Disukai atau
tidak disukai. Diterima atau tidak diterima, benar atau salah, Udud (Rokok) telah mewarnai kehidupan wong cilik terutama di jawa. Secara
kasat mata, aktivitas Ngudud (merokok)
ini bisa anda temui dimana pun anda berada. Ada di ruang pribadi maupun ruang
publik, di desa ataupun di kota. Dikonsumsi berbagai strata masyarakat, mulai
dari masyarakat hingga pejabat, tua muda, si kaya dan si miskin, tak terkecuali
para tokoh-tokoh agama dan kepercayaan di jawa. Gambaran kasar ini sama sekali
bukan untuk menyatakan atau mengeklaim bahwa gaya hidup orang Jawa sangat
dipengaruhi oleh rokok. Bukan. Bukan seperti itu. Sebab, tidak semua orang Jawa
adalah perokok.
Ngudud, merokok, bagi kalangan wong cilik, rakyat jelata, atau kaum pidak pedarakan, bukan sekedar perilaku
atau perbuatan anut grubyug (ikutan)
belaka. Mungkin saja awal merokok demikian. Tetapi, selanjutnya lebih merupakan
pilihan. Karena semua perokok sesungguhnya sadar, bahwa dirinya bisa
menghentikan kebiasaan merokok tersebut seperti ketika berpuasa, tetapi
kemudian memilih untuk melanjutkan. Artinya, tanpa harus diceritakan ke
mana-mana, atau ditulis oleh para sejarawan, mereka mempunyai sikap yang sama
kokohnya dengan kalangan yang memilih tidak merokok.
Diakui atau
tidak, dihargai atau tidak, banyak wong
cilik di Jawa telah menemukan manfaat rokok secara individual (bagi diri
masing-masing), kaitannya dengan kondisi mental, pekerjaan, kehidupan sosial,
dan selanutnya. Meskipun rokok bukan kebutuhan utama (seperti pangan ,sandang
dan papan), namun bagi yang telah menjadi Ahlul
Hisap Udud dan menemukan manfaat secara nyata, derajat rokok jadi naik di
mata mereka. Minimal, harga sebatang rokok telah memberikan “keuntungan” yang layak
bagi pembeli dan penikmatnya.
Setelah lebih
empat abad tembakau masuk ke Jawa dan tradisi Ngudud sudah menjadi kehidupan masyarakatnya demikian lama, kini
rokok dan kebiasaan merokok mulai mendapat “hujatan” keras dari kana-kiri.
Utamanya karena, konon, merokok dianggap sangat berbahaya bagi kesehatan si
pelaku (perokok aktif) dan orang-orang disekitarnya (perkok pasif). Propraganda
anti rokok di Indonesia mulai menunjukkan keberhasilan dengan dikeluarkannya PP
81/1999 yang mengontrol kandungan tar dan nikotin rokok dan dicantumkannya
peringatan pada setiap bungkus rokok (pada tahun 2014 nanti diberitakan
peringatannya akan ditamnbah gambar). Namun, tidak hanya sampai di situ. Kalangan
anti rokok pun terus menyebar “penyuluhan” mengenai bahaya rokok dan merokok di
berbagai media. Dengan mati-matian kalangan anti-rokok telah berjuang keras,
bukan hanya menurunkan jumlah perokok saja, namun sudah mengarah pada gerakan
yang sitematis untuk menghancurkan rokok. Demikian, perang terhadap rokok telah
berlangsung secara terbuka, dan terang-terangan. Hujat-menghujat, upaya
memojokkan, terus berlangsung. Beberapa contoh invasi anti rokok di Indonesia,
misalnya:
1. Memberondong
perhatian masyarakat mengenai informasi-informasi hasil penelitian yang
menyatakan rokok berdampak buruk pada kesehatan dan kehidupan sosial secara
luas.
2. Mengingatkan
masyarakat serta dunia pendidikan terhadap dampak buruk rokok bagi masa depan
generasi muda.
3. Fatwa
haram rokok.
4. Berusaha
mempengaruhi lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk menerbitkan
undang-undang, peraturan, atau kebijaksanaan, yang bermuara pada “Indonesia
Bebas Rokok”.
5. Membangun
sekat budaya antara perokok dan bukan perokok.
6. Membangun
komunitas, atau lembaga sebagai basis untuk terus-menerus melakukan gerakan
anti rokok.
Persoalannya,
pada aspek yang paling mendasar bahwa tembakau berbahaya bagi manusia, para
peneliti sesungguhnya belum menemukan pendapat yang seragam. Banyak kalangan
justru menyatakan bahwa bahaya tembakau tidak seburuk yang dituduhkan oleh para
peneliti lain dan masyarakat anti rokok.
Selama ini
rokok memang dicap sebagai biang keladi dari berbagai jenis penyakit yang
mengerikan. Sementara banyak juga pendapat lain, menyatakan bahwa dampak
tembakau dan rokok bagi kesehatan tidak seburuk yang disebarluaskan selama ini.
Maka, untuk menghindarkan kontrovesi yang berkepanjangan, amat diperlukan studi
yang seimbang dan objektif mengenai apa yang menyebabkan sakit, termasuk keuntungan
dan kerugian merokok. Sebab sudah menjadi rahasia umum, bahwa mereka yang bukan
perokok (apalagi yang membenci) tidak akan mengetahui secara empiris manfaat
rokok. Karena itulah, merokok selalu dihubungkan dengan hal-hal yang negatif,
seperti penyebab penyakit paru, jantung, kanker, dll.
Pertanyaannya,
apakah sudah ada penelitian objektif yang menunjukkan bahwa penyakit seperti
itu juga terjadi sekian dasawarsa yang lalu terhadap Ahlul Hisap Udud, perkokok
aktif dan pasif?Paling tidak untuk menjernihkan kesan buruk yang telah
ditempelkan pada tembakau, rokok dan para Kaum Ahlul Hisap Udud. Intinya untuk
menjelaskan secara profesional, bersih, terukur dan seimbang. Bukan lagi
propaganda untuk kepentingan kampanye ekonomi dan politik terselubung berskala
internasional, termasuk menghancurkan rokok kretek di Indonesia.
Sebab, sampai
kini pun belum terjawab pasti dan jelas. Apakah kanker, serangan jantung,
impotensi dan sebagainya itu semata-mata disebabkan oleh nikotin? Benar-benar
disebabkan oleh aktivitas Ngudud?
Atau justru banyak dipengaruhi oleh gaya hidup modern, dan pola makan
orang-orang kaya hedonis yang sudah demikian “rusak”?
Siapa pun yang
mau bertanya dengan jujur kepada para Kaum Ahlul Hisap Udud, apa manfaat rokok,
dengan jujur pula mereka akan menjawab: “untuk
menghilangkan stres”. Dan memang harus diakui, alasan merokok, dimanapun,
lebih bersifat psikologis.
Sekali lagi,
kesehatan memang perlu bagi seluruh masyarakat agar dapat ekerja mengabdi kepada
negara dan bangsa. Akan tetapi, benarkah sakitnya itu gara-gara merokok? Misalanya,
dia sakit jantung, apakah karena kebanyakan merokok atau justru karena lemak
dan kolesterolnya diluar ukuran kewajaran? Wallahualam
bisawab.
Hanya saja,
selain sakit fisik, padahal ada pula penyakit mental, kejiwaan, batin, yang
diterima oleh masyarakat. Masalanya, justru penyakit mental kejiwaan itu tidak
terlampau diperhatikan. Padahal, jika sampai meledak dampaknya bisa sangat
mengerikan. Kasus bunuh diri, tawuran, korupsi karena juga bisa menyebabkan
kematian juga bahkan LEBIH CEPAT.
Demikian juga
penyakit yang berupa beban pikiran dan perasaan, stres, ketegangan mental yang
diderita wong cilik, yang jutaan
jumlahnya di Jawa. Yah dikarenakan tidak ada biaya untuk melancong kesana
kemari, untuk menikmati udara segar pegunungan, jalan-jalan di mall, ataupun
mendengarkan suara deburan ombak di tepi pantai. Karena kondisi yang terbatas wong cilik pun jarang yang namanya mengeluh.
Mereka berusaha sendiri mengatasi penderitannya, beban hidupnya, tanpa harus
merengek kepada negara atau badan-badan dunia, karena hampir tidak mungkin
suara bawah tanah mereka sampai dan diperhatikan dengan seksama oleh para
penguasa.
Artinya, bisa
jadi, hanya dengan rokok murahan, rokok tingwe
(nglinting dewe) atau puntung sekalipun, mereka dapat terus berdiri dan
mandiri, melupakan sejanak beban hidup yang tidak mungkin lagi digambarkan dengan
kata dan bahasa. Karena itulah, semua pihak seyogyanya tidak menutup mata,
bahwa tembakau dan rokok diam-diam telah membuat orang Jawa (red wong cilik) punya sejarah di tanah
kelahirannya sendiri.
Di Jawa, semua
bisa dirembug. Asal caranya
manusiawi, pakai tata-krama, dan uanggah-ungguh
yang baik, permasalahan sebesar apapun dapat ditemukan jalan kerluarnya.
Demikianlah kasunyatan
apa adanya, Sebab menurut filofosi Jawa, “bener durung mesthi pener, salah durung mesthi kalah, becik bisa
kuwalik”, ngono ya ngono- nanging aja ngono.Referensi : Ngudud cara orang Jawa Menimkati Hidup: Iman Budhi Santosa
0 komentar:
Posting Komentar