Sabtu, 23 Januari 2016

Persoalan Takwil dalam Sastra Sufistik Maulana Jalaluddin Rumi

Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi)


Sering kali banyak yang bertanya,"Bagaimana membedakan antara syair sufi dan bukan?"
Apakah syair berikut ini berasal dari seorang sufi?
           
Api adalah cinta yang jaruh dalam seruling,
baranya adalah cinta yang jatuh dalam minuman.
           
Letak perbedaan pada penakwilannya adalah, pertama, kerumitan membedakan antara syair sufi dan bukan, karena syair sufi juga menggunakan bahasa keseharian. Bahasa orang awam.
Persamaan secara lahiriyah dalam pemilihan diksi akan menyulitkan pembaca membedakan mana syair sufi dan yang bukan syair sufi.
Namun, cara paling ampuh membedakannya adalah dengan melihat darimana syair itu berasal. Jika tidak ada kunci dalam memahami niat seorang penyair, maka kita akan bisa memahami apalagi menakwil sebuah syair.
Misalnya, jika seorang sufi berbicara menganai cinta, tentu yang dimaksud bukan lagi cinta dalam pandangan awam, akan tetapi terkait dengan cinta illahi meskipun fenomena dan rasa cinta tidak ada perbedaannya.

Dalam salah satu syairnya Maulana Jalaludin Rumi menuliskan,
Cinta memiliki 500 sayap
dan setiap kepakan dari puncak 'Arsy
hingga singgasana yang paling bawah,
Zahid karena takut hingga kakinya bergerak
Namun para pecinta kepakannya melebihi percikan udara
Dalam syair yang lain,
Cinta adalah lidah api,
saat menyala akan membakar segalanya
kecuali kekasih.

Mengapa para sufi, khususnya Maulana Jalaludin Rumi lebih memilih bahasa awam?
Begini, tujuan utama sastra sufi ialah berusaha mentransfer kondisi dan perasaan sufistik yang dialami oleh seorang sufi kepada pembaca agar pembaca dapat meraskan apa yang dirasakan oleh seorang sufi, meskipun melalui pengalaman yang berbeda.
Kondisi atau rasa, tak terpisah dari makrifat. Perbedaannya, dalam penyaksian yang disertai dengan kondisi atau rasa yang dialami oleh seorang sufi pasti dibarengi dengan makrifat atau pengetahuan. Seorang arif dalam setiap penyaksiannya menyingkap hakikat ilahiyah akan mebuahkan pengetahuan dan pasti dibarengi dengan suatu kondisi/ rasa tertentu. Syuhud - Makrifat - Rasa - Bahasa.

Salah seorang bertanya cinta itu apa?
Ku katakan, "perkara-perkara semacam ini jangan kau tanya maknanya".
Saat kau menjadi diriku, kau akan menyaksikannya,
sebab saat dirimu membacanya, kau akan mengetahuinya
Rumi, Ghazal, 2773

Rasa dan kondisi adalah titik pertemuan antara sufistik (irfan) dan sastra. Ada tiga tahapan dalam sastra sufistik, yaitu:
1.      Tahap pemikiran atau pengetahuan
Pada tahap ini seorang sufi atau penyair berhadapan dengan suatu fenomena atau hakikat dan realitas serta mempersepsi fenomena atau realitas tersebut. Bersamaan dengan ini suatu kondisi atau rasa akan menyertai dirinya.
2.      Tahap imajinasi
Tahap imajinasi adalah tahap dimana seorang sufi atau penyair berusaha menyajikan atau mempresentasikan rasa dan persepsi yang diperoleh sebelumnya. Usaha ini akan berdampak pada perubahan makna dan merelasikannya dengan perangkat bahasa. Perubahan ini terjadi karena adanya proses perpindahan alam dari alam makna menuju alam bahasa. Sebab itu terkadang penulis tak lagi memperhatikan aturan bahasa demi menjaga makna yang dimaksud.
3.      Tahap bahasa
Tahap bahasa adalah tahap akhir dari proses sebelumya yaitu tahap menghadirkan proses sebelumnya dalam bentuk kalimat dan struktur bahasa. Penggunaan kalimat yang digunakan sangat bergantung kepada konsep-konsep yang dimiliki sebelumnya, semakin kaya pengetahuan yang dimiliki, semakin luas pula bentuk kalimat yang dapat digunakan.

Maulana Jalaludin Rumi menuliskan,
Jika kau ingin menyusun sajak dan berpuisi, pergi!
Enyahkan kata-katamu.
Jangan berjalan di atas bait dan tulisan.
Cintamu telah menjelmakan bait-bait dan ghazal
bagi tiap helai rambutku!
Ekstasimu telah menjadikanku sebuah tong madu!
Lihatlah darah dalam bait-baitku, bukan puisi!
Karena mata dan hatiku sedang menuangkan darah cintanya.

Ketika darah bercampur, kuserahkan warna puisi
sehingga pakaianku tak berwarna darah dan
bukanlah darah-berwarna.
Daya tarik Tuhan mewujudkan kata-kataku.
karena Dia lebih dekat denganku daripada diriku sendiri
Dia telah membawaku dari nonwujud dan
menjadikanku mampu bicara setiap waktu,
Dalam kemurahannya, kata-kataku menjelma mutiara
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar