Rabu, 09 Oktober 2013

Ahlul Hisap Udud, Antara Fisik dan Batin Wong Cilik di Jawa






Disukai atau tidak disukai. Diterima atau tidak diterima, benar atau salah, Udud (Rokok) telah mewarnai kehidupan wong cilik terutama di jawa. Secara kasat mata, aktivitas Ngudud (merokok) ini bisa anda temui dimana pun anda berada. Ada di ruang pribadi maupun ruang publik, di desa ataupun di kota. Dikonsumsi berbagai strata masyarakat, mulai dari masyarakat hingga pejabat, tua muda, si kaya dan si miskin, tak terkecuali para tokoh-tokoh agama dan kepercayaan di jawa. Gambaran kasar ini sama sekali bukan untuk menyatakan atau mengeklaim bahwa gaya hidup orang Jawa sangat dipengaruhi oleh rokok. Bukan. Bukan seperti itu. Sebab, tidak semua orang Jawa adalah perokok.

Ngudud, merokok, bagi kalangan wong cilik, rakyat jelata, atau kaum pidak pedarakan, bukan sekedar perilaku atau perbuatan anut grubyug (ikutan) belaka. Mungkin saja awal merokok demikian. Tetapi, selanjutnya lebih merupakan pilihan. Karena semua perokok sesungguhnya sadar, bahwa dirinya bisa menghentikan kebiasaan merokok tersebut seperti ketika berpuasa, tetapi kemudian memilih untuk melanjutkan. Artinya, tanpa harus diceritakan ke mana-mana, atau ditulis oleh para sejarawan, mereka mempunyai sikap yang sama kokohnya dengan kalangan yang memilih tidak merokok.
Diakui atau tidak, dihargai atau tidak, banyak wong cilik di Jawa telah menemukan manfaat rokok secara individual (bagi diri masing-masing), kaitannya dengan kondisi mental, pekerjaan, kehidupan sosial, dan selanutnya. Meskipun rokok bukan kebutuhan utama (seperti pangan ,sandang dan papan), namun bagi yang telah menjadi Ahlul Hisap Udud dan menemukan manfaat secara nyata, derajat rokok jadi naik di mata mereka. Minimal, harga sebatang rokok telah memberikan “keuntungan” yang layak bagi pembeli dan penikmatnya.
Setelah lebih empat abad tembakau masuk ke Jawa dan tradisi Ngudud sudah menjadi kehidupan masyarakatnya demikian lama, kini rokok dan kebiasaan merokok mulai mendapat “hujatan” keras dari kana-kiri. Utamanya karena, konon, merokok dianggap sangat berbahaya bagi kesehatan si pelaku (perokok aktif) dan orang-orang disekitarnya (perkok pasif). Propraganda anti rokok di Indonesia mulai menunjukkan keberhasilan dengan dikeluarkannya PP 81/1999 yang mengontrol kandungan tar dan nikotin rokok dan dicantumkannya peringatan pada setiap bungkus rokok (pada tahun 2014 nanti diberitakan peringatannya akan ditamnbah gambar). Namun, tidak hanya sampai di situ. Kalangan anti rokok pun terus menyebar “penyuluhan” mengenai bahaya rokok dan merokok di berbagai media. Dengan mati-matian kalangan anti-rokok telah berjuang keras, bukan hanya menurunkan jumlah perokok saja, namun sudah mengarah pada gerakan yang sitematis untuk menghancurkan rokok. Demikian, perang terhadap rokok telah berlangsung secara terbuka, dan terang-terangan. Hujat-menghujat, upaya memojokkan, terus berlangsung. Beberapa contoh invasi anti rokok di Indonesia, misalnya:
1.      Memberondong perhatian masyarakat mengenai informasi-informasi hasil penelitian yang menyatakan rokok berdampak buruk pada kesehatan dan kehidupan sosial secara luas.
2.      Mengingatkan masyarakat serta dunia pendidikan terhadap dampak buruk rokok bagi masa depan generasi muda.
3.      Fatwa haram rokok.
4.      Berusaha mempengaruhi lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk menerbitkan undang-undang, peraturan, atau kebijaksanaan, yang bermuara pada “Indonesia Bebas Rokok”.
5.      Membangun sekat budaya antara perokok dan bukan perokok.
6.      Membangun komunitas, atau lembaga sebagai basis untuk terus-menerus melakukan gerakan anti rokok.

Persoalannya, pada aspek yang paling mendasar bahwa tembakau berbahaya bagi manusia, para peneliti sesungguhnya belum menemukan pendapat yang seragam. Banyak kalangan justru menyatakan bahwa bahaya tembakau tidak seburuk yang dituduhkan oleh para peneliti lain dan masyarakat anti rokok.
Selama ini rokok memang dicap sebagai biang keladi dari berbagai jenis penyakit yang mengerikan. Sementara banyak juga pendapat lain, menyatakan bahwa dampak tembakau dan rokok bagi kesehatan tidak seburuk yang disebarluaskan selama ini. Maka, untuk menghindarkan kontrovesi yang berkepanjangan, amat diperlukan studi yang seimbang dan objektif mengenai apa yang menyebabkan sakit, termasuk keuntungan dan kerugian merokok. Sebab sudah menjadi rahasia umum, bahwa mereka yang bukan perokok (apalagi yang membenci) tidak akan mengetahui secara empiris manfaat rokok. Karena itulah, merokok selalu dihubungkan dengan hal-hal yang negatif, seperti penyebab penyakit paru, jantung, kanker, dll.
Pertanyaannya, apakah sudah ada penelitian objektif yang menunjukkan bahwa penyakit seperti itu juga terjadi sekian dasawarsa yang lalu terhadap Ahlul Hisap Udud, perkokok aktif dan pasif?Paling tidak untuk menjernihkan kesan buruk yang telah ditempelkan pada tembakau, rokok dan para Kaum Ahlul Hisap Udud. Intinya untuk menjelaskan secara profesional, bersih, terukur dan seimbang. Bukan lagi propaganda untuk kepentingan kampanye ekonomi dan politik terselubung berskala internasional, termasuk menghancurkan rokok kretek di Indonesia.
Sebab, sampai kini pun belum terjawab pasti dan jelas. Apakah kanker, serangan jantung, impotensi dan sebagainya itu semata-mata disebabkan oleh nikotin? Benar-benar disebabkan oleh aktivitas Ngudud? Atau justru banyak dipengaruhi oleh gaya hidup modern, dan pola makan orang-orang kaya hedonis yang sudah demikian “rusak”?

Siapa pun yang mau bertanya dengan jujur kepada para Kaum Ahlul Hisap Udud, apa manfaat rokok, dengan jujur pula mereka akan menjawab: “untuk menghilangkan stres”. Dan memang harus diakui, alasan merokok, dimanapun, lebih bersifat psikologis.
Sekali lagi, kesehatan memang perlu bagi seluruh masyarakat agar dapat ekerja mengabdi kepada negara dan bangsa. Akan tetapi, benarkah sakitnya itu gara-gara merokok? Misalanya, dia sakit jantung, apakah karena kebanyakan merokok atau justru karena lemak dan kolesterolnya diluar ukuran kewajaran? Wallahualam bisawab.
Hanya saja, selain sakit fisik, padahal ada pula penyakit mental, kejiwaan, batin, yang diterima oleh masyarakat. Masalanya, justru penyakit mental kejiwaan itu tidak terlampau diperhatikan. Padahal, jika sampai meledak dampaknya bisa sangat mengerikan. Kasus bunuh diri, tawuran, korupsi karena juga bisa menyebabkan kematian juga bahkan LEBIH CEPAT.
Demikian juga penyakit yang berupa beban pikiran dan perasaan, stres, ketegangan mental yang diderita wong cilik, yang jutaan jumlahnya di Jawa. Yah dikarenakan tidak ada biaya untuk melancong kesana kemari, untuk menikmati udara segar pegunungan, jalan-jalan di mall, ataupun mendengarkan suara deburan ombak di tepi pantai. Karena kondisi yang terbatas wong cilik pun jarang yang namanya mengeluh. Mereka berusaha sendiri mengatasi penderitannya, beban hidupnya, tanpa harus merengek kepada negara atau badan-badan dunia, karena hampir tidak mungkin suara bawah tanah mereka sampai dan diperhatikan dengan seksama oleh para penguasa.
Artinya, bisa jadi, hanya dengan rokok murahan, rokok tingwe (nglinting dewe) atau puntung sekalipun, mereka dapat terus berdiri dan mandiri, melupakan sejanak beban hidup yang tidak mungkin lagi digambarkan dengan kata dan bahasa. Karena itulah, semua pihak seyogyanya tidak menutup mata, bahwa tembakau dan rokok diam-diam telah membuat orang Jawa (red wong cilik) punya sejarah di tanah kelahirannya sendiri.

Di Jawa, semua bisa dirembug. Asal caranya manusiawi, pakai tata-krama, dan uanggah-ungguh yang baik, permasalahan sebesar apapun dapat ditemukan jalan kerluarnya.
Demikianlah kasunyatan apa adanya, Sebab menurut filofosi Jawa, “bener durung mesthi pener, salah durung mesthi kalah, becik bisa kuwalik”, ngono ya ngono- nanging aja ngono.

Referensi : Ngudud cara orang Jawa Menimkati Hidup: Iman Budhi Santosa
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar