakala Aku mengampuninya.”
“Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi dari para NabiNya: “Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang tergolong shiddiqun, jangan sampai mereka tertimpa tipudaya. Sebab Aku, bila menegakkan keadilanKu dan kepastian hukumKu kepada mereka, Aku akan menyiksa mereka, tanpa sedikit pun aku menzalimi mereka. Dan katakanlah kepada hambaKu yang ahli dosa, janganlah mereka berputus asa, sebab tak ada dosa besar bagiKu manakala Aku mengampuninya.”
Bahkan Abu Yazid al-bisthami ra mengatakan: “Taubat dari maksiat bisa
sekali selesai, tetapi taubat karena taat bisa seribu kali
pertaubatan.”
Mengapa kita harus lebih waspada munculnya dosa dibalik taat? Karena nafsu dibalik maksiat itu jelas arahnya, namun nafsu dibalik taat sangat lembut dan tersembunyi.
Diantara nafsu dibalik taat yang menimbulkan dosa dan hijab antara lain:
Mengapa kita harus lebih waspada munculnya dosa dibalik taat? Karena nafsu dibalik maksiat itu jelas arahnya, namun nafsu dibalik taat sangat lembut dan tersembunyi.
Diantara nafsu dibalik taat yang menimbulkan dosa dan hijab antara lain:
- Mengandalkan amal ibadahnya, lupa kepada Sang Pencipta amal.
- Bangga atas prestasi amalnya, lupa bahwa yang menggerakkan amal itu bukan dirinya, tetapi Allah swt.
- Selalu mengungkit ganti rugi, dan banyak tuntutan dibalik amalnya.
- Mencari keistemewaan amal, hikmah dibalik amal, lupa pada tujuan amalnya.
- Merasa lebih baik dan lebih hebat dibanding orang yang belum melakukan amaliyah seperti dirinya.
- Seseorang akan kehilangan kehambaannya, karena merasa paling banyak amalnya.
- Iblis La’natullah terjebak dalam tipudayanya sendiri, karena merasa paling hebat amal ibadahnya.
- Menjadi sombong, karena ia berbeda dengan umunya orang.
- Yang diinginkan adalah karomah-karomah amal.
- Ketika amalnya diotolak ia merasa amalnya diterima.
Benar sekali, memang seperti itulah. Ngomong2 masalah tidak mengandalkan amal, ada pengajiannya bang admin, coba cek di blog ane, semoga manfaat, amiiinnn. Sya tunggu kunjungan baliknya....
BalasHapusDownload Pengajian
Terima Kasih atas Kunjungan dan Infonya Gus.
HapusSebenernya saya sudah mengikuti pengajiannya tapi dari guru lain yaitu KH. Imron Jamil. tapi makasih dah memberi link Kajian dari Romo Kyai lain, barangkali penjelasannya baik juga untuk nambah ilmu.