Kamis, 18 Agustus 2016

Akhirnya Tiba Giliranku ....




Dulu, sangat mudah bagiku untuk ber-kata, bahkan sambil menyentuh dan mengelus penuh simpatik pundak orang, “Tabahkan hati-mu, ya. Semua dari kita akan merasakan kehilangan orang yang kita cintai. Anggap saja dia bukan jodohmu. Kau pasti akan dapat yang lebih baik. Tegar, ya. Life must go on..”

Kuingat benar, terakhir kali kubisikkan kata-kata sejuk itu kepada teman sebayaku kala ditinggal oleh kekasihnya yang sudah 2 tahun menjalani hubungan percintaan. Dia tampak sangat begitu kalut. Guncang. Rapuh. Sambil menepuk pundaknya kubisikkan kalimat teduh itu. Ia menggangguk. Tampak keteduhan meng-gelayuti wajah sayunya. Entah apa gerangan kecamuk di dadanya, kala itu.

And now, akulah yang menerima tempias kata-kata bijak kesejukan itu!

Aku benci perasaan sesungguhnya yang menggemuruh dalam dadaku!

Aku benci mengalami ini!

Aku benci akhirnya tiba diliranku. Pundakku yang dielus dan dibisikkan kata-kata teduh itu.

Mau tahu rasanya, kawan?


Bagi si pengucap, sungguh hanya kalimat itulah yang bisa dibisikkannya, sebagai bukti cintanya kepadaku sebagai sahabat, juluran simpatiknya sesama manusia. Tapi bagiku, sang pelaku, semua itu bullshit! Tak bermakna apa pun! Kalaupun kepalaku menggangguk, bibirku sedikit belah oleh sunggingan senyum, itu tak lebih dari suatu sikap refleks yang tidak lebur dalam hati. Sama sekali!

Toh, hatiku tetap sakit. Luka. Puruk. Jungkal. Hancur. Remuk. Redam.

Tapi, kutahu setiap manusia tak kan mampu berkata lain, berbuat lain, kecuali membisikkan kalimat syahdu itu. Dan karenanya, itu sudah cukup. Aku nggak bisa menuntut lebih lantaran tak ada sosok manusia pun memang yang bisa berbuat lebih kala palu takdir sudah diketuk.

Pukul 06.00. Tanggal 3 Juli 2016. Pagi ke kedua puluh delapan dari bulan Ramadhan. Itulah titik mulanya.

Ya, hari minggu. Aku janji memberi tahu seseorang kapan aku akan kerumahnya untuk nembung. Membawa kedua orang tuaku. Tapi ...

“Sudah tidak bisa, by”, jawabnya lesu, “Sudah ada yang duluan nembung, Jum’at malam kemarin.”

Suara itu lirih saja. Begitu lirih. Tapi di telingaku, yang kemudian mengalir ke kepala dan dadaku, suara itu begitu guntur! Petir! Kilat! Gelompang mahapenghancur!

Aku mencoba menahan tangis berjalan menuju ibuku, “Mak, dia sudah ditembung”, ucapku kepada ibuku yang sedang mencuci baju. Wajahnya nampak kekecewaan bercampur dengan belas kasih seorang ibu untuk anaknya yang terhunjam kekecewaan.

“Siapa? Diakah dulu!”

“Bukan, orang lain, kau tak mengenal-nya.”

“Aku mohon kepadamu untuk tidak tinggal di Sukoharjo lagi,”pintaku mengiba. “Kalau bisa juga resepsinya jangan di sini.”

“Mana bisa? Rumahku di Sukoharjo,” jawabnya menolak.

Selanjutnya, hanya tangis meledak-ledak. Tubuhku luruh, terhempas di bale ini. Telpon terputus, namun tidak dengan tangisku.

Ya Allah, akhirnya aku mengalaminya..

Akhirnya, aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang begitu dicintai yang segenap kekuatan mempertahankan untuk men-uju pernikahan.

Namun, aku terlambat. Satu hari.

Wa ufaidlu amri ilallah, innallaha bashirun bil ‘ibaad.

Aku kalah. 


Juli 2016
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar